"Gara-gara kalian nih!" kesal Boby.
"Ya maaf, gak sengaja," tutur Andri.
Andri dan Beni meminta para murid untuk berkumpul di ruangan kelas.
"Ih, apaan sih, buang-buang waktu aja," gumam Karin.
"Iya nih, wuuu!" sorak yang lain pada Andri.
Rayan yang tidak ingin mematuhi perkataan Andri sebagai ketua kelas, membuka pintu dengan kasar. Ia pergi begitu saja. Yang lain hampir mengikuti. Namun, Andri memohon para murid untuk mendengarkan perkataannya.
"Dasar berandal!" ungkap Andri pada Rayan ketika Rayan pergi begitu saja.
"Jadi gini, nanti kalian pegang bunga ini ya dan kasih ini ke Vani." Begitulah arah Andri pada murid lain.
Ayarra hanya mengangguk mendengar permintaan Andri. Beni pun, meminta teman satu kelas untuk melakukan hal yang sama.
Boby memberikan kode pada Vani untuk berbicara empat mata di gudang belakang sekolah.
"Mau ngomong apa lagi?" sinis Vani.
Boby menutup mata Vani dengan sebuah kain. Ia menuntun Vani ke arah taman.
"Kejutan?" tanya Vani.
"Iya, kamu pasti suka," tebak Boby.
Dilepasnya ikatan kain. Vani mendapatkan banyak bunga dari teman-teman satu sekolahnya.
"Ih! Gak jelas deh. Kirain teh ada apa gitu," celoteh Rania.
"Suka kan?" tanya Boby.
"Gak tuh!" jawab Vani. Namun, ia terus mengambil bunga-bunga dari teman-temannya.
"Loh? Kok tetep diambil bunganya?" tanya Boby.
"Gak salah lagi. Aku bahagia banget." Vani memeluk Boby.
"Ih pasangan prik!" hina Karin dan berlalu pergi.
Hubungan Vani dan Boby kembali membaik. Lili, sahabat Vani yang baru mengetahui hal itu, memberikan ucapan selamat untuk Vani. Begitu juga dengan Ayarra.
"Oh, jadi ceritanya gitu," ujar Cindy.
Amel menghubungi Dina. Ia menanyakan kepastian tentang kepulangan ibunya.
"Mah, kapan pulang sih?" rajuk Amel.
"Belum tau pasti," jawab Dina.
"Papah pulang gak tadi malam?" tanya Dina.
"Emang Papah gak di situ ya? Amel kira Papah sama Mamah di tempat Uwa Nadia."
Dina kesal karena suaminya kerap ringan tangan terhadap Rayan. Meskipun, Rayan anak yang kurang baik. Dina telah melihat Hilmi terus memarahi dan memukuli Rayan.
"Hallo?" tanya seorang perempuan ketika Dina mencoba untuk menghubungi suaminya. Dina lekas mematikan panggilan. Walaupun, dia sangat penasaran dengan wanita yang menerima panggilan telepon darinya.
"Eh, Rayan, udah pulang? Kok gak bareng Cindy?" tanya Nadia.
"Cindy lagi sibuk kali," sinis Rayan sembari menyimpan sepatu sembarangan.
"Biar Dina aja, Kak. Maafin Rayan ya," ucap Dina.
Dina merapihkan sepatu Rayan. Ia khawatir jika meninggalkan Rayan sendirian di rumah kakaknya, kelakuan Rayan akan semakin tidak sopan.
"Gak papa kok, Din. Yang penting Rayan sehat," ucap Nadia.
Dina memasuki kamar Rayan. Ia memberikan Rayan nasihat, "Rayan, kamu kenapa sih ketus sama Uwa Nadia? Gak boleh gitu dong!"
Rayan memberikan alasan, "Enggak kok, enggak ketus. Biasa aja."
"Rayan mau motor baru? Nanti Mamah beliin ya. Asal, Rayan ke sekolah yang rajin. Gak papa kok Rayan gak dapat ranking. Gak papa nilai Rayan jelek. Yang paling penting, Rayan sekolah setiap hari," papar Dina.
Rayan hanya mengangguk. Sebenarnya, Rayan ingin hidup bebas tanpa larangan. Namun, Rayan tidak mau mengatakan hal yang akan menyakiti hati Dina.
Farhan bersiap untuk tawuran. Maman dan Gilang tidak ingin ikut dalam kegiatan negatif itu. Ia merundingkan beberapa hal dengan yang lain.
"Lu bawa senjata apa?" tanya Farhan.
