Ervin kemudian mengambil posisi duduk yang nyaman, mengambil remote televisi dan mencari siaran yang bagus.
"Aku sepertinya kemarin melihat istrimu di televisi," ucap Thomas mencoba mengingat ingat. "Tapi aku melihatnya hanya sekilas ketika aku sedang makan di restauran."
Josh yang sedang makan juga ikut bicara. "Benar, aku juga melihatnya."
"Serlin kemarin pergi ke luar negeri. Baru tadi pagi dia pulang," jawab Ervin malas, teringat dengan penolakan Serlin tadi.
"Istrimu baru saja pulang, ngapain kamu ke sini?" tanya Thomas.
"Sudah pergi lagi. Nggak tahu ke mana, aku malas bertanya padanya," ucap Ervin sambil mencari siaran yang bagus di televisi.
Thomas dan Josh saling melihat, mereka tahu sahabatnya itu sedang kesal.
"Kalau begitu kamu ikut denganku ke luar kota. Siapa tahu sepulang dari sana, pikiranmu menjadi lebih segar. Jangan hanya istrimu saja yang berkeliling, sesekali kamu juga pergi refreshing," kata Thomas.
"Iya, aku juga mau ikut. Aku juga perlu refreshing," ucap Josh tidak mau kalah.
"Kamu kebanyakan refreshing, kerja nggak ada," jawab Thomas melempar kuaci ke wajahnya Josh.
"Kapan berangkatnya?" tanya Ervin.
"Besok sore," jawab Thomas.
"Aku mau ikut. Benar katamu, aku juga perlu refreshing. Dalam rangka apa kamu ke sana?" tanya Ervin.
"Hanya mengunjungi salah satu Sekolah di pedesaan. Aku diundang sebagai motivator untuk para pelajar di desa. Aku juga tidak tahu akan seperti apa di sana. Ini pertama kalinya aku menerima undangan seperti ini," kata Thomas.
"Harusnya si Ervin yang cocok diundang untuk hal seperti itu," potong Josh yang sudah selesai makan.
"Iya, lebih cocok kamu sebenarnya. Aku juga tidak bisa kalau harus bicara di depan umum. Walau pun itu hanya anak Sekolah tapi tetap saja itu akan membuatku gugup."
"Aku nggak mau ganti kamu, ikut denganmu mau refreshing bukan mau pidato di depan murid-murid Sekolah," kata Ervin.
Josh tertawa. "Benar juga kata si Ervin. Itu deritamu, harus tampil di depan anak Sekolah."
"Kalau begitu kalian tidak usah ikut!" kata Thomas.
"Tidak masalah tidak di ajak juga. Kamu yang akan lebih menderita karena tidak ada kita yang menemani," jawab Ervin.
"Betul juga apa katamu. Aku juga yang rugi," ucap Thomas.
"Yang aku heran, kenapa bisa kamu yang terpilih? Orang melihat kamu apanya? Kalau orang melihat Ervin sebagai panutan, itu masuk akal karena dia pengusaha sukses tapi kalau orang memintamu untuk menjadi panutan rasanya aneh," kata Josh dengan mimik muka yang serius.
"Biasa saja kali ngomongnya. Kamu menganggap remeh aku!" Thomas melempar beberapa kuaci ke arah Josh.
Josh tertawa terpingkal, di antara mereka bertiga memang Josh yang gampang sekali tertawa.
Ervin sedikit terhibur dengan candaan sahabatnya. Sedikit melupakan masalahnya dengan Serlin yang sekarang entah ada di mana.
.....
Di tempat lain jauh dari kota, terlihat Aneska sedang mengayuh sepedanya di jalan yang sepi menuju ke kebun untuk membeli sayur. Aneska selalu melarang Ibunya untuk membeli sayur yang akan di jualnya esok di pasar karena merasa kasihan, Ibunya sudah lelah berdagang di pasar harus mencari sayur lagi untuk dijual esok harinya.
Setelah melewati pesawahan yang cukup luas, akhirnya Aneska sampai ke kebun yang menjadi tujuannya. Terlihat olehnya, Pak Sugeng dan istrinya sedang duduk di bawah pohon yang rindang dengan beberapa ember sayuran yang ada didepannya.
"Neng Aneska, tumben nyusul ke sini. Tidak tunggu di tempat biasa," kata Pak Sugeng melihat Aneska baru saja turun dari sepedanya.
