Udara yang dingin menusuk tulang, pagi-pagi sekali Aneska sudah bangun bahkan matahari dari ufuk timur belum muncul.
Pagi itu Aneska membantu Ibunya yang sudah bersiap akan berangkat ke pasar. Sengaja berangkat lebih pagi untuk mengejar pembeli yang biasa belanja di pagi hari.
Setelah mengikat sayuran menjadi beberapa ikat yang kemarin dibelinya di Pak Sugeng, Aneska mengatur sayuran di dalam keranjang yang nanti di bawa Ibunya ke pasar.
"Sudah kamu ikatan kecil-kecil sayurannya Eka?" tanya Ibunya yang biasa memanggilnya Eka.
"Sudah, Ibu tinggal menjualnya saja," jawab Aneska.
"Kalau begitu Ibu berangkat saja, mau menumpang mobil tetangga yang juga membawa sayuran ke pasar," kata Ibu sambil mengangkat keranjang sayurannya.
"Iya, Bu. Hati-hati, aku hari ini masuk Sekolah pagi. Mungkin pulangnya agak sore karena ada les tambahan di Sekolah," kata Aneska.
"Iya, simpan saja kunci rumahnya di tempat biasa biar Ibu tidak susah mencarinya."
"Iya Bu," jawab Aneska.
Setelah itu Ibu lalu keluar, menembus dinginnya pagi dengan memakai sweater rajut kesayangannya.
Aneska segera membersihkan dapur yang banyak berserakan sayuran yang tidak terpakai karena rusak. Setelah itu segera mandi untuk bersiap pergi ke Sekolah.
Setelah selesai sarapan pagi dengan nasi goreng seadanya, Aneska berangkat ke Sekolah dengan terlebih dahulu mengunci pintu rumah.
Bersama sepeda kesayangannya, setiap pagi Aneska menuntut ilmu pergi ke Sekolah menyusuri jalanan yang di kanan kirinya terbentang sawah yang hijau menghampar sepanjang mata memandang.
Angin yang sepoi-sepoi mempermainkan rambut panjangnya yang selalu diikat agar memudahkannya untuk beraktifitas. Udara segar di pagi hari terasa sejuk menyentuh kulitnya yang putih bersih.
Meski pun Aneska tinggal di pedesaan tetapi wajahnya tidak seperti gadis desa pada umumnya. Aneska mempunyai paras yang lebih mirip orang luar negeri. Banyak cerita dari tetangga, Ayahnya mempunyai paras yang tampan seperti orang luar negeri dengan kulit yang putih dan hidung yang mancung.
Ibunya pernah bercerita Ayahnya seorang lelaki yang pintar, nama yang dipakai olehnya sekarang merupakan nama yang diberikan Ayahnya. Tetapi sayang, Ayahnya terjerat cinta terlarang dengan wanita yang punya segalanya sehingga dengan teganya meninggalkan Ibu dan dirinya yang saat itu masih sangat kecil.
Ayahnya sempat akan membawa dirinya pergi tetapi dengan sekuat tenaga Ibunya mempertahankan dirinya, sehingga Ayahnya tidak berhasil membawanya pergi bersamanya ke kota lain bersama istri barunya.
Aneska tidak pernah malu dilahirkan dari keluarga yang pas pasan, justru dirinya bangga mempunyai Ibu yang berjuang membesarkannya dengan sepenuh hati. Kasih sayang yang Ibunya berikan, melebihi kasih sayang yang mempunyai orang tua yang lengkap.
Aneska tidak pernah merasakan kehilangan seorang Ayah karena Ibunya mencurahkan segala bentuk kasih sayang untuknya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Aneska sampai ke Sekolah. Nampak halaman Sekolah sudah mulai ramai dengan murid-murid yang sedang bercanda.
Aneska langsung masuk ke area tempat parkir sepeda. Nampak olehnya, sepeda punya Laras sudah terparkir. "Laras sudah datang," gumamnya.
Setelah selesai memarkirkan sepedanya seseorang memanggil namanya dari arah belakang.
"Aneska," terdengar suara lelaki memanggilnya.
Aneska membalikkan tubuhnya karena suara yang memanggilnya sudah tidak asing lagi ditelinganya. "Damar."
"Baru datang?" tanyanya ramah menatap Aneska yang nampak tersipu.
"Iya," jawab Aneska tersenyum, mencoba mengusir kegugupannya karena Damar ini seorang ketua OSIS yang banyak disukai para siswi.