"Ini," Firman memperlihatkan senjatanya.
"Kayu? Udah gak bisa. Lu harus bawa yang tajem. Bego lu," hina Farhan. Diiringi dengan tawaan dari beberapa siswi.
"Gue gak punya anjir. Terus gimana dong?"
"Lu harus beli senjata dulu," saran yang lain.
Firman sangat ingin mengikuti tawuran. Namun, ia tidak memiliki senjata tajam. Ia memohon kepada Farhan sebagai ketua.
"Mau lu sujud depan gue, lu gak bisa ikut."
Firman hanya bisa mengurungkan niatnya. Dengan rasa tenang dan santai, dia pulang. Firman sudah memiliki niat di dalam hati untuk membeli senjata tajam.
"Serang!"
Baku hantam antar sekolah itu dimulai. Mereka tidak memikirkan dampak dari perilaku buruk yang mereka lakukan. Juga, tidak kapok dengan adanya kejadian yang menimpa Rayan.
"Lu gak ikut?" tanya Maman pada Gilang sambil menunjuk ke arah beberapa murid yang sedang tawuran.
"Ya kali gue ikutan."
Farhan menyeringai. Sebuah pisau dia arahkan ke musuh. Namun, dengan sigap segera ditepis. Farhan gesit mengambil pisau yang terjatuh di tanah. Tidak lebih cepat dari musuh, lengannya diijak.
"Lu pantes dapet ini," gerutu lawannya dari sekolah lain.
Oleh dua orang, Farhan dibawa ke arah lain untuk dihajar. Pipi serta matanya mendapat pukulan beberapa kali.
'Bug'
'Bug'
Dua orang yang memukuli Farhan, terkapar. Farhan beruntung, teman-temannya menolong.
"To---" Ari, teman satu geng Farhan, melambaikan tangan. Ia meminta tolong. Dari dagunya, banyak darah yang keluar.
Farhan, sebagai ketua, mengingkari janjinya untuk menolong teman satu geng. Ia memilih untuk memukuli lawan. Walaupun, ia tau Ari memerlukan bantuan.
"Jangan lari!"
Dua orang polisi memerintah sambil menyodorkan pistol. Namun, para pelaku tawuran, tidak mau mendengar. Mereka berlari berhamburan. Mereka juga membuang senjata yang dibawa dengan sembarangan.
"Gue tolongin Ari dulu ya," ucap Riki. Farhan menahannya.
"Jangan, nanti kita ketangkep!"
Riki tetap memilih untuk menolong Ari. Farhan berlari mengambil motornya. Hanya Riki yang sudi untuk menolong Ari. Walaupun, dia mengetahui risikonya.
"Aaaaaaaaaw!" Rintih Ari. Riki memapah Ari. Polisi datang untuk bertanya.
"Nanti dulu, Pak, nanyanya. Temen saya lagi kesakitan ini," ucap Riki. Riki terpaksa membawa Ari ke rumah sakit dengan mobil polisi.
Setelah mengurus Ari, Riki digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan tentang kejadian hari ini.
"Dari sekolah mana kamu?"
"SMA 707G Jakarta, Pak," jawab Riki.
"Siapa aja teman kamu yang tadi ada di sana?"
Riki menyebutkan semua nama teman-temannya. Polisi kemudian menelepon pihak sekolah.
Orang tua Ari memilih untuk bersikap tak lagi peduli. Sebab, sudah kesekian kalinya, Ari terluka karena tawuran.
"Baik Buk, terima kasih infonya," ujar orang tua Riki yang dihubungi oleh pihak sekolah.
"Berapa uang yang harus saya tebus untuk mengambil anak saya?" Orang tua Riki langsung berbicara ke intinya.
"Aduh, untung gak ketauan," Ilham, yang bersembunyi di belakang masjid, mengelus dada. Ia merasa beruntung.
"Mau lari ke mana?"
Ilham tidak menyadari jika dia dibuntuti oleh polisi selama membawa motor.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ilham.
Polisi memborgol lengan ilham. Ilham hanya bisa berpasrah diri. Polisi meminta agar Ilham memberikan nomor ponsel orang tuanya. Ilham menggeleng. Ia takut akan kemarahan dari kedua orang tua.
"Kalo kamu gak mau, ada hukumannya," ancam polisi wanita itu dengan wajah yang intimidatif.
"Saya siap menerima hukumannya, Buk," ucap Ilham. Ia memilih untuk menerima apa pun hukumannya. Darpada kedua orang tuanya mengetahui kenakalan dirinya.