Winda sejujurnya masih tidak menyangka kalau ia dan Seno bisa berada pada tahap seperti ini, intens berinteraksi dengan manis layaknya sepasang suami-istri kebanyakan. Winda kembali menatap Seno yang masih terlelap di sampingnya. Kemarin sampai tadi malam mereka menghabiskan waktu berdua dengan perasaan bahagia. Seno terus mengucapkan kalimat manis dan Winda terus melontarkan leluconnya membuat Seno selalu tertawa terbahak-bahak.
"Aku lucu, ya? Sampe kamu senyum-senyum kaya gitu?" Seno bertanya, masih menutup kedua matanya.
"Ish apaan sih. Gak ada aku liatin kamu."
Seno semakin meringkuk dan memeluk Winda, "Udah ah aku mau tidur lagi."
"Udah jam 8 kamu harus kerja, Seno. Kamu tu seharusnya jadi panutan pegawai kamu."
"Iya tapi bentar lagi, sayang."
Sembari membawa Winda kedalam pelukannya, Seno tersenyum miring.
Winda sih sebenarnya bahagia kalau Seno selalu ada di sampingnya. Tapi, Seno tetap harus melakukan kewajibannya sebagai pemimpin perusahaan sang ayah.
Winda memejamkan matanya sambil menikmati usapan tangan Seno di kepalanya. Benar-benar sangat nyaman.
****
Rasa gundah akhir-akhir ini selalu dirasakan oleh Kevin. Sepertinya itu semua disebabkan karena Winda yang sangat sulit dihubungi dan jarang datang ke kafe. Sebenarnya Kevin bukan pria yang agresif tapi entah mengapa perasaannya pada Winda membuatnya menjadi agresif dan ingin segera memiliki Winda.
"Apa gue cerita aja ya sama Seno? Dia kan ahli tu soal beginian." Kevin berucap sendirian. Dan tanpa pikir panjang pria itu segera pergi ke kantor Seno.
****
"Tuan Seno sekarang jarang banget ke kantor. Padahal situasi lagi gak baik-baik aja." Ucap Sekretaris Seno pada Kevin.
Kevin berpikir sebentar, kemana ni Seno? Apa mungkin pergi ke apartemen Mirna? Atau lagi sakit? Karena memang akhir-akhir ini Seno juga jarang menghubunginya untuk sekedar nongkrong.
"Rumah Seno masih yang lama gak?" Tanya Kevin.
"Udah egak. Tuan Seno udah pindah rumah baru bareng ist—eh." Sekretaris tersebut langsung menghentikan ucapannya dan menutup mulutnya.
"Ist? Istri?" Kevin bertanya spontan.
"Eh bukan bukan. Maksud saya tu aduh apa ya. Bareng peliharaannya—namanya ister."
Kevin hanya be-oh ria saja. Yaiyalah mana mungkin istri.
"Yaudah. Saya minta alamatnya." Ucap Kevin.
"Baik, Pak."
****
Julia menatap foto pernikahan Seno dan Winda yang menurutnya agak kaku dan sedikit canggung. Wanita tua itu tersenyum kecil sembari menggelengkan kepalanya pelan—mengingat masa-masa remaja keduanya yang dinilai tidak pernah akur dan selalu bertengkar, tapi bisa menjadi suami istri berkat mantan suaminya.
Julia seketika merasa bersyukur memiliki menantu yang baik hati seperti Winda. Ia yakin Winda bisa mengubah Seno menjadi pria yang lebih baik lagi.
"Aku harus ucapin terimakasih sama mas Ramdan." Julia berucap sambil mengingat masa lalunya bersama Ramdan.
****
Menanam tanaman kembali mengingatkan Winda pada masa-masa ia menghabiskan waktu di desa. Semuanya terasa sangat menyenangkan apalagi jika menanam tanaman bersama sang suami tercinta.
"Sayang, ini gimana sih nanemnya?" Tanya Seno sambil fokus menanam bunga-bunga mawar ke dalam pot kecil.
Winda lantas menatap Seno dan terkejut dengan apa yang dilakukan oleh suaminya, "Ih Seno bukan gitu. Masa kamu main tusuk gitu aja sih."
Winda datang menghampiri Seno dan memberikan pelajaran pada Seno bagaimana cara menanam bunga yang benar. Seno hanya ber-oh ria saja lalu menatap Winda yang sudah berkeringat karena cuaca memang sangat panas.
Ada rasa kasihan melihat Winda yang sepertinya merasa sangat nyaman dengannya. Tapi bagaimana lagi, tujuan Seno memang membuat Winda menderita dan sakit hati. Seno langsung menggelengkan kepalanya—ia tidak boleh terpengaruh. Ia tetap harus menjalankan misi awalnya.
"Masuk aja yuk. Kamu kayaknya udah capek banget." Saran Seno sembari menyentuh tangan Winda yang kotor.
"Bentar lagi. Nih, dikit lagi."
"Enggak enggak. Kamu harus masuk ntar kamu bisa sakit kepala kalau kena panas terus. Panas di jakarta beda sama di desa tempat tinggal kamu dulu."
"Hm. Yaudah ayuk."
