Areeta membuka papan besar yang ada di depannya. Mungkin, di dalam hatinya saat ini masih berkecamuk luar biasa atas pertanyaan mengapa Delwyn tiba-tiba tertarik dengan penelitian ini. Sebelumnya, ia tak mau tahu. Delwyn hanya cukup tahu kesibukan yang dilakukan oleh kekasihnya. Mewujudkan impian pada penyuka kisah kuno dan benda-benda antik, mendapat bayaran luar biasa jika mampu menyelesaikan peneliti sang kakek.
"Aku melakukan semua ini hanya untuk uang pada awalnya." Areeta memulai. Menyalakan lampu laser. Titik merah yang dihasilkan menunjuk pada halaman pertama buku tiruan itu. "Namun, selepas aku membuka semakin dalam, melihat isinya, mencocokkannya dan membaca semua terjemahan yang berhasil dilakukan aku tidak mementingkan uang lagi untuk penelitian ini."
Delwyn mengerutkan keningnya kala sepasang mata teduh itu menatap ke arah papan. Sebuah patung kuno, perwujudan dari kepala rusa bertanduk banteng dengan simbol aneh di tengahnya menjadi pusat perhatian Delwyn sekarang. "Ini seperti lambang iblis." Delwyn menunjuk. "Pembuatnya mengkaji sesosok iblis?" tanyanya.
"Awalnya aku berpikir begitu," ucap Areeta. Membuka lembar baru dari kitab tiruan. "Namun, aku berubah pikiran saat semua yang diterjemahkan oleh kakekku terasa begitu nyata. Seperti penulisnya bukan sedang menceritakan orang lain. Namun, dia menuliskan kisahnya sendiri. Dia tokoh utama yang ada di dalam kitab ini."
"Kitab ini tentang iblis?"
Perempuan itu menghela napasnya panjang. "Kakekku bahkan belum menerjemahkan lebih dari separuh. Aku dan timku masih berpikir untuk mencari cara membuka kitab itu," ujar Areeta kembali melirik ke arah box kaca. "Aku benar-benar penasaran dengan apa isinya."
Delwyn menatap kekasihnya. "Bagaimana jika ...." Dia mulai berbicara. Menimang kalimatnya sendiri. "Bagaimana jika aku menemukan orang yang bisa membuka kitab ini?"
Areeta mengerutkan keningnya. "Kakekku tidak pernah meninggalkan wasiat apapun tentang orang yang memegang kuncinya." Ia menaikkan kedua sisi alisnya sembari mengerutkan keningnya. "Sepertinya pemegang kunci itu tidak ada di dunia ini. Dia ada di dunia lain."
Delwyn menganggukkan kepalanya. "Mungkin saja, bagaimana jika orang itu benar-benar ada di dunia?"
Areeta tersenyum aneh. "Aku akan membayar berapapun, asalkan tidak untuk menyerahkan Althea-lux dan menjual gedung ini."
••• Luxuria's Penthouse •••
Benar dugaan, Delwyn kembali ke tempat ini lagi. Namun, dia tak tahu jalan mana yang akan membawanya ke tempat tinggal Daeva. Lift yang waktu itu ia gunakan untuk naik ke lantai 10 benar-benar rusak. Berkali-kali dia menekan tombol, berharap pintunya terbuka, tetapi nihil. Delwyn mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Penginapan ini bukan hanya berisi Daeva saja. Beberapa orang, penduduk asli juga turis datang untuk menginap sementara.
"Pintunya rusak kenapa berdiri di sana? Kau bisa menggunakan tangga." Nenek tua menegurnya. Delwyn terkejut kala pundaknya ditepuk dengan kasar. Sudah renta, tetapi tenaganya masih begitu kuat.
"Liftnya sudah lama rusak sejak aku datang ke sini. Kau bisa naik tangga yang di sana. Memangnya mau pergi ke lantai berapa?" Nenek itu tertawa renyah. "Di sini hanya ada tiga lantai. Jadi tak perlu menggunakan lift."
"Itu sebabnya tak ada yang mengajukan keluhan?" Delwyn menyahut, sok tahu. "Ini penginapan untuk umum. Jika fasilitas rusak, kalian harus membayar biaya full juga?"
Wanita tua itu mengangguk. "Lift bukan bagian dari perjanjian."
"Berapa kalian harus membayarnya?"
Wanita tua itu menghitung jarinya. Sejenak diam, kemudian kembali menatap Delwyn. "50 dollar untuk lantai paling bawah, kenaikan 50 dollar untuk setiap lantai."
