Cindy yang sedang menjinjing plastik berisi camilan, langsung berlari ketika mendengar jeritan temannya. Dilihatnya kulit mulus seorang gadis muda dari belakang. Rayan kehilangan pikirannya. Ia membeku setelah mendengar jeritan itu.
"Tutup!" titah gadis itu setelah menjerit. Rayan segera menutup pintu ketika kesadarannya kembali.
"Ada apa ya?" Nadia dan orang tua Rayan pun, menyusul Rayan ke atas. Dari arah yang sama, Cindy mendahului mereka dengan napas yang tersenggal.
"Apa gue salah kamar?" Rayan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak terlihat adanya kamar lain.
"Rayan?"
Cindy menerka jika Rayan sembarangan memasuki kamar. Ia langsung memeriksa kondisi Ayarra.
"Cindy, kamu dari mana? Tadi teh ada cowok mesum. Aku teh lagi ganti baju." Jari telunjuk Ayarra mengarah ke pintu.
Cindy lupa untuk mengosongkan kamar loteng. Padahal, Nadia telah memerintah supaya Cindy pindah ke kamar bawah. Cindy memberikan penuturan, "Tadi itu, sepupu aku. Namanya Rayan. Maaf ya Ay."
"Ada apa ini teh?" Nadia dan orang tua Rayan melihat ke dalam kamar. Rayan hanya mengangkat bahu.
"Cindy, Mamah kan udah bilang, kamu pindah ke kamar bawah."
"Maaf, Cindy lupa, Mah." Cindy menuntun Ayarra ke kamar bawah. Ayarra menunduk dan memberikan salam kepada Nadia.
"Cindy, aku pulang aja we ya," pamit Ayarra.
Ada rasa ingin memaki Rayan. Namun, Cindy juga bersalah karena tidak ingat perkataan Nadia.
"Tapi, jangan kapok ya buat main ke sini lagi," bujuk Cindy.
Ayarra mengangguk. Ia juga pamit kepada orang tua Cindy. Cindy mengantarkan Ayarra sampai ke gerbang depan rumah.
"Hati-hati, Ayarra!" teriak Nadia dari dalam rumah.
Nadia yang penasaran, bertanya kepada Cindy, "Tadi itu ada apa Cin?"
"Tadi itu, Ayarra lagi ganti baju, Mah, udah gitu teh, Rayan masuk. Ayarra kaget. Langsung ngejerit," tutur Cindy.
"Oh gitu, tapi Ayarra gak papa kan?" tanya Nadia.
"Kayanya cuman sedikit kaget aja sih, Mah," tebak Cindy.
Hilmi kembali ke Jakarta karena harus mengais rezeki. Sedangkan Dina tinggal di kediaman Nadia bersama Rayan. Nadia dan Dina mendiskusikan sekolah baru untuk Rayan.
"Gimana kalo di tempat Cindy sekolah aja?" usul Dina.
Rayan menggeleng dengan cepat dan menolak, "Gak, Mah, apa sih. Gak mau!"
"Yaudah, besok kita cari bareng-bareng ya."
Dina menghargai keputusan Rayan. Rayan kembali ke dalam kamar. Ia merebahkan diri di ranjang. Tercium wewangian dari sebelah kirinya. Rayan menemukan baju bergambar hello kity.
"Nyusahin aja!" ketus Rayan.
Ia menginjakkan kaki ke anak tangga. Langkahnya menuju kamar Cindy. Cindy membukanya, "Nih!"
Rayan melemparkan baju hello kity ke wajah Cindy.
"Ini kan, punya Aya."
"Kita coba ke sini ya!" Dina dan Rayan mulai mencoba dari sekolah yang terdekat dari rumah Nadia.
"Saya ingin memasukkan anak saya ke sekolah ini. Apakah bisa?" tanya Dina.
"Bisa ditunjukkan rapotnya?" pinta salah seorang guru.
Guru itu membulatkan mata ketika melihat nilai-nilai yang terdapat di rapot milik Rayan. Guru wanita itu menolak Rayan secara terang-terangan, "Dengan nilai yang kurang bagus ini, pihak sekolah tidak bisa menerimanya."
Dina tidak menyerah untuk pendidikan Rayan. Ia mendatangi sekolah lain. Dengan harapan Rayan bisa diterima dengan baik.
"Boleh lihat nilai rapotnya?"
Pertanyaan itu selalu ada di semua sekolah yang telah mereka sambangi. Lima sekolah telah menolak Rayan. Hanya sekolah swasta tempat Cindy bersekolah yang tersisa.
"Ayo!" ajak Dina.
