Aneska mengayuh sepedanya dengan hati-hati. Meski pun dirinya buru-buru, tetap saja dia juga memikirkan keselamatannya.
"Neng Anes," sapa seorang bapak yang sedang membersihkan sayurannya ketika Aneska baru turun dari sepedanya.
"Iya, Pak Sugeng," jawab Aneska ramah.
"Mau beli sayur Neng?" tanya Pak Sugeng.
"Iya, Pak. Masih segar tidak sayurannya?" tanya Aneska ikut jongkok dan melihat lihat sayuran yang sedang dibersihkan Pak Sugeng.
"Segar dong Neng, ini baru di petik," jawab Pak Sugeng. "Biasanya Ibu yang ke sini. Kenapa sekarang Neng Anes yang belanja? Ibu sehat?" tanya Pak Sugeng.
"Ibu sehat, kasihan sudah lelah jualan di pasar jadi aku saja yang belanja untuk Ibu jualan besok," jawab Aneska sambil tangannya memilih milih sayuran.
"Neng Anes memang anak baik, sangat berbakti sekali. Beruntung sekali punya anak seperti Neng Anes, kalau Bapak punya anak laki-laki pasti sudah Bapak jodohkan dengan Neng Anes."
Aneska tersenyum. "Bapak bisa saja," jawabnya malu-malu.
"Betul itu Neng Anes," celetuk seseorang dari belakang Aneska.
Aneska langsung melihat ke belakang, dilihatnya istrinya Pak Sugeng baru saja datang dengan membawa tomat dalam ember.
"Baru petik tomat Bu?" tanya Aneska melihat ember yang diletakkan disampingnya.
"Iya, masih segar Neng," kata Ibu Sugeng.
"Tapi jangan mahal-mahal ya Bu, nanti Ibuku susah menjualnya lagi di pasar," kata Aneska tersenyum.
"Bisa saja, buat Neng Aneska Ibu kasih murah. Nanti juga Ibu tambahin sebagai bonus karena telah menjadi pelanggan setia Ibu."
"Bonusnya yang banyak ya Bu," kata Aneska menggoda Bu Sugeng.
"Ah, si Neng. Sudah di kasih hati sama Ibu malah minta jantung," balas Ibu Sugeng tersenyum.
Aneska tertawa kecil sambil memilih tomat yang akan dibelinya.
"Ini sayurannya jadi beli Neng?" tanya Pak Sugeng.
"Jadi Pak, kangkungnya 10 ikat saja. Ditambah dengan cabai dan apa itu Pak?" tanya Aneska menunjuk sayuran yang berwarna hijau.
"Bayam," jawab Pak Sugeng. "Berapa ikat bayamnya?"
"10 saja, samakan dengan kangkung. Dan cabainya 5 kg saja," jawab Aneska.
"Terus ini tomatnya berapa?" tanya Ibu Sugeng.
"4 kg saja Bu," jawab Aneska.
"Tunggu ya, biar Bapak atur dulu. Biar Neng Anes gampang membawanya naik sepeda," kata Pak Sugeng.
"Iya Pak, jangan sampai ada yang jatuh ya Pak. Nanti kalau rusak tidak bisa dijual," kata Aneska.
"Tenang saja, neng. Biar Bapak masukin dulu ke karung ini." Pak Sugeng lalu mengatur semua sayuran Aneska di atas sepeda. Diikat dengan kuat agar tidak jatuh.
Setelah selesai membayar semua sayuran Aneska pamit untuk pulang karena hanya itu sayuran yang dibutuhkan.
"Hati-hati ya Neng," kata Bu Sugeng.
"Iya, Bu. Terima kasih." Aneska lalu mengayuh sepedanya untuk pulang, menyusuri jalan yang sama sewaktu tadi datang.
Setelah cukup lama mengayuh, akhirnya Aneska sampai di rumah. Hari sudah menjelang sore.
"Dapat sayurannya?" tanya Ibu yang datang dari pintu belakang dengan tangan sedang memegang sapu lidi.
"Dapat Bu, tapi tidak terlalu banyak. Tadi aku lihat, sayuran Ibu masih ada sisa. Aku cuma beli buat tambahan saja," jawab Aneska sambil mengangkat sayuran ke dapur.
Ibu mengikuti dari belakang setelah menyimpan sapu lidinya.
