Chereads / Badboy Vs Jenius Girl / Chapter 12 - POV Rayan : Tentang Kematian Ari

Chapter 12 - POV Rayan : Tentang Kematian Ari

Mendengar kata-kata dari Riki tentang betapa pengecutnya Farhan sebagai ketua geng, membuatku marah. Ingin rasanya segera berangkat ke Jakarta untuk melihat kondisi Ari yang sedang di rumah sakit.

"Rayan, Nenek kena stroke. Sekarang lagi di rumah sakit."

Mamah memberitahu jika Nenek sedang di rumah sakit. Sungguh suatu kebetulan. Tapi, bukan berarti aku bahagia mendengar kondisi Nenek.

"Yaudah kita ke Jakarta sekarang," pintaku pada Mamah. Kami tergesa menyiapkan barang yang akan dibawa.

"Mau pada kemana kok buru-buru?" Uwa Nadia bertanya.

"Mertua Dina kena stroke," terang Mamah.

Uwa Nadia dan Cindy ikut dalam perjalanan kami ke Jakarta. Kak Dinda telah menunggu kedatangan Mamah. Kak Dinda menjaga Nenek sembarangan. Entah kenapa Kak Amel tidak pulang ke rumah semalaman. Menghubungi melalui sambungan ponsel pun sulit.

"Lu dimana?" Riki bertanya tentang keberadaanku.

Kami bertemu di sebuah gang. Aku memberikan usul untuk menghajar Farhan. Riki menyetujui itu. Tetapi, kami memutuskan untuk melihat kondisi Ari.

"Pasien bernama Ari telah meninggal," ungkap seorang perawat. Kami lekas ke ruang jenazah untuk melihat Ari. Riki meneteskan air mata. Mereka memang cukup dekat.

'Brak'

Riki mendobrak pintu markas. Firman yang tidak paham apa pun, bertanya pada Riki, "Ada apa nih?"

"Mana ketua kalian?" tanyaku dengan nada tinggi. Yoga menunjuk ke arah Farhan.

Sang ketua terlihat sedang bersantai. Mereka sama sekali tidak mencari tahu tentang kondisi Ari. Seperti biasa, wajah Farhan selalu mengejek.

'Bug'

'Bug'

Kupukul Farhan sambil melontarkan kata, "Lu tuh gak pantes jadi ketua."

Riki berteriak lantang, "Ari meninggal. Dan lu, sebagai ketua, gak mau nolongin dia sama sekali. Persetan!"

Riki juga menjabarkan ketika dirinya akan menolong Ari, Farhan melarangnya. Dengan alasan akan merepotkan.

Teman-teman yang lain cukup terkejut dengan penuturan dari Riki. Sampai-sampai, mereka bertanya apakah kami berbohong. Farhan memberikan alibinya,"Bukan cuman satu orang yang harus gue tolong."

"Alah, bacot lu! Waktu kemaren, Nanda sama Putra yang nolongin lu. Bukan lu yang nolongin temen-temen." Amar menjelaskan.

"Pengecut!" berangku.

Setelahnya, semua teman-teman, keluar dari markas. Mereka berniat untuk mendatangi kediaman Ari. Sebelumnya, mereka juga memberikan kata-kata yang buruk untuk ketua.

"Gue lagi di Jakarta. Sekarang, lu ke rumah Ari ya. Bawa Gilang juga sekalian," ucapku kepada Maman melalui sambungan telepon.

"Ke rumah Ari? Tapi, ada apa?" tanya Maman penasaran.

"Udah, pokoknya datang aja ke sini," kataku.

Gilang dan Maman cukup terkejut ketika mengetahui tentang kematian Ari.

"Lu tau dari mana sih? Kita aja yang di Jakarta gak tau," tanya Maman.

Riki menjawab, "Gue yang kasih tau Rayan."

"Tapi lu gak ribut kan sama Farhan?"

"Lu salah nebak, Lang."

Tidak lama dari itu, Nindi datang. Ia tersenyum tipis ke arahku. Aku tidak mau menyapa dan bahkan membalas senyuman. Ibunda Ari dan kekasihnya sangat terpukul atas kepergian Ari.

"Tawuran itu gak ada gunanya. Liat tuh! Kamu mau nanti kaya gini?"

Tiba-tiba, seorang wanita tua yang tidak dikenali, berbicara lantang. Ia membawa anaknya yang terlihat seumuran denganku.

"Buk, bisakah Saya berbicara dengan Anda?" tanyaku.

"Ada apa ya, Dek?"

Aku membawanya ke tempat yang agak jauh dari pemakaman. Aku mengatakan, "Tolong hargai keluarga korban.