****
Setelah mandi Winda menyiapkan makan siang dengan dibantu oleh asisten rumah tangga. Semuanya Winda yang meracik, dari mulai memotong sayuran, bawang dan bahan-bahan lainnya Winda yang menyiapkan. Ia sangat semangat karena akan memasak makanan spesial untuk Seno.
"Bentar ya, non. Ada tamu tu keknya." Ucap bibik itu. Oh ya, semenjak hubungannya membaik dengan Seno, Winda tak menolak lagi jika dipanggil 'non' oleh pembantu.
"Iya, Bik."
Asisten rumah tangga itu yang bernama bik Ijah langsung pergi menuju pintu depan guna membuka pintu. Bik Ijah terpana sejenak melihat seorang pria tinggi nanti tampan tersenyum padanya.
"Hai, bener ini rumah Seno?" Tanya Kevin tanpa basa-basi.
"Bener bener. Ini emang rumahnya den Seno."
Kevin tersenyum legah, "Syukur deh. Saya sahabat deket Kevin mau jumpa sama dia."
Bik Ijah keliatan kaku karena ketampanan Kevin yang paripurna. Wanita paru baya itu lalu mempersilahkan Kevin masuk terlebih dahulu.
"Sebentar ya, Den Kevin."
"Iya, Bik."
Bik Ijah berjalan ke dapur terlebih dahulu guna memberi tahu Winda kalau teman suaminya bertamu karena setahu bik Ijah, Seno sedang mandi di dalam kamar mandi kamar.
Saat sedang asyik berjalan sambil membayangkan wajah tampan Kevin, bik Ijah dikagetkan karena tiba-tiba saja Winda muncul dari balik tembok dan sontak membuatnya terkejut.
"Astaga, non." Ucap bik Ijah.
Wajah Winda terlihat panik sambil sesekali melirik ruang tamu, "Itu Kevin 'kan?"
"Iya, non. Ganteng banget 'kan?"
"Aduh. Bibik gak ada bilang kan kalau saya istri Seno?"
"Gak sempet ngomongnya, non. Saya cuma fokus sama gantengnya den Kevin." Jawab bik Ijah sambil tertawa cekikikan.
Winda bernapas legah, "Yaudah pokoknya bibik diem aja dulu. Jangan bilang-bilang kalau saya istri Seno dan jangan bilang juga kalau Seno udah nikah."
"Ha?" Bik Ijah sontak terkejut, "Lah kenapa, non?"
"Ih udah. Bibik turutin aja apa kata aku. Jangan banyak nanya. Aku mau ke atas buat kasih tau Seno kalau Kevin dateng."
Bik Ijah masih terlihat bingung dan hanya menatap punggung Winda yang semakin lama semakin menjauh.
"Loh kok aneh banget sih non Winda." Ucap bik Ijah pada diri sendiri.
****
Seno keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggangnya. Ia bersiul pelan sambil menatap dirinya sendiri di depan cermin. Suasana hatinya bahagia karena bisa mengelabui dan menipu Winda dengan wajahnya yang tampan.
"Dasar perempuan bodoh." Gumamnya pelan.
Tak lama pintu kamarnya pun terbuka. Menampilkan Winda yang terlihat buru-buru dan juga panik.
"Seno, kamu yang undang Kevin kemari?" Winda langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Kevin?" Seno mengkerutkan alisnya bingung, "Enggak tu. Aku bahkan udah lama gak ketemu sama Kevin."
"Serius? Tapi sekarang Kevin di rumah kita."
Ucapan Winda spontan membuat Seno terkejut batin. Gawat, kalau sampai Kevin tahu yang sebenarnya Seno bersumpah ia akan sangat malu. Bagaimana jika nanti Kevin tahu kalau Winda itu istrinya?
"Kevin? Ngapain Kevin kemari? Aku gak pernah cerita ke dia soal rumah ini." Ujar Seno panik.
"Jadi gimana? Apa kita jujur aja ke Kevin? Kalau kita sebenernya udah nikah?"
Seno yang masih terlihat panik langsung menatap Winda, "Ah gilak kamu, Win. Enggak. Mana mungkin aku bilang sama Kevin kalau kamu itu istri aku!"
DEG
Hati Winda terasa sakit ketika mendengar Seno mengucapkan kalimat dengan wajah jijik menatapnya. Seno yang beberapa hari ini bak pangeran pada Winda kini bisa berubah secepat itu dengan menunjukkan wajah jijiknya. Jelas, Winda terkejut.
"Se-seno." Winda berucap pelan.
Seno yang memang masih panik dan bingung tidak peduli dengan ucapannya tadi yang membuat hati Winda sakit.
"Yaudalah. Kamu di kamar aja. Biar aku yang nemuin Kevin," Seno membuka lemari pakaiannya dan segera mengenakannya, "Inget ya, Win. Kamu tetep disini dan jangan keluar sampe Kevin pulang!"
Seno segera pergi dari kamar mereka dengan meninggalkan Winda yang hanya bisa mematung melihat sikap suaminya yang jauh dari kata ramah seperti beberapa waktu lalu.
"Kenapa Seno kaya jijik sama aku?"