"Sayurannya biar Ibu taruh di tempat cuci piring biar besok masih segar." Ibu mengambil ikatan kangkung dan bayam lalu menyimpannya di dalam tempat cuci piring. Disiramnya sedikit dengan air biar menjadi segar kembali.
"Aku haus." Aneska lalu mengambil gelas dan menuangkan air putih dari teko aluminium. "Segarnya," ucap Aneska setelah minum habis satu gelas penuh.
"Kamu mandi dulu mumpung masih sore, terus makan. Ibu tadi sudah menggoreng ikan kesukaanmu."
"Iya Bu," Aneska lalu masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk dan langsung mandi di kamar mandi belakang.
Ibu segera mengatur meja makan untuk anaknya makan setelah terlebih dahulu membereskan tomat dan cabai yang besok akan dijualnya di pasar.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Aneska langsung ke dapur untuk makan.
"Ikan apa ini Bu?" tanya Aneska melihat ada ikan goreng di atas piringnya.
"Ikan mujair, tadi Ibu membelinya karena ada sedikit rejeki."
Aneska lalu melihat piring Ibunya yang ada ikannya tetapi terlihat lebih kecil dari ikannya. "Punya Ibu ikannya kecil?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, Ibu masih ada ikan asin. Lagi pula Ibu lebih suka makan ikan asin daripada ikan goreng seperti ini."
Aneska lalu mengambil nasi dan sambal terasi. "Ini pedas tidak?" tanyanya.
"Tidak, biasa saja. Jangan terlalu pedas nanti sakit perut, urusannya jadi ribet," kata Ibu yang juga mengambil nasi.
Setelah itu, Aneska makan dengan lahapnya begitu pun dengan Ibunya. Apa pun yang di makan bila hati kita senang dengan mencari rejeki di jalan yang halal pasti semuanya akan terasa nikmat.
"Tambah nasinya?" tanya Ibu, melihat piring Aneska yang sudah kosong.
"Tidak, aku sudah kenyang," jawab Aneska, kemudian mengambil air minumnya dan meneguknya sampai habis.
"Ibu sudah selesai?" tanya Aneska melihat piring Ibunya sudah kosong.
"Sudah," jawab Ibunya.
"Biar aku saja yang cuci, sekalian cuci tangan." Aneska mengambil semua piring kotor dan langsung mencucinya dengan cepat.
Ibu sudah duduk di depan televisi seperti biasa menonton sinetron kesayangannya.
"Sinetron apa ini Bu?" tanya Aneska duduk di sebelah Ibunya.
"Tidak tahu, baru lihat," jawab Ibu.
Duduk beberapa menit menonton sinetron Aneska masuk ke dalam kamar karena bosan. "Tidak seru sinetronnya."
Ibu tidak menjawab, matanya sudah terlihat merah menandakan Ibu mengantuk.
Aneska mengambil tas Sekolahnya, dilihatnya satu per satu buku pelajarannya. "Sepertinya ada tugas Sekolah tapi aku lupa yang mana?"
Dibukanya lagi satu per satu buku pelajarannya. "Ini dia, betulkan? Memang Bu Guru kasih tugas tadi pagi." Aneska bicara sendiri di dalam kamarnya sambil membolak balikkan buku pelajarannya.
Tidak lama kemudian, Aneska sudah berkutat dengan tugas Sekolahnya. Satu per satu dijawabnya semua soal pelajaran dengan teliti.
Aneska merupakan murid teladan di Sekolahnya bahkan setiap tahunnnya selalu mendapatkan peringkat pertama. Sebentar lagi ujian Sekolah akan di gelar, makanya Aneska sudah dengan sangat rajin selalu belajar di rumah karena dirinya tidak mau, uang hasil jerih payah Ibunya untuk membiayai Sekolah terbuang percuma.
Hidup yang dijalaninya tidak semulus anak-anak lain yang seusianya. Mereka bisa dengan bebas bermain game dengan ponsel kesayangannya sedangkan Aneska harus mengayuh sepedanya berbelanja sayuran untuk Ibunya berjualan di pasar.
Setiap pagi sampai menjelang malam, Aneska sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah yang tidak pernah ada habisnya. Hidup yang dijalaninya sejak dia kecil sudah mendidiknya menjadi wanita yang berpikiran dewasa dan mandiri. Apa pun yang dihadapinya, selalu berhasil Aneska selesaikan dengan baik.