Winda terdiam di kamarnya sembari memikirkan ucapan dan tatapan jijik yang Seno lakukan padanya. Hati mungilnya tidak bisa berbohong kalau ia sungguh sakit hati dengan ucapan Seno. Seketika pikiran jelek Winda pada Seno mulai muncul.
"Kalau Seno emang beneran cinta sama gue. Gak mungkin dia bilang kaya gitu." Ucap Winda sendirian. Namun tak lama Winda segera menepisnya, "Gak. Gak mungkin Seno setega itu sama gue. Dia bener-bener keliatan cinta kok cuma mungkin tadi lagi panik aja."
Winda berusaha menenangkan dirinya sendiri dan berpikir positif. Ia lalu melihat kamar mereka dan mencari apa yang bisa ia bersihkan selagi menunggu Kevin pulang.
"Mending bersiin kamar lagi aja deh." Ucapnya berusaha tegar.
****
Seno bersikap tenang dan biasa saja di depan Kevin walau sebelumnya ia sangat gugup dan takut. Selama ini Seno memang sengajatidak pernah memberi tahu Kevin soal rumah barunya karena takut kejadian seperti ini akan terjadi.
Tapi gara-gara sekretarisnya Kevin jadi tahu rumahnya yang baru. Untung saja Winda belum memajang foto pernikahan mereka yang rencana akan dipajang di dinding hari ini. Kalau tidak? Seno bisa merasa malu setengah mampus karena memiliki istri seperti Winda. Setidaknya itulah yang ada di dalam pikiran Seno.
"Lo kenapa sih pindah rumah baru gak ngabarin gue?" Kevin bertanya kesal. Lalu teringat kalau ia pernah mengantar Winda di daerah perumahan ini.
"Bukan gak ngabarin tapi belum ngabarin. Gue pikir nanti-nanti aja pas semuanya udah beres."
"Ah, gue liat-liat ini udah beres dan rapi kok," Ucap Kevin kemudian teringat akan Winda, "Eh, Lo tau gak? Rumah Winda deket sini juga soalnya gue pernah nganterin dia di depan gang sana."
Seno seketika terbatuk mendengar penuturan Kevin, "Oh. Winda? Winda yang waktu itu?"
"Iya." Jawab Kevin sangat antusias, "Lo tau gak rumahnya dimana?"
"Yeee mana gue tau. Kenal juga enggak." Jawab Seno penuh dengan kebohongan.
"Kuper Lo." Ejek Kevin, "Padahal gue pengen banget ketemu Winda."
"Lo pengen ketemu Winda?"
"Tau gak si Lo. Keknya gue beneran suka deh sama tu cewek." Kevin berkata dengan polos tanpa tahu kalau yang sedang duduk di hadapannya adalah suami Winda.
"Lo-Lo suka sama Winda?"
"Iya. Perasaan gue sih bilang gitu. Tapi Winda susah banget dihubungin akhir-akhir ini."
Seno hanya mengangguk-angguk kecil. Sebenarnya sangat shock mendengar pengakuan Kevin ya yang menurutnya agak membuat hatinya terbawa perasaan.
"Sen." Panggil Kevin.
"Apa?"
"Bisa gak Lo bantuin gue buat deket sama Winda? Lo kan tau gue gak punya pengalaman deketin cewek?"
Seno kembali terbatuk dan terlihat begitu gugup. Coba bayangkan—ia harus menjodohkan istrinya sendiri dengan sahabatnya? Bukankah itu gila. Tapi yang membuat Seno lebih tak habis pikir adalah—Orang sempurna seperti Kevin menyukai gadis kampungan seperti Winda? Tidak salah? Seno bahkan malu mengakui kalau Winda adalah istrinya.
"Buru-buru banget Lo bilangnya." Ucap Seno.
"Gak ah. Gue rasa ini waktu yang tepat kok karena gue udah suka sama Winda dari awal jumpa."
Oh, jadi Kevin menyukai Winda ketika mereka menghadiri acara ulang tahun perusahaan milik Seno. Dan intinya Kevin menyukai pesona Winda dimana perempuan tersebut waktu itu mengenakan gaun yang dibelikan oleh Seno?
