Rayan tidak melimpahkan kematian Ari adalah karena Farhan. Sungguh! Rayan hanya kesal karena Farhan tidak ada niatan untuk menolong Ari yang pada saat itu dalam keadaan terluka.
"Tawuran itu gak ada gunanya! Liat tuh! Kamu mau nanti kaya begitu?"
Entah datang dari mana, seorang ibu yang membawa anaknya ke pemakaman Ari. Kabar tentang kematian Ari karena tawuran telah menyebar luas.
"Bisa saya bicara dengan Anda sebentar?" Rayan menghampiri seseorang wanita yang tiba-tiba dengan lantang berbicara tanpa pandang tempat.
"Mau ngomong apa ya, Dek?" tanyanya.
"Ibu tau kan ini pemakaman. Ada keluarga korban juga. Tolong hargai perasaan keluarga korban," Rayan meminta agar wanita itu tidak berbicara hal yang akan menyakiti keluarga Ari.
Keluarga Ari tidak ada yang menegur perilaku aneh dari wanita tak dikenal tersebut. Hanya Rayan yang paling berani untuk menegur perkataan ibu-ibu dengan tampilan menor tersebut.
"Udah dua malam, kamu gak pulang. Kamu kemana?" tanya Dina pada suaminya.
Hilmi mengelus rambut Dina. Ia menjabarkan alasannya, "Papah ada urusan bisnis di luar kota. Jadi, gak pulang. Maaf ya, gak bilang dulu. Kamu khawatir ya?"
"Gak papa, Kok. Aku gak masalah kamu gak izin sama aku. Tapi kok, yang angkat telepon dari aku cewek?" tanya Dina.
"Cewek?"
Hilmi menatap ke atas. Ia berusaha mengingat-ngingat sesuatu.
"Oh, itu mungkin Clara, sekretaris aku. Kamu percaya kan?"
"Kamu datang sama Rayan kan?" Hilmi langsung mengalihkan pembicaraan. Matanya mencari sosok Rayan.
"Iya. Mungkin Rayan lagi ke rumah temennya."
"Tadi Rayan liat kondisi ibu dulu gak?"
"Rayan liat kok. Tapi, gak lama," terang Dina.
"Aduh Mah! Ngapain sih kaya begitu di pemakaman orang?" tanya seorang pemuda yang sebaya dengan Rayan.
"Ya biar kamu sadar akibat dari tawuran itu gimana," jawab wanita kolot itu.
"Mamah jangan kaya gitu lagi lain kali!" pinta pemuda pada ibunya.
"Ya kalo kamu mau Mamah gak kaya gitu lagi, kamu jangan berantem melulu!"
Cindy bermalam di kediaman keluarga Rayan. Menempati kamar Amel, Cindy dan Nadia tertidur pulas.
"Kamu dari mana aja?" tanya Hilmi pada Rayan.
"Dari rumah temen."
Rayan menjawab singkat. Rayan tidak menyapa atau menatap Hilmi. Ia lekas bergegas ke kamarnya.
"Lu ngapain di sini sih?" tanya pada Amel.
"Santai aja sih ngomongnya. Gue cuman cari gunting di sini. Lu kan suka tawuran. Pasti ada benda tajem di sini,"
"Keluar!" usir Rayan.
"Ih iya. Ini juga mau keluar," gumam Amel.
Hilmi yamg tidak menerima perlakuan Rayan yang menurut pandangannya kurang ajar, menegur Dina, "Din, kamu suka ajarin Rayan tatakrama gak? Rayan kok kurang sopan sama aku?"
"Sering aku ajarin Rayan tatakrama. Kalo kamu?" Dina membalikkan pertanyaan yang Hilmi layangkan kepadanya.
"Kenapa jadi tanya balik?" sinis Hilmi.
"Anak adalah peniru yang baik Pah. Terkadang, apa yang orang tuanya lakukan, akan anak lakukan juga."
"Maksud kamu, aku mengajarkan Rayan hal yang gak baik?" Hilmi langsung menangkap apa yang Dina maksud.
"Iya, kamu sering mukul Rayan. Kamu pikir, itu baik buat mentalnya?"
"Aku ngelakuin itu karena Rayan nakal. Dia sering bolos, tawuran, gimana aku gak mukul Rayan?"
"Tapi, gak dengan kekerasan juga, Pah! Masih banyak kok cara lain."
Perdebatan antara suami istri itu kian berlanjut. Sampai, Hilmi keluar dari kamar dan memilih untuk terlelap di sofa.
