Pagi yang cerah dengan suara burung yang bersahutan serta cahaya sang Surya yang berwarna keemasan semakin menambah indahnya di pagi hari. Pagi itu nampak Ervin sudah bangun dari tidurnya, merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Berdiri di teras kamarnya yang menghadap ke hamparan pegunungan yang hijau.
"Aku baru menyadari, ternyata pemandangannya sangat indah di sini. Mataku sampai segar melihat hijaunya pepohonan," gumam Ervin. "Udaranya sangat sejuk, aku jadi tertarik untuk berolah raga pagi."
Ervin lalu masuk ke dalam kamarnya kembali, nampak ke dua sahabatnya masih terlelap apalagi Josh dengan dengkurannya yang sangat keras.
Ervin membuka kopernya. "Untung aku membawa banyak kaos dan celana pendek jadi bisa aku gunakan untuk berlari pagi. Tapi sepatunya?" Ervin terdiam sejenak. "Apa di mobil ada sepatu olah raga?" gumamnya sendiri.
Ervin segera ke luar dari kamarnya, menuju ke tempat parkir untuk melihat apa ada sepatu olahraga dalam mobilnya.
"Untung masih ada. Hari ini aku beruntung sekali," ucap Ervin kegirangan begitu melihat sepatu yang ada di bawah kursi jok mobilnya.
Setelah mengambil sepatunya, Ervin kembali lagi ke dalam kamar. Berganti pakaian dan bersiap untuk pergi berolah raga pagi.
Di depan penginapan Ervin sedikit melakukan gerakan pemanasan, tanpa disadarinya seorang Satpam datang menghampiri.
"Selamat pagi Pak," sapanya ramah.
Ervin melihat ke samping. "Pagi juga Pak Kodir," jawab Ervin membaca nama yang tertera di dada.
"Mau berolah raga Pak?" tanyanya lagi.
"Iya, lari pagi saja," jawab Ervin ramah. "Kalau dari sini, yang bagus larinya ke arah mana Pak? Aku ingin melihat pemandangan yang indah."
"Dari depan penginapan, belok saja Pak. Ikuti saja terus jalan raya, nanti Bapak akan melihat pesawahan yang terbentang luas," jawab Pak Kodir.
"Kemarin aku melihat sawah yang begitu luas sewaktu mau ke Sekolah. Apa arahnya ke sana?" tanya Ervin.
"Iya, betul Pak. Pemandangannya indah, nanti Bapak akan melihat para petani yang pergi ke sawah."
"Aku juga melihat ada kebun sayur di perbukitan. Apa itu jauh?" tanya Ervin.
"Itu lumayan jauh, tapi kalau Bapak sambil berlari pagi tidak akan terasa jauh," jawab Pak Kodir. "Jangan lupa membawa air minumnya karena di sini jarang warung kecuali ke pasar."
"Untung Pak Kodir mengingatkan, hampir lupa tidak membawa air minum," kata Ervin.
"Kalau begitu biar aku ambilkan, di penginapan tersedia air mineral kemasan." Pak Kodir pergi dan tidak lama sudah kembali lagi dengan membawa botol air mineral.
"Terima kasih Pak Kodir," kata Ervin menerima botol air mineral dari tangan Pak Kodir.
"Iya, sama-sama Pak," jawab Pak Kodir.
"Kalau begitu aku pergi dulu," kata Ervin meninggalkan Pak Kodir dengan berlari kecil ke luar dari halaman penginapan.
"Hati-hati Pak," kata Pak Kodir melihat Ervin yang semakin lama semakin menjauh.
Ervin berlari kecil dipinggir jalan dengan melihat keadaan sekeliling, nampak olehnya banyak pohon-pohon hijau sepanjang jalan. Udara segar begitu nyaman masuk ke dalam paru parunya. Sesekali muncul senyuman dibibirnya, melihat para petani yang berpapasan dengannya sambil membawa cangkul dipundaknya, baginya itu adalah pemandangan yang sangat langka.
Sudah cukup jauh, Ervin berlari. Dilihatnya sebuah pohon yang cukup rindang berada didepannya. "Aku istirahat sebentar di bawah pohon itu. Sudah cukup jauh aku berlari."
Tanpa menunggu lama, Ervin langsung duduk di rerumputan yang tidak terlalu tinggi di bawah pohon. Angin yang semilir menerpa wajahnya yang berkeringat. Diminumnya air mineral yang dari tadi dibawanya. "Lumayan lelah juga."
