Aku membuka pesan darinya yang saat itu masih menjadi kekasih, "Kita putus!"
Bahkan, penyebab utama tentang akhir dari hubungan ini, tidak Nindia ungkapkan. Namun, satu yang menjadi keyakinan saat itu. Gilang, seorang sahabat, memberitahu bahwa Nindia dan Farhan terlihat memasuki rumah yang sama.
"Kurang ajar!" ku mengeram tidak terima. Tanpa memikirkan perasaan Mamah, aku berlari mencari motor yang menganggur. Sebenarnya, saat itu aku berniat untuk meminjamnya sebentar.
"Rayaaaaaaan!" panggil Mamah saat melihatku berlari ke luar.
Bukannya aku tega membiarkannya khawatir. Tetapi, ada sesuatu yang harus dilakukan. Kebetulan, terlihat motor tanpa pemilik. Juga kunci yang masih menggantung. Langsung kubawa motor dengan kecepatan tinggi.
Berhenti di sebuah warung, pemberitahuan dari ponsel sangat banyak. Panggilan dari Mamah dan keluarga lain. Termasuk pesan masuk.
"Hallo?"
Mencoba untuk menghubungi Nindi, malah suara seorang pria yang mengangkatnya. Suara yang tidak asing terdengar.
"Hallo," jawab sang penerima telepon.
"Ini siapa?" tanyaku.
Dia malah mengenalkan diri sebagai kekasih baru Nindia, "Gue Farhan. Sekarang Nindi udah jadi milik gue."
"Gue mau ketemu sama lo. Lo dimana?"
Menanyakan keberadaan Farhan, aku langsung berangkat untuk menemuinya. Menghampiri Farhan rasanya, aku ingin membunuh penghianat itu.
'Bug'
'Bug'
Kulayangkan pukulan ke wajahnya. Farhan juga membalas pukulan. Ia bertanya, "Lu kenapa mukul gue?"
Pertanyaan yang seharusnya tidak dia lontarkan. Farhan bukan bertanya tapi sedang meledekku.
"Kenapa lu tanya hal yang lu juga udah tau jawabannya?" kesalku.
"Oh, jadi soal Nindi? Tanya aja sama Nindinya. Kenapa dia mutusin lo dan jadian sama gue."
Tertegun ketika mendengar ucapan Farhan, aku seharusnya tidak marah dengan keputusan Nindi.
"Farhaaaaan! Rayaaaaan!" dari kejauhan, ada suara yang memanggil kami. Gilang dan Maman menyusul. Entah dari mana mereka mengetahui lokasi kami.
Maman dan Gilang membawaku ke rumah Maman. Tidak ada keluarga Maman. Hanya ada kami bertiga. Gilang pergi entah kemana.
"Nih!" Maman menuangkan alkohol untukku setelah Gilang kembali.
"Tadi, Kakak lu pada ke rumah gue. Nyariin lu," kata Gilang.
"Gue tau kok," jawabku.
"Aku kangen kamu."
Baru kemarin malam, Nindia mengatakan hal itu. Seperti berat ketika aku mengabarkan bahwa aku akan tinggal di luar kota. Tapi, Nindia juga yang mengakhiri hubungan kami.
Gilang dan Maman terlalu banyak melarang. Hingga, Gilang akan melaporkan sesuatu kepada Kak Dinda. Aku dengan gesit mengambil ponsel dan mematikan panggilan. Menenggak beberapa alkohol, lantas, pergi dengan motor yang entah milik siapa.
"Ray tungguuuuu!" Gilang dan Maman memanggil. Mereka pasti panik dengan kondisiku yamg sedang marah. Juga dalam pengaruh alkohol. Aku hanya menoleh beberapa detik. Kemudian, berkendara lagi.
Orang bilang, dengan alkohol, masalah yang menumpuk, akan terasa lebih ringan. Namun, tidak bagiku. Kata-kata Nindia selalu terngiang dikepala.
"Tolooooooong!"
Terdengar jeritan perempuan. Terlihat seorang pria tua sedang berupaya mengambil tas dari perempuan yang berteriak meminta tolong.
Dengan lantangnya, aku berteriak, "Heh biadab lepasin gak?"
Dengan pengaruh alkohol, keberanianku meningkat. Mungkin juga, faktor dari kekesalan kepada Farhan. Kupukul preman itu dengan sekuat tenaga. Anehnya, dia malah terkekeh sambil bersiul.
"Anjir!"
Ternyata, dia memanggil teman-temannya. Ada yang memakai tato dan bertindik. Tampang mereka juga menyeramkan. Beberapa dari mereka, mengepalkan tangan. Bersiap untuk memukul wajahku.
"Ayo!" ajakku para perempuan malang itu. Aku menarik pengelangan tangan tanpa melihat wajahnya terlebih dahulu.