"Lo gak bercanda kan, Vin?" Seno memastikan.
"Enggak. Gue serius. Karena tiap hari gue kepikiran sama Winda. Lo bisa bantu gue 'kan? Minimal kasih tips aja deh karena Lo kan juga gak kenal sama Winda." Kevin terlihat sangat semangat.
Seno berdehem pelan. Kemudian mengangguk kecil sebagai tanda ia setuju untuk menjodohkan Kevin dengan Winda. Tapi walau begitu kita semua tidak tahu apa yang ada di dalam isi hatinya saat ini. Apakah cemburu atau justru senang? Entahlah, hanya Seno yang tahu bagaimana isi hatinya.
****
Setelah Kevin pulang, Seno kembali masuk ke dalam kamarnya. Disana ia melihat Winda yang sedang duduk melamun tanpa menyadari kehadirannya. Seno pun entah mengapa langsung malas dan tak berniat menegur Winda duluan.
Winda yang tadinya sedang melamun mulai tersadar ketika Seno sudah masuk ke dalam kamar.
"Seno?" Panggil Winda lembut, "Gimana—"
"Aku lagi gak mau diganggu dulu. Mau tidur." Ucap Seno langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Tapi kamu belum makan siang. Aku siapin ya buat kamu."
"Gak usah."
"Seno—"
"Win!" Tegur Seno agak tegas, "Aku capek. Ntar aja."
Winda terkejut dengan perubahan sikap Seno yang seperti ini. Dia langsung terdiam dan mematung sambil melihat Seno yang sudah memejamkan matanya.
Kakinya pun terasa lemas dengan jantung yang berdetak cepat karena sakit hati. Baiklah, anggaplah Winda terlalu lebay. Tapi—hatinya saat ini sedang berbunga-bunga karena Seno dan melihat pria itu berbuat kasar di waktu sekarang sepertinya membuat mental Winda agak sedikit down. Namun, walau begitu perempuan itu tetap berpikir positif.
"Yaudah kalau memang kamu belum mau makan. Ntar kalau mau makan bilang aja sama aku. Biar aku siapin." Ucap Winda dengan lembut dan penuh kasih sayang. Karena tidak ingin mengganggu Seno makan ia memilih pergi ke kamar tempatnya dulu tidur.
****
Winda mengecek ponselnya dan melihat banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan dari Kevin. Ia langsung khawatir, takut terjadi apa-apa dan segera menelfon Kevin.
"Hallo, Vin. Sorry ya gue baru buka hp." Ucap Winda khawatir, "Lo gak papa 'kan?"
"Kok Lo langsung nanyain gue? Khawatir ya?" Tanya Kevin dari seberang sana.
"Jelas dong gue khawatir karena banyak banget panggilan dari Lo. Gilak ratusan ini, Vin."
Terdengar suara tawa Kevin dari balik telfon, "Maaf ya. Sebenernya sih gak ada apa-apa gue cuma mau ngajak Lo ketemuan tapi Lo susah banget dihubungin."
"Gue emang jarang pegang HP karena ya sibuk—"
"Sibuk ngapain? Padahal Lo jarang ke kafe." Kevin bertanya penasaran.
"Ah, itu-itu karena---"
"Win, sumpah deh gue gak puas ngomong dari telfon. Jadi gimana kalau besok kita ketemu?" Ajak Kevin semangat.
"Aduh gimana ya, Vin." Winda terlihat bingung karena ia perlu menjaga perasaan Seno, "Gue liat dulu ya besok sibuk apa enggak."
Agak hening di seberang sana. Sepertinya Kevin juga sedang berpikir atau mungkin kecewa?
Winda juga ikut terdiam lalu matanya tak sengaja menatap pintu kamarnya yang ternyata sudah ada Seno berdiri di sana dengan tatapan dingin sambil melipat kedua tangannya.
Mata Winda membulat sempurna karena terkejut, lalu segera mematikan telfonnya.
"Seno?"
"Pantes ya dari tadi gak balik ke kamar. Taunya lagi telfonan sama Kevin."
