"Rayan?" batin Ayarra. Ayarra tidak menyangka jika Rayan mau menolongnya.
Kebetulan sekali, Rayan sangat ingin bertengkar untuk melampiaskan amarahnya kepada Farhan dan Nindia. Tanpa basa-basi, Rayan meninju pria dengan tampang yang liar itu.
"Hahaha." tertawa dengan tinjiuan dari Rayan, Pria yangg memiliki niat jahat terhadap Ayarra, bersiul. Rupanya, dia memanggil teman-teman gengnya.
"Anjrit!" batin Rayan.
Keluarlah sekelompok manusia dengan penampilan yang mirip dengan preman. Didominasi dengan tato dan tindik, mereka melangkah menghampiri Rayan dan Ayarra.
"Bantuinlah!" ucap Maman pada Gilang.
"Keadaan belum terlalu darurat."
Rayan menarik pengelangan tangan Ayarra. Mereka berlari menghindari kejaran para preman. Rayan melirik ke arah Ayarra. Mulutnya terbuka.
"Lu lagi?"
Rayan terkejut ketika gadis yang ditolongnya adalah Ayarra. Rayan pun melepas lengan Ayarra dengan kasar.
"Baru sadar?" tanya Ayarra dengan napas yang tersenggal.
Maman dan Gilang melajukan motor ke arah para preman. Rayan dan Ayarra masih berlari menuju ke motor yang Rayan parkirkan dengan sembarangan. Rayan dan Ayarra pun menaiki motor.
"Nyari ribut?" tanya salah satu preman kepada Gilang dan Maman.
"Kita mau cari alamat bang, bukan mau cari keributan," alibi Gilang.
"Kita bukan Google Maps!" ucap salah satu diantara mereka. Raut wajah mereka terlihat kesal karena Gilang dan Maman menghalangi jalan untuk bertengkar dengan Rayan.
Dengan erat, Ayarra berpegangan memeluk Rayan.
"Tunggu! Tunggu! Berhenti!" teriak Ayarra dalam perjalanan.
"Apa lagi?" jawab Rayan dengan kesal.
"Pokoknya berenti dulu," titah Ayarra. Kali ini, dengan lemah lembut.
Rayan pun berhenti di bahu jalan. Ayarra juga meminta agar Rayan turun. Ayarra memperhatikan tampilan motor. Dari stiker dan plat nomor. Ayarra sangat yakin jika itu adalah motor milik kakaknya.
"Ini bukan motor kamu kan?"
Tatapan Ayarra begitu yakin. Rayan mengangguk dan berkata, "Emang bukan. Terus kenapa sih? Yang penting lu udah selamet gue tolongin."
"Kamu maling motor ini kan?"
"Gak jelas lu jadi cewek. Udah ditolong bukannya bilang makasih. Malah nuduh-nuduh," cemooh Rayan.
"Balikkin gak?" Ayarra mengulurkan tangannya. Ia bermaksud untuk meminta kunci motor kakaknya.
"Dih, apa sih. Kaya lu kenal aja ama yang punya motor."
"Ini motor kakak aku," ungkap Ayarra.
Rayan menyatukan alis. Ia berkata, "Sumpah?"
Dengan kesan pertama mereka yang buruk, dan pertemuan tak terduga yang sedang terjadi, Rayan tidak menyangka jika motor yang dia ambil secara acak, adalah motor dari kakak Ayarra.
"Iyalah, siniin kuncinya!" pinta Ayarra dengan cara yang buruk. Ayarra berhasil mengambil kunci motor yang masih menggantung di motor.
"Eh tunggu!"
Rayan merentangkan kedua lengan. Ia menghalangi Ayarra untuk menaiki motor.
"Apa lagi sih? Aku udah maafin kamu ya. Dan aku gak akan bilang ke siapa pun kalo kamu itu udah maling motor kakakku," celoteh Ayarra.
"Gue udah nolongin lu ya. Balas budi kek," ketus Rayan sambil melipat kedua tangan. Ayarra pun menaiki motor.
"Yaudah naik," seru Ayarra.
"Gue ajalah yang bawa," pinta Rayan.
Dengan keras kepala, Ayarra membalas, "Gak mau. Yaudah kalo kamu gak sudi aku bonceng, sana!"
"Terserah!" sinis Rayan sembari menaiki motor.
"Kamu jangan pegang-pegang aku yah. Jangan cari-cari kesempatan!"
"Gue bukan lo yah yang peluk-peluk cowok orang," balas Rayan.
"Tapi itu darurat yah. Karena kamu bawa motornya ngebut.Jangan mikir aneh-aneh!" dalih Ayarra.