"Kalau begitu kita sama-sama ke kelas," ajak Damar.
"Tapi kelas kita berbeda," jawab Aneska.
"Tidak apa-apa, aku akan mengantarmu ke kelas setelah itu aku ke kelasku," ucap Damar tersenyum.
Aneska tersenyum, matanya terlihat berbinar. "Ayo."
Damar dan Aneska pun berjalan bersama melewati beberapa kumpulan murid siswi yang nampak tidak senang dengan kebersamaan mereka.
Aneska bisa melihat dari sudut matanya, ada beberapa siswi yang mencibir melihat ke arahnya tetapi Aneska tidak mempedulikannya.
Setelah melewati beberapa ruangan kelas akhirnya Aneska dan Damar sampai di kelas. "Terima kasih ya sudah mengantarku," kata Aneska malu-malu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sekalian saja, kelasku tidak jauh dari sini," kata Damar melihat ke sekeliling kelas yang nampak masih kosong.
Laras yang sedang duduk di bangkunya, nampak serius memperhatikan Aneska dan Damar yang sedang berbincang.
"Sepertinya ada aroma-aroma asmara di kelas ini," celetuk Laras tetapi melihat ke arah lain.
Aneska dan Damar melihat ke arah Laras, tetapi Laras tidak sedang melihat ke arah mereka sehingga mereka kembali melanjutkan obrolannya.
"Sepertinya ada yang sedang jatuh cinta di kelas ini," celetuknya lagi tapi dengan melihat ke arah lain lagi.
Aneska kembali melihat ke arah Laras yang sedang melihat ke luar. "Dia bicara dengan siapa?" tanya Aneska ke Damar.
"Tidak tahu, sepertinya dia sedang menyindir kita." Damar melihat Laras.
Aneska tersenyum, merasa lucu dengan tingkah temannya.
"Kenapa?" tanya Damar melihat Aneska tersenyum sendiri.
"Tidak, lucu saja dengan Laras yang menyindir kita padahal kita ini tidak ada apa-apa."
Damar menatap Aneska. "Kalau apa yang Laras katakan itu benar, bagaimana menurutmu?" tanya Damar dengan wajah yang mendadak serius.
Aneska tertegun menatap Damar, apa yang Damar katakan secara tidak langsung sudah mengatakan kalau dia menyukai dirinya.
"Apa maksudmu?" tanya Aneska pura-pura tidak mengerti.
Damar tidak menjawab. "Sudah lupakan saja, apa yang aku katakan barusan. Aku mau ke kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi."
"Iya, silahkan." Aneska sedikit kecewa karena Damar tidak mau menjelaskan maksud ucapannya yang tadi.
Damar segera pergi dari kelas Aneska menuju ke kelasnya.
Laras yang melihat Damar sudah pergi langsung mendekati Aneska yang baru saja duduk.
"Kalian sudah pacaran atau masih pendekatan?" tanya penasaran.
"Tidak dua duanya," jawab Aneska membetulkan ikatan rambutnya.
"Bohong, aku bisa melihatnya dari cara kalian saling menatap. Kalian itu seperti orang yang sedang pacaran," ucap Laras.
"Apa sih kamu ini. Tidak ada yang pacaran, kami hanya berteman. Jangan asal tuduh." Aneska membela diri.
"Terus kenapa kalian berdua bisa bareng?" tanyanya lagi.
"Kami bertemu di tempat parkir, mungkin dia parkir motornya dan aku parkir sepeda. Lalu kami ke sini sama-sama karena satu arah. Begitu ceritanya, jangan sembarangan menuduh." Aneska menjelaskan semuanya.
"Kupikir kalian sudah jadian. Damar itu ketua OSIS, selain ganteng dia juga pintar. Orang tuanya juga cukup terpandang di kampung sebelah."
"Pikiranmu ke mana-mana, urus pacarmu sendiri. Ngapain ngurusin laki-laki lain. Aku bilangin tahu rasa," kata Aneska.
"Jangan, bisa berantakan hubunganku nantinya. Kamu tidak asik, mainannya ngadu," protes Laras dengan bibir cemberut.
Aneska tertawa. "Makanya kalau sudah punya pacar, jangan memuji lelaki lain. Kalau ketahuan baru nangis-nangis."
"Tapi sekarang aku sedang kesal sama dia, game lebih penting dari pada aku."