Anak-anak duduk dengan gelisah semua di dalam kelas. Cuaca yang panas, apalagi mereka berdiri cukup lama dilapangan membuat mereka ingin cepat pulang.
"Ke mana sih Guru?! Padahal kalau tidak ada pelajaran, sebaiknya kita dipulangkan saja atau kita kabur saja, bagaimana?" celetuk murid laki-laki dari arah belakang.
Semua murid melihat ke belakang. "Bagus juga idenya. Kita kabur saja," jawab yang lain.
"Buat apa kabur? Sebentar lagi juga bel pulang berbunyi," jawab yang lain.
Aneska dan Laras tidak ikut bicara, kebanyakan mereka berdua memang hanya sebagai pendengar.
Tidak lama kemudian masuk Bu Guru dengan wajah yang tersenyum lebar. "Selamat siang anak-anak."
"Siang Bu," jawab anak-anak.
"Bagaimana dengan acara tadi? Apa kalian senang?" tanya Bu Guru.
Salah satu anak murid menjawab. "Sangat membangun Bu, memberikan motivasi pada kita untuk maju."
"Apa mereka langsung pulang lagi ke kota?" tanya Seli.
"Untuk pertanyaanmu itu, Ibu tidak tahu Seli," jawab Bu Guru.
"Sekarang kita belajar lagi atau pulang Bu?" tanya murid laki-laki yang sudah tidak sabar ingin cepat ke luar.
"Ibu datang ke sini justru ingin memberitahu, kalian boleh pulang sekarang."
"Nah begitu dong Bu," jawab murid lain. "Dari tadi kami ingin pulang."
"Karena kalian sudah tidak sabar ingin pulang, maka Ibu pamit. Sampai bertemu besok." Bu Guru langsung ke luar dari kelas, karena melihat murid muridnya sudah siap dengan tas masing-masing mau pulang.
Melihat Bu Guru sudah ke luar, langsung saja semua menghambur ke luar ingin cepat-cepat pulang. Begitu pun dengan Laras yang sudah tidak sabar.
"Aneska cepat, aku sangat haus sekali," ajak Laras yang sudah berdiri.
"Duluan saja kalau kamu buru-buru," kata Aneska. "Aku mau santai bawa sepedanya."
"Kalau begitu aku duluan ya," kata Laras langsung pergi meninggalkan Aneska.
Tidak lama kemudian Aneska sudah ke luar dari dalam kelas tapi Laras sudah menghilang dari pandangan. Aneska berjalan melewati kelas demi kelas dengan santai menuju ke tempat parkir. "Sudah pulang semua?" Aneska hanya melihat sepedanya saja yang tersisa di tempat parkir.
Aneska mendorong sepedanya melewati beberapa mobil yang masih terparkir. Nampak beberapa orang dari rombongan tamu dari kota tersenyum padanya.
"Sudah pulang?" sapa salah satu wanita pada Aneska yang berpapasan dengannya.
"Iya," jawab Aneska ramah dengan tersenyum, berhenti sejenak untuk menjawab.
"Aku lihat di sini kebanyakan Sekolah memakai sepeda?" tanyanya melihat sepeda yang sedang dipegang Aneska.
"Iya, karena kebanyakan dari kami rumahnya memang sedikit jauh," jawab Aneska.
"O, begitu ya," ucap wanita itu.
"Iya. Maaf, sudah hampir sore. Aku mau pulang," kata Aneska sopan.
"O iya, silahkan. Hati-hati," jawabnya tersenyum.
"Terima kasih," jawab Aneska kemudian mendorong kembali sepedanya.
Dalam perjalanan pulang, jalan raya terlihat lengang. Aneska dengan santai mengayuh sepedanya, melihat hamparan sawah yang sudah mulai menguning. Teriknya matahari tidak dirasakannya, sepedanya terus dia kayuh.
Ada beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya. "Neng Aneska sudah pulang Sekolah?"
"Iya, Pak," jawab Aneska tersenyum ramah. "Baru pulang dari sawah?"
"Iya neng," jawabnya.
"Mari Pak." Aneska kembali melanjutkan mengayuh sepedanya menyusuri jalan aspal yang nampak sepi.
Beberapa meter dari rumahnya, Aneska bertemu dengan Pak Sugeng yang sedang berjalan. "Neng Aneska," sapanya.
"Iya Pak," jawab Aneska turun dari sepedanya.
"Baru pulang?" tanyanya dengan wajah yang khawatir.
"Iya. Ada apa Pak?" tanya Aneska merasa heran dengan raut wajah Pak Sugeng.