"Aku sudah tahu, kalau ke sana pasti Bapak belum ada. Makanya aku ke sini saja, ternyata betul juga dugaanku," kata Aneska.
"Tapi di sini tidak ada kangkung Neng," kata istrinya Pak Sugeng.
"Aku hanya mau membeli yang ada saja," jawab Aneska tersenyum.
"Iya, soalnya ini hanya hasil kebun saja," kata Pak Sugeng.
"Tidak apa-apa, nanti sayuran yang lainnya aku beli di tempat lain saja," ucap Aneska.
"Neng, Ibunya sehat? Sepertinya sudah lama tidak melihat Ibunya," tanya istrinya Pak Sugeng.
"Sehat, Ibu setiap hari jualan ke pasar jadi jarang ada di rumah," jawab Aneska.
"Begitu ya," kata Pak Sugeng.
Setelah memilih dan membayar sayur yang sudah di beli, Aneska segera pamit pulang untuk mencari sayuran lain yang belum ada. Sepanjang perjalanan Aneska tidak hentinya berdendang untuk mengusir rasa lelah mengayuh sepedanya.
Setelah sore menjelang matahari menghilang dari peredarannya, Aneska sudah kembali ke rumah dengan banyak sayuran di keranjang sepedanya.
Ibu yang sedang duduk di teras rumah menunggu Aneska pulang, dengan cepat segera membantu anaknya menurunkan bermacam macam sayuran.
"Ibu khawatir, kamu lama sekali beli sayurannya."
"Tadi aku beli sayurannya tidak hanya satu tempat," jawab Aneska.
"Pantas saja lama," kata Ibu. "Kamu mandi saja dulu setelah itu kita makan. Biar Ibu yang membereskan semua ini."
"Iya, aku sudah rasa gerah sekali." Aneska segera masuk ke dalam rumah meninggalkan Ibunya yang masih membereskan sayuran dari keranjang sepedanya.
Setelah selesai mandi, Aneska dan Ibunya makan malam dengan seadanya saja. Buat mereka makan dengan dadar telor saja, sudah merupakan lauk pauk yang mewah. Bisa makan sehari saja, sudah sangat mereka syukuri.
Aneska sangat menikmati makan malamnya. Ibunya hanya tersenyum melihat anaknya makan dengan sangat lahap, dirinya tahu Aneska pasti sangat kelelahan. Setelah pulang Sekolah, masih mau membantu mencari sayuran untuk di jual esok hari.
"Eka, makan yang banyak," kata Ibunya.
"Aku sudah kenyang Bu," kata Aneska. "Ibu sudah selesai belum? Piringnya mau sekalian aku cuci," tanya Aneska.
"Sudah," jawab Ibunya, memberikan piring kosongnya.
Aneska segera ke tempat cuci piring dan mencuci semua yang kotor. Sementara Ibunya membersihkan meja tempat mereka makan tadi.
Setelah semuanya selesai di cuci, Aneska segera mengunci pintu dapur dan menyusul Ibunya yang sudah ada di ruang televisi sedang duduk menonton sinetron.
"Ibu tadi beli rambutan di pasar, harganya lagi murah. Ambillah, tadi Ibu menyimpannya di lemari bumbu. Hampir saja kelupaan."
Aneska yang baru saja duduk, berdiri lagi masuk ke dapur mengambil rambutan.
"Rambutannya banyak sekali," kata Aneska dengan tangan membawa kantung plastik hitam.
"Ibu membelinya hanya sedikit tapi penjualnya memberi lebih, katanya sebagai bonus."
Aneska tersenyum. "Bonus?"
"Iya, bilangnya begitu," jawab Ibunya.
"Penjualnya laki-laki atau perempuan?" tanya Aneska iseng sambil mengupas satu per satu rambutan.
"Laki-laki," jawab Ibu polos.
Aneska tersenyum. "Mungkin penjualnya suka sama Ibu, jadi kasih rambutan begini banyak."
"Hush! Sembarangan. Tidak mungkin dia suka sama Ibu. Yang jualannya masih bujangan. Lebih cocok jadi anak Ibu. Kalau denganmu itu lebih cocok," kata Ibu.
Seketika Aneska tertawa. "O, masih bujangan. Kirain bukan bujangan, aku salah."