Rayan masih bergeming. Ia tidak mau satu sekolah dengan sepupunya. Meskipun, Dina telah membujuknya.
"Rayan, apa Papah perlu ke sini, supaya Rayan nurut?"
Dengan ancaman, Rayan menuruti keinginan Dina. Cindy yang menyadari kehadiran sepupu dan tantenya gegas menyapa, "Tante, Rayan mau sekolah di sini?"
"Belum tau. Doain aja ya supaya bisa sekolah di sini," lontar Dina sembari mengelus rambut Cindy.
"Cowok mesum?" batin Ayarra. Ia masih sangat kesal ketika mengingat kejadian kemarin.
"Ayarra, ini baju kamu ketinggalan kemarin." Ayarra langsung mengambilnya dari genggaman Cindy.
Kepala sekolah melihat nilai-nilai rapot Rayan. Rayan diterima di sekolah swasta. Dina sangat bahagia. Karena, Cindy dan Rayan bersekolah di tempat yang sama.
"Rayan sudah bisa mengikuti pelajaran hari ini," ungkap kepala sekolah.
Dina mengekor Rayan dan juga seorang guru. Perkenalan dengan murid lainnya dimulai, "Saya Rayan Devano Junior. Pindahan dari Jakarta."
"Hah, cowok mesum itu, sekelas sama aku?" batin Ayarra.
"Sangat singkat ya, perkenalannya."
"Oke, Rayan, kamu bisa duduk dibangku sebelah Ayarra." tambah guru matematika.
"Apa? Sebelahan lagi duduknya? Takdir macam apa ini?" Hati Ayarra tidak menerima jika Rayan duduk di dekatnya.
"Dih, itu kan cewek yang kemaren," lirih Rayan.
"Rayan, semangat!" Dina belum juga pergi dari sekolah. Ia memerhatikan Rayan dengan saksama.
"Pulang aja, Mah," bisik Rayan pada Dina.
Dina tersenyum kepada anak lelakinya. Sedangkan, Rayan merasa malu karena terlalu diperhatikan. Dina lekas menghubungi suaminya, "Hallo, Pah, Rayan sudah diterima."
"Berita yang bagus. Di sekolah mana?"
"Sekolah swasta sih, Pah. Hanya sekolah itu yang mau menerima Rayan. Sekolahnya Cindy," jelas Dina.
"Kamu kapan mau ke Jakarta? Aku jemput sekarang ya?" tanya Hilmi.
"Gak usah, Pah, aku bisa naik bis loh! Aku gak mau kamu kecapean."
Dina menceritakan kepada Nadia bahwa Rayan satu sekolah dengan Cindy.
"Memang harus begitu, kalo ada apa-apa kan, bisa saling jaga," lontar Nadia.
"Ternyata anak manja," tebak Ayarra ketika melihat Dina masih menunggu Rayan.
Dengan malas, Rayan mengeluarkan peralatan tulis. Ia tidak memerhatikan apa yang guru jelaskan. Pikirannya mengapung ke luar kota. Jakarta, Rayan tidak ingin keluar dari tempat tinggalnya.
"Baik anak-anak, apakah sudah paham?" tanya guru matematika.
"Pahaaaaaaam!" serentak murid menjawab.
"Tadi, ada murid pindahan, ganteng hayoh. Wajib liat sih kamu," ucap Tira.
"Iya gitu? Dia di kelas apa ih?" tanya murid lain.
"Kayanya mah, di kelas 11C"
Para murid perempuan bergunjing tentang kepindahan Rayan ke sekolah mereka. Cindy yang tidak sengaja mendengar obrolan mereka dengan lirih berkata, "Pasti lagi ngomongin Rayan."
Beberapa siswa mendatangi kelas 11C. Ada yang datang karena ingin berkenalan, ada juga yang datang karena mencari perhatian dari Rayan. Seorang siswi mengulurkan tangan ke arah Rayan. Namun, Rayan menepisnya.
"Ih!" Siswi itu membulatkan mata. Ia tidak menerima perlakuan Rayan yang sangat menyinggung perasaannya.
"Hahaha." Murid pria yang melihat hal itu, langsung tertawa.
"Sombong!" ketus Ayarra sambil memutar bola mata.
Setengah hari berada di sekolah, sangat membuat Rayan jenuh. Rayan berjalan mengelilingi sekolah. Ia menggambar situasi sekolah. Rayan berniat untuk bolos dengan melompati dinding-dinding besar dengan kawat tajam di atasnya.
"Lagi ngukur jalan?" tanya Cindy yang melihat Rayan sedang hilir-mudik tak tahu arah.