Pak Sugeng diam melihat Aneska lalu kemudian. "Neng cepat pulang. Ibunya ---," Pak Sugeng menggantungkan ucapannya.
"Ada apa Pak dengan Ibu?" tanya Aneska cemas, melihat ke arah jalan menuju rumahnya.
"Tadi Ibunya Neng Aneska jatuh pingsan di pasar," kata Pak Sugeng cemas.
"Ibu pingsan?" tanya Aneska. "Pingsan kenapa?" tanyanya khawatir.
"Bapak kurang tahu kalau pingsannya karena apa? Untung saja tadi Bapak ke pasar dan melihat Ibunya Neng Aneska sedang ditolong orang di pasar. Setelah Ibunya siuman, Bapak bawa pulang. Sekarang sudah ada di rumah," kata Pak Sugeng menjelaskan.
"Terima kasih banyak Pak. Kalau begitu, aku pulang dulu. Permisi Pak." Aneska dengan buru-buru menaiki sepedanya kembali dan segera mengayuh dengan cepat.
"Ibu," panggil Aneska begitu sampai di halaman rumah dan segera memarkirkan sepedanya. "Ibu!"
Aneska segera masuk ke kamar dan mendapati Ibunya sedang terbaring dengan wajah yang pucat.
"Ibu kenapa?" tanya Aneska memegang dahi Ibunya. "Suhu tubuh Ibu panas."
"Ibu tidak apa-apa, hanya sedikit pusing saja," jawab Ibunya menenangkan anaknya yang nampak begitu khawatir.
"Tubuh Ibu panas. Sebentar, aku ambilkan air buat mengompres Ibu." Aneska cepat-cepat ke luar dari kamar dan tidak lama kemudian sudah kembali dengan membawa wadah berisi air dan handuk kecil.
"Jangan khawatir, Ibu tidak apa-apa," kata Ibu mencoba tersenyum.
"Nanti aku beli obat tapi Ibu makan dulu ya," Aneska mulai memasangkan kompres di dahi Ibunya. "Tadi aku bertemu Pak Sugeng di jalan katanya Ibu pingsan di pasar. Untung ada Pak Sugeng yang mengantar pulang. Bagaimana Ibu bisa pingsan di pasar?" tanya Aneska.
"Ibu tidak tahu padahal sebelum berangkat sudah sarapan, tapi mendadak di pasar kepala terasa pusing lalu penglihatan Ibu menjadi gelap. Setelah itu tidak ingat apa-apa lagi," kata Ibu menjelaskan.
"Ibu punya riwayat darah tinggi dari dulu. Apa Ibu makan sesuatu di pasar?" tanya Aneska sambil terus mengganti handuk kompres.
Ibu berpikir sebentar. "Ibu hanya makan jeruk saja, itu juga dikasih dari pedagang lain. Ibu tidak makan apa-apa lagi."
"Mungkin kondisi Ibu memang sedang menurun. Ibu jangan terlalu lelah. Atau Ibu mungkin kurang tidur?" tanya Aneska.
"Bisa juga karena kurang tidur, semalam hati Ibu gelisah sekali jadinya tidak bisa tidur," kata Ibu.
"Memangnya Ibu memikirkan apa sampai tidak bisa tidur? Sampai hati Ibu menjadi gelisah begitu?" tanya Aneska.
Ibu tidak menjawab, dilihatnya Aneska yang sedang mengganti kompres didahinya. Terlihat ada sorot kesedihan di mata Ibu.
Aneska yang sedang menunggu jawaban Ibunya, bertanya lagi. "Kenapa Ibu diam?"
"Tidak apa-apa, jangan cemas," kata Ibu. "Kamu ganti dulu baju seragamnya nanti kotor."
"Biar saja," jawab Aneska. "Besok juga libur."
"Walau pun libur, kamu harus ganti baju. Jangan cemaskan Ibu. Sana, ganti dulu," kata Ibu.
"Baiklah," kata Aneska. "Nanti aku buatkan bubur buat Ibu."
"Iya, kamu langsung makan. Ada sisa Ikan yang tadi pagi atau kamu goreng telor saja," kata Ibu.
"Iya, aku bisa makan apa saja. Tidak usah pikirkan aku." Aneska bangun dari duduknya, berjalan ke luar dari kamar Ibunya.
Setelah Aneska ke luar dari kamar. Ibu terlihat sedih. "Ibu cemas memikirkan dirimu, sebentar lagi kamu selesai Sekolah. Melanjutkan ke Perguruan Tinggi lalu darimana Ibu punya uang untuk biaya semua itu? Kamu anakku satu satunya tapi Ibu tidak bisa memberikan yang layak untukmu. Maafkan Ibu, Aneska."