Winda langsung meletakkan ponselnya di tempat tidur kemudian berdiri dan mendekati Seno, "Enggak. Tadi aku gak balik ke kamar takut ganggu kamu eh rupanya aku malah ketiduran disini. Bangun-bangun malah udah maghrib."
"Terus kenapa angkat telfon Kevin disini? Kenapa gak balik ke kamar dulu?" Seno bertanya kesal.
"Bukan Kevin yang nelfon tapi aku. Soalnya dari kemaren dia nelfon aku terus tapi gak keangkat karena aku gak ada pegang hp."
Seno mendengus kesal, "Oh--Jadi kamu duluan yang nelfon Kevin?"
"Seno—Aku nelfon Kevin tu ya karena dia temen aku---"
"Temen? Malem-malem begini disaat kamu sendiri di kamar lain terus nelfon cowok lain tu cuma temen? Jangan-jangan kamu suka sama Kevin?"
"Ih enggak." Winda langsung mengelak dan menyentuh tangan Seno, "Aku tu sukanya cuma sama kamu. Kevin kan cuma temen."
"Bohong--"
"Enggak, sayang." Ucap Winda. Mendengar Winda memanggilnya sayang membuat Seno langsung menatap Winda terkejut kemudian kembali bersikap ketus dan marah.
"Alah udahlah. Keliatan banget kamu tu suka sama Kevin." Seno sangat kesal dengan semuanya. Menurutnya hari ini adalah hari paling menyebalkan yang pernah ada.
Winda bingung harus bagaimana. Sepertinya kali ini Seno benar-benar marah padanya.
"Sumpah demi Tuhan aku gak suka sama Kevin. Aku sukanya tu cuma sama kamu."
Seno yang memang sudah marah langsung pergi meninggalkan Winda dan kembali ke kamar mereka di lantai dua. Winda mengikuti Seno sambil membujuk rayu suaminya.
"Seno, jangan gini dong. Aku kan nelfon Kevin cuma mastiin aja dia kenapa." Jelas Winda sambil menutup pintu kamar mereka.
Seno duduk di atas tempat tidur tanpa mau melihat Winda, ia mengambil ponselnya dan bermain ponsel tanpa mau mendengar penjelasan Winda.
Setengah jam Winda membujuk Seno tapi pria itu tetap tidak mau peduli dan hanya bermain ponsel. Sampai akhirnya Winda merasa lelah dan lebih memilih diam sambil berbaring di atas tempat tidur.
Seno melirik Winda yang sedang berbaring, lalu kembali berucap, "Aku laper."
Winda langsung tersenyum, "Yaudah makan."
Seno langsung menatap Winda kesal. Dia meletakkan ponselnya di atas nakas, "Gitu sama suami sendiri?"
"Jadi maunya gimana?" Sebenarnya Winda merasa cukup gemas dengan tingkah Seno saat ini. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Ya aku mau makan."
"Yaudah ambil sendiri."
"Oh, kalau Kevin yang minta baru mau kamu siapin? Iya 'kan?"
"Loh, kok Kevin lagi sih?"
"Serah!"
Seno kembali merajuk. Sepertinya kali ini lebih parah dari sebelumnya. Winda yang menyadari itu langsung bangkit dari posisinya dan memeluk Seno dari belakang—sungguh sangat nyaman.
"Iya iya aku siapin. Ayo kita makan bareng. Tapi kamu jangan cemburu lagi ya?" Ucap Winda manis.
Seno hanya diam tapi hatinya sangat senang mendengar ucapan Winda, "Jangan telfon Kevin di belakang aku lagi!"
Loh, bukankah Seno sudah setuju pada Kevin untuk menjodohkan Winda dengan Kevin? Lalu bagaimana bisa dia menjadi labil seperti ini?
"Iya, Seno aku janji."
"Janji doang mah gampang!"
Seno tetap cemburu. Dan malam itu mereka tetap berdebat lebih tepatnya Seno yang mulai memberi aturan-aturan pada Winda yang menurut Winda itu konyol dan tidak masuk akal. Intinya-walau tadi pagi Winda sakit hati tapi malam ini sakit hati itu langsung terobati dengan tingkah lucu Seno yang menggemaskan.