Tubuhnya menyandar pada batang pohon, pandangannya melihat ke depan. Hamparan sawah yang hijau sungguh sangat menyejukkan matanya. Belum lagi suara burung-burung yang berkicau, seakan sedang bernyanyi di atas pucuk tanaman padi.
Ervin tersenyum, hatinya terasa amat damai dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Baru kali ini, aku merasakan ketenangan di sini. Ternyata bahagia itu sederhana, melihat seperti ini saja, aku sudah merasa senang."
Hampir setengah jam Ervin hanya duduk di bawah pohon, menikmati angin yang menerpa wajahnya. "Lebih baik aku berlari lagi."
Sepanjang jalan para petani yang berpapasan dengan ramah menyapa Ervin, mereka tahu Ervin pasti bukan warga di Desa mereka. Ervin pun membalas keramahan mereka dengan tersenyum dan mengangguk.
Dari kejauhan terlihat seorang gadis muda sedang mengayuh sepeda dengan santainya. Bibirnya tidak berhenti melepas senyum melihat orang yang menyapanya.
"Neng Aneska, mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya salah seorang tetangga Aneska.
"Mau membeli obat buat Ibu," jawab Aneska berhenti sebentar untuk menjawab.
"Bagaimana Ibunya sekarang?" tanyanya lagi.
"Ibu sudah lebih baik, demamnya sudah turun tapi katanya masih ada pusing sedikit," jawab Aneska.
"Berarti hari ini tidak ke pasar?" tanyanya lagi.
"Tidak," jawab Aneska.
"Nanti kalau sudah pulang dari sawah, Bapak mampir ke rumah menengok Ibunya Neng Aneska."
"Iya, Pak silahkan. Aku juga ada di rumah menjaga Ibu, hari ini libur Sekolah," jawab Aneska.
"Baiklah, kalau begitu Bapak permisi. Mau ke sawah, mengusir burung-burung yang nakal."
"Iya, Pak silahkan," jawab Aneska. "Aku juga mau ke warung. Mari Pak." Aneska kembali melanjutkan mengayuh sepedanya.
Ervin yang sedang berlari kecil melihat Aneska terlebih dahulu. "Bukankah itu gadis yang kemarin bertemu di Sekolah?" gumamnya melihat wajah Aneska yang tidak melihat dirinya.
Semakin lama jarak mereka semakin dekat, Ervin semakin jelas melihat wajah Aneska. "Iya, betul gadis itu. Aku sangat hapal dengan wajahnya," Ervin tersenyum melihat Aneska yang belum melihat dirinya karena pandangan Aneska melihat ke hamparan sawah.
"Hai," sapa Ervin langsung di depan sepedanya Aneska.
Aneska yang tidak melihat ke depan, tentu saja langsung terkejut, tiba-tiba ada orang berdiri didepannya. Hampir saja dirinya jatuh bersama dengan sepedanya. "Aaa!!" Teriak Aneska.
Ervin tidak menduga Aneska akan jatuh, secara refleks langsung memegang sepeda Aneska. "Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kamu."
Aneska dengan cepat menahan sepedanya dengan kedua kakinya. "Kamu membuatku kaget!" Ucap Aneska belum melihat siapa yang telah membuatnya sampai mau terjatuh.
"Maaf, sekali lagi maaf," kata Ervin merasa bersalah sambil memegang sepedanya Aneska.
Aneska yang tadinya menunduk, perlahan melihat orang yang sedang menahan sepedanya agar tidak terjatuh. Aneska tertegun ketika kedua bola matanya melihat iris mata yang juga sedang melihatnya. Jantungnya langsung berdegup kencang, beberapa detik mereka berdua hanya saling tertegun saling menatap.
"Maaf," kata Ervin yang paling cepat tersadar. "Aku tidak bermaksud untuk mengagetkan kamu. Tapi mungkin caraku yang salah dalam menyapamu."
Aneska langsung membuang mukanya, wajahnya tiba-tiba merona merah. "Tidak apa-apa, aku juga salah karena tadi tidak melihat ke depan."
"Apa kamu terluka?" tanya Ervin melihat kaki Aneska.
"Tidak, aku tidak sempat terjatuh," jawab Aneska tersenyum manis sehingga memunculkan kembali lesung pipinya.