"Lu lagi?" ujarku ketika melihat Ayarra, gadis yang memanggilku dengan sebutan 'Cowok mesum'
"Baru sadar?" imbuh Ayarra.
Segera, kelepaskan lengan Ayarra dengan kasar. Kenapa harus dia kagi yang aku temui. Dan juga, kenapa aku memarkirkan motor dengan jauh.
"Akhirnya," ucapku lega. Ayarra juga menaiki motor yang kubawa. Ayarra memelukku erat.
"Tungguuuu! Tungguuu! Berenti!"
Ayarra memintaku untuk menepikan motor. Tetapi, aku menolak. Ayarra terus mengoceh. Terpaksa, aku mengikuti keinginannya.
Dengan tatapan serius, Ayarra menuduh, "Ini bukan motor kamu kan?"
"Emang bukan. Terus kenapa sih? Yang penting, gue udah nolongin lu. Dan lu selamet," jawabku.
"Kamu maling motor ini kan?" selidiknya lagi.
"Aneh lu jadi cewek. Udah ditolongin juga. Bukannya bilang makasih. Malah nuduh-nuduh."
"Balikkin gak!" bentaknya sembari mengulurkan tangan. Ia meminta kunci motor.
"Dih, apa sih. Kaya lu kenal aja sama yang punya motor," jawabku.
"Ini tuh motor punya Kakak aku," beber Ayarra.
Aku tercengang mendengarnya. Kubalas, "Sumpah?"
Ayarra berhasil mengambil kunci motor. Ia ingin meninggalkanku di pinggir jalan setelah ditolong. Benar-benar, tidak tahu balas budi!
Aku menentangkan kedua lengan sambil berkata, "Tunggu!"
Aku menjelaskan bahwa aku ingin pulang bersamanya. Dan menyuruhnya untuk duduk di belakang.
"Yaudah, kalo kamu gak mau ikut,"
Setelah aku menolongnya, dia menuduhku maling, dan berani mengancam. Aku hanya bisa menurut dibuatnya.
"Tapi, kamu jangan peluk-peluk aku yah!" perintahnya sebelum berkendara.
Aku membalas, "Gue bukan lo ya, yang peluk-peluk cowok orang."
Ayarra memiliki alibi, "Tapi tadi itu darurat. Soalnya kamu bawa motornya ngebut."
"Oh, jadi kalo darurat, gue boleh nih, peluk-peluk lo?" tanyaku.
"Ih! Enggaaaak!" katanya.
Mobil Papah terparkir di depan rumah Tante Nadia. Aku meminta bantuan Ayarra.
"Apa lagi sih tadi kan udah dibantu," sinis Ayarra.
Tidak membenci Papah, aku hanya tidak mau mendengar ceramah darinya. Mamah, pasti telah memberitahukan Papah bahwa aku melarikan diri.
Beruntung, Ayarra mau membantu. Dia terdengar sedang mengetuk pintu rumah. Sedangkan, aku berupaya masuk ke dalam kamar tanpa sepengetahuan siapa pun.
"Huh!" Aku menarik napas lega. Akhirnya, berhasil juga. Aku pikir tidak akan ketahuan. Tapi, kaki menginjak sesuatu yang licin hingga aku terjatuh dan menghasilkan bunyi.
"Dari mana kamu?" tanya Papah yang telah sampai ke loteng. Dia berkacak pinggang.
"Tadi-ta-"
Jujur, aku terbata-bata bukan karena merasa takut menatap wajahnya. Aku takut Papah semakin naik pitam ketika mencium alkohol yang keluar dari mulutku.
'Plak'
Dua kali tamparan, mendarat di kedua pipi. Aku hanya diam tanpa perlawanan. Mamah kemudian menyusul dan memeluk tubuh ini.
"Udah, Pah, yang penting Rayan udah pulang," kata Mamah waktu itu. Saking khawatir, Mamah mungkin tidak mencium aroma alkohol yang pekat ini.
"Cari masalah aja bisanya!" omel Papah.
Beberapa detik kemudian, Papah memarahiku lagi, "Kamu tau gak, Mamah kamu khawatir. Mamah kamu sampai gak makan dari pagi."
Aku merasa bersalah karena telah membuat semua keluarga khawatir. Terutama Mamah yang sampai terlihat pucat pasi.
"Hilmi! Udah atuh jangan dimarahin terus Rayannya." Uwa Nadia sampai datang ke loteng.
"Dia udah keterlaluan teh! Buat orang tua khawatir aja," jelas Papah.
Keheningan menggantung hingga Mamah menawarkan makan untukku. Kemudian, Uwa Nadia meminta agar Mamah diam dan Uwa Nadia yang masak untuk kami. Papah pergi tanpa pamit setelah puas mengomel.