"Mau ngapain lo di sini?" tanya Yoga kepada Farhan.
"Terserah guelah. Gue kan ketua," ucap Farhan tanpa merasa bersalah.
Firman dan Yoga tidak menyangka jika Farhan berani menunjukkan diri di hadapan para teman satu geng setelah kejadian yang menimpa Ari.
"Ketua? Anak-anak udah gak mau lagi tuh, liat muka lu. Apalagi, masih ngebiarin lu buat jadi ketua," terang Firman.
"Terserah kalian ya. Yang jelas, gue tuh masih ketua," kekeh Farhan.
Firman, Yoga, dan beberapa teman yang lain sepakat jika ketua geng mereka adalah Rayan. Rayan menolak. ia ingin menjadi ketua, asal, tidak lagi terlibat dalam tawuran.
"Gue udah gak mau ikutan tawuran lagi," terang Rayan.
"Gue mau jadi ketua. Asal, kita gak tawuran. Cukup jadi geng motor yang baik aja," usul Rayan.
Mereka menyetujui usulan dari Rayan. Namun, jarak yang memisahkan tidak bisa membuat mereka selalu bersama. Hanya di hari libur, mereka bisa bertemu.
"Ngomong-ngomong soal motor, motor gue kan udah dijual," Rayan menepuk kening.
"Harus bujuk Mamah nih," gumam Rayan.
"Kamu gak kangen apa sama aku?"
Nindia mengirimkan Farhan pesan. Ia merindukan sosok Farhan yang dulu sangat memedulikan dirinya. Farhan hanya mengabaikan pesan dari kekasihnya.
"Anjing! Gara-gara Rayan nih!"
Hanya umpatan yang keluar dari mulut Farhan. Ia merasa jika cemoohan dari anak-anak lain pada dirinya itu karena Rayan.
"Gue harus bales dendam!"
Tekat Farhan untuk membalas Rayan sudah bulat. Upacara di semua sekolah sedang berlangsung.
"Mari sejenak kita berdoa untuk Almarhum Ari."
Kepala sekolah meminta agar seluruh siswa dan siswi, serta guru berdoa untuk Ari.
"Tara, hari ini Cindy izin," ucap Ayarra pada sekretaris di kelas Cindy.
Karin, Rania, dan beberapa murid perempuan yang sering membuat alasan sakit di hari upacara, mengikuti upacara untuk melihat Rayan.
"Tumben Rania gak sakit?" ledek seorang guru.
"Kan gak setiap hari sakit, Buk," ujar Rania.
"Kan langganan sakitnya hari senin."
Rania hanya tersenyum karena apa yang dikatakan oleh guru perempuan itu benar.
"Duh! Rayan mana lagi?" batin Karin yang mencari Rayan.
"Mungkin kesiangan," pikir Rania yang juga berharap bisa mencuri pandang.
"Rayan! Bangun!" Dina membangunkan Rayan untuk sarapan.
"Aduh, Mah, masih ngantuk nih!"
"Sarapan dulu, nanti udah sarapan kita balik lagi ke Bandung," jelas Dina.
"Mah, Amel berangkat ke rumah sakit," Amel dan Dinda bergantian untuk menjaga neneknya.
"Iya sayang, hati-hati!" sahut Dina.
"Cin, mandi dulu, nanti baru sarapan," saran Nadia.
"Iya, Mah," jawab Cindy.
"Belum sarapan lagi," lirih Dina ketika melihat sofa dengan bantal dan guling yang belum di rapihkan. Dina membereskan bekas tidur suaminya.
"Mah, Dinda pulang!" teriak Dinda.
"Dinda langsung tidur ya, Mah, ngantuk nih," tambah Dinda.
"Iya sayang, istirahat aja," jawab Dina.
Di meja makan, Dina bertanya kepada Rayan, "Kata Papah, Rayan bersikap kurang sopan. Emangnya bener?"
"Iya Mah, soalnya, Rayan lagi berduka. Temen Rayan meninggal," jelas Rayan.
"Oh gitu. Nanti Rayan jelasin ke Papah ya. Biar Papah gak salah paham," pinta Dina.
"Kaya ada yang kurang," batin Ayarra. Ayarra menatap kursi kosong di sampingnya.
"Ini pasti karena gak ada Cindy! Bukan karena gak ada si 'Cowok mesum' ih, kan gak mungkin aku kangen dia," pikir Ayarra.
Ayarra membuang jauh-jauh pikiran bahwa dirinya merindukan seorang Rayan. Ayarra menyakini jika dia merindukan sahabatnya, Cindy.