"Oh, jadi kalo darurat, gue boleh meluk lu?"
"Enggak!" berang Ayarra.
Rayan melihat mobil milik ayahnya terpampang di halaman rumah tante Nadia. Ia meminta bantuan dari Ayarra lagi.
"Bantuin gue lagi dong,"
"Bantuin apa lagi? Kan kamu teh udah sampe di rumah."
"Ada Bapak gue nih! Lu pura-pura kek mau ada urusan sama Cindy."
Ayarra mengetuk pintu rumah Cindy. Seluruh keluarga Rayan membuka pintu. Mereka sangat berharap jika itu adalah Rayan. Sedangkan Rayan, sibuk untuk menaiki tangga kayu untuk dapat memasuki kamar loteng.
"Eh, Ayarra, masuk!" sapa Cindy.
"Aku, ngobrol di sini aja ya sama kamu," ujar Ayarra di ambang pintu.
"Pamali atuh Ayarra ngobrol di depan pintu gitu. Sini masuk," titah Nadia.
"Di sini aja, Mah gapapa kok."
Ayarra mengulur waktu untuk Rayan. Cindy mendekatkan kuping ke arah mulut Ayarra. Ayarra membocorkannya, "Rayan udah masuk ke kamarnya. Lewat jendela,"
Cindy hanya mengangguk. Agar gerak-gerik mereka tidak dicurigai, Cindy tertawa.
"Kok kamu tau? Kamu sama Rayan selama hari ini?" bisik Cindy.
"Pas di jalan kebetulan ketemu," bisik Ayarra.
Sambil berkacak pinggang, Hilmi mulai mengomel, "Kalo itu anak udah ketemu, liatin aja! Udah bikin panik orang tua, Hpnya gak aktif lagi!"
'Brug'
Rayan yang tergelincir karena tumpahan air, terjatuh dan menghasilkan bunyi. Suara dari loteng itu membuat semuanya menoleh ke arah loteng. Hilmi lekas mengeceknya. Ayarra dan Cindy saling menatap satu sama lain.
"Dari mana? Hah?" sinis Hilmi dengan tatapan yang tidak ramah.
"Tadi, ta--"
'Plak'
Belum juga Rayan selesai dengan alibinya, dua kali tamparan sudah mengenai pipi. Rayan merasakan sakit dan nyeri di kedua pipi. Hangat menyeruak menyelubungi wajah. Rasa sakit itu kemudian menyebar.
"Rayaaan!" panggil Dina lalu, memeluk anaknya.
"Kamu di sini aja!" perintah Nadia pada Cindy. Nadia naik ke loteng untuk melihat apa yang terjadi.
"Oh, iya, Cin, aku minjem hp kamu dong. Aku mau telepon Mamahku,"
Ayarra baru teringat bahwa dia harus menghubungi ibunya. Cindy memberikan Ayarra ponselnya.
"Mah, ini Aya. Aya baik-baik aja. Tadi ada kelas tambahan," jelas Ayarra melalui sambungan telepon.
"Syukur atuh!"
Ibu Ayarra merasa lega setelah mendengar suara anaknya. Ayarra lekas pulang agar ibu dan kakaknya tidak khawatir.
"Cari masalah aja bisanya." Hilmi naik pitam lagi. Ia terus mengomel pada Rayan.
"Kamu tau gak? Mamah kamu khawatir. Khawatir kamu kenapa-kenapa. Dia juga belum makan dari pagi!" Suaranya makin meninggi.
"Udah Pah! Yang penting Rayan udah pulang," Dina meminta agar suaminya berhenti untuk memarahi Rayan.
Rico telah sampai di tempat les. Namun, gerbang telah tertutup rapat. Bahkan, seorang penjaga pun sudah tidak ada.
"Iya, Mah? Ini juga lagi dicari," kata Rico kepada ibunya melalui telepon.
Rico pun kembali pulang setelah mengetahui bahwa adiknya telah sampai di rumah.
"Bener-bener ngasih kerjaan si Ayarra," lirih Rico.
Rico membulatkan mata ketika dilihatnya motor yang dicuri telah ada di depan matanya. Ia mengucek mata. Khawatir ada yang salah dengan penglihatannya.
"Kaget kan?"
Ayarra menghampirinya. Rico bertanya, "Kok bisa?"
Ayarra menjawab, "Aya tadi kejar orang yang udah ambil motor a Rico. Terus Aya pukul deh sampai babak belur."
"Ngarang!" jawab Rico ketika mendengar jawaban dari Ayarra.
"Mah, Rico anterin dulu motor Mang Ali," pamitnya.
Ayarra tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya untuk memenuhi janjinya kepada Rayan.