"Are you crazy?" Delwyn mengangkat kedua sisi bahunya. "Tempat ini tak mewah. Kenapa mahal sekali? Siapa pemiliknya?"
"Ini milik anak perusahaan Stewart," ucapnya tiba-tiba. Kalimat itu membuat Delwyn diam sejenak. Memaku di tempatnya. Berusaha memahami kalimat itu. Ini milik keluarganya? Kenapa Delwyn tak pernah tahu sebelumnya?
"Aku rasa kau terkejut mendengarnya, Delwyn." Seseorang menyela. Tiba-tiba saja datang dari ambang pintu masuk. Cara berpakaian yang khas, mewah dengan aksesoris pendukung.
"Tempat ini milik ayahku?" tanyanya. Meninggalkan wanita tua itu, fokus berbicara dengan Daeva. "Kau bilang kau yang membangunkan tempat ini."
"Aku juga bilang bahwa semua kekayaan Stewart adalah karunia dariku. Itu artinya, milik keluargamu adalah milikku."
"Coo-coo!" Delwyn membuang tatapannya. Ia menatap ke luar bangunan.
"Kenapa datang ke sini? Aku kira kau tak akan kembali secepat ini. Aku baru saja melepasmu."
Delwyn menatap Daeva. Tajam, penuh makna. Kepalanya manggut-manggut kemudian. "Kau benar. Namun, aku bukan tahanan. Aku kembali bukan untuk menyerahkan diriku."
Daeva ikut manggut-manggut. Dia berjalan menuju ke arah lift di sisi tangan naik ke lantai atas.
"Liftnya rusak dan aku—" Bunyi pintu lift terbuka menghentikan kalimat Delwyn. Pria itu diam sejenak. Menatap Daeva yang sedang tersenyum menghina dirinya sekarang.
"Masuklah, kecuali kau ingin naik tangga."
Delwyn mungkin saja masih merasa aneh dan asing. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap yang santai dan biasa. Perempuan yang entah siapa identitasnya itu terus saja menunjukkan sisi yang menyeramkan. Membuatnya tak bisa berkata-kata apapun lagi.
"Bagaimana bisa ada lantai empat dan seterusnya?" tanya Delwyn pada wanita di depannya. "Bagaimana juga kau bisa menggunakan lift yang rusak?"
Daeva diam. Tak menjawab. Mengabaikan semua pertanyaan dari Delwyn. Pria ini tak perlu tahu secara detail. Sudah dikata bahwa sihir Daeva membuat segala yang mungkin menjadi tidak mungkin atau sebaliknya.
"Daeva ...."
"Kakekmu tidak pernah menyinggung pasal diriku?" Daeva memotong. Seakan tak sudi kalau lawan bicaranya itu menyelesaikan kalimatnya lagi.
"Aku tidak terlalu dekat dengannya."
Daeva mengangguk-angguk. "Bisa dimaklumi. Ayahmu pun begitu."
"Kenapa kau tidak memilih ayahku? Kenapa memilihku selepas kakekku meninggal?"
Daeva hanya punya satu kepercayaan saja, Delwyn adalah orang yang tepat untuk meneruskan perjuangan laki-laki tua yang meninggal beberapa minggu yang lalu. "Aku pernah masuk ke dalam alam bawah sadar ayahmu. Mengajaknya melakukan banyak perjalanan, dia selalu takut dan memikirkan dirinya sendiri. Dia tak bisa menghadapi hal yang merugikan. Jadi aku tidak mengambil manusia seperti itu untuk mengabdi padaku."
"Apa bedanya dengan aku?" sahut Delwyn memastikan. "Aku adalah anaknya. Mungkin sifat kita sama. Kau bisa saja rugi dan menyesal nantinya."
Helaan napas yang panjang kembali menyela pembicaraan Delwyn dan Daeva. Wanita itu melirik ke arah angka di sisi pintu lift. Satu lantai lagi, dia akan sampai ke tempat tinggalnya.
"Kau menolongku saat berada di tanah Sheol. Kau berlari meskipun kau tahu itu adalah hal yang berbahaya. Itu yang dilakukan oleh kakekmu dulu. Itu yang membuatku mengangkatnya sebagai anakku."
Pintu lift terbuka. Tepat berhenti di sebuah lorong panjang, seakan tak berujung.
"Aku tidak akan merugikan dirimu atau orang yang ada di sekitarmu, Delwyn. Aku hanya butuh kau menghantarkan diriku ke tanah penghakiman nanti. Aku hanya butuh doa dan ketulusanmu."
... To be continued ....