Ibu-ibu itu, lekas pergi setelah aku menegurnya. Perkataan ibu-ibu tadi memang ada benarnya, tapi, tidak semestinya juga mengatakannya dihadapan keluarga yang tengah berduka.

"Kumpul dulu lah sama anak-anak," pinta Gilang dan Maman.

Tak sedikit dari mereka yang mengatakan hal buruk tentang Farhan. Sambil menghisap rokok, Firman menyusulkan agar aku tetap menjadi ketua.

"Gue gak bisa lagi ikutan tawuran," kataku.

"Tapi, kalo cuman geng motor dong, gue bisa. Tanpa ada tawuran."

Kejadian yang menimpaku dan Ari sudah membuatku kapok untuk mencari keributan. Ditambah, Mamah gamoang menangis jika mengetahui anaknya dalam bahaya.

"Yaudah, kaya gitu aja."

Teman-teman yang lain menyetujui hal itu. Namun, berhubung aku tidak lagi tinggal dan bersekolah di Jakarta, kami tidak bisa setiap hari bertemu.

"Gampang, ngatur jadwal mah," ucapku.

Disela-sela percakapan kami, Yoga bertanya padaku, "Tadi ada si Nindi, kok gak saling sapa?"

Maman dan Gilang berdeham. Aku menjawab, "Nindia sekarang udah jadi milik ketua."

"Farhan maksudnya? Hah, kok bisa? Ih kok gue gak tau?" Aku dicecar banyak pertanyaan.

Menaikkan bahu dan berkata, "Tanya aja sama orangnya langsung."

"Wah, gila si Farhan. Gue yakin sih dia tuh dari awal emang gak suka sama lo. Makanya, apa pun, yang lo miliki, dia rebut," kata Firman dengan yakin.

"Iya sih keliatan banget dia kaya gitu. Inget gak yang pas dia mau jadi ketua? Gak masuk akal sih, cara dia buat gantiin lu. Dia yang ngatur lagi harus kaya gimana," celoteh Maman.

Aku merenungkan kata-kata dari teman-teman. Jika Farhan hanya merebut apa yang telah aku milikki karena kebencian, bukan tidak mungkin, dia tidak mencintai Nindia.

"Kita ke rumah Ari lagi yuk! Kita kirim doa," ajakku pada teman-teman.

Setelah selesai mengaji untuk Almarhum Ari, kami pun pulang ke rumah masing-masing.

"Dari mana aja kamu?" Diambang pintu, Papah berdiri seperti menantikan kehadiran seseorang.

"Dari rumah temen," jawabku singkat.

"Lu lagi ngapain sih?" tanyakku kepada Kak Amel. Ia memasuki kamarku terus, mencari sesuatu.

"Gue lagi nyari gunting. Kan lu tukang tawuran. Pasti adalah gunting doang mah," jawabnya.

"Pergi!" usirku.

"Iya, ini juga mau keluar."

Aku tidak suka jika seseorang masuk dengan sembarangan ke kamarku. Aku berjalan ke meja belajar. Ditemukan foto-foto Nindia dan aku dulu.

"Kamu mau aku suapin gak?" tanya Nindia kala kami masih menjalin hubungan. Aku menerima suapan dari Nindia. Entah mengapa Nindi mengakhiri hubungan kami.

Sial! Segala tentangnya selalu ada di dalam pikiranku sekarang. Dua orang. Aku kehilangan dua orang yang aku sayangi karena Farhan. Memang, penyebab utama dari kematian Ari bukan karena Farhan. Tapi, dia sangat menjengkelkan. Sikap dan perilakunya.

"Gue jadi ketua biar bisa bantuin kalian kalo kenapa-kenapa."

Ucapan Farhan terhadap teman-teman hanyalah omong kosong. Buktinya, dia yang berlari terlebih dahulu ketika polisi datang. Ia yang bagai pengecut itu masih bisa membuat alasan. Aku membenci dia selamanya.

"Kematian itu takdir."

Tidak ada yang salah dengan kata-kata Farhan. Kematian seseorang memang takdir. Namun, yang membuatku membencinya adalah karena dia tidak mau peduli dan menolong Ari, karena dia mengelak semua keterangan dari Riki. Bahkan, orang yang sangat ingin menjadi ketua itu sama sekali tidak terlihat di pemakaman Ari.

"Rayaaaaan! Banguuuuun!" Mamah membangunkanku. Menyuruh untuk lekas sarapan kemudian mandi.

Kami akan kembali lagi ke Bandung. Tempat yang cukup asing bagiku. Tidak ada teman-teman yang aku kenali.