Setelah memarkirkan sepedanya, Aneska dan Laras pergi menuju ke kelas yang telah ramai dengan suara canda anak-anak.
"Hai, Anes!" Panggil salah satu temannya, begitu dia dan Laras masuk ke dalam kelas. Teman-teman di Sekolahnya, biasa memanggilnya dengan sebutan Anes.
Anes celingukan mencari suara yang memanggilnya dengan kencang.
"Di sini!" Teriaknya dari pojok kelas sambil melambaikan sebelah tangannya.
Anes berjalan mendekati temannya. "Ada apa?" tanyanya.
"Kamu sudah mengerjakan tugas Rumah belum?" tanyanya dengan muka serius.
"Kebiasaan selalu minta contekan. Kerjakan sendiri! Aku kira mau apa." Anes balik lagi ke depan karena mejanya ada di depan.
Orang yang tadi memanggilnya buru-buru mengejarnya ke depan. "Anes, aku belum satu pun mengerjakan tugasku." Langsung duduk disebelah Anes yang bangkunya kosong.
"Bukan urusanku," jawab Anes singkat tanpa melihat ke arah temannya.
Laras datang dan langsung duduk di bangku mereka. "Seli, kamu selalu kebiasaan tidak pernah mengerjakan tugas Rumah. Setiap hari kalau ada tugas selalu ikut nyontek. Lama-lama bosan."
"Aku ketiduran semalam. Perutku kenyang jadi ngantuk," jawab Seli dengan wajah tidak berdosanya.
"Alasan saja, bukankah tiap ada tugas kamu selalu nyontek." Laras menaikan satu bibirnya melihat Seli.
"Pelit amat sih kalian," gerutunya, langsung pergi mencari sasaran anak lain untuk dimintai contekan tugasnya.
Laras langsung turun dari bangkunya, duduk di kursi yang tadi ditempati Seli.
"Anes, jangan terlalu baik sama anak-anak nanti kamu dimanfaatin mereka," ucap Laras, mengambil tasnya yang ada dikolong bangku.
"Tidak apa-apa tetapi kalau keseringan juga aku tidak mau. Seperti Seli yang hampir tiap hari ikut mencontek tugas, lama kelamaan aku juga tidak mau. Jatuhnya dia jadi bodoh dan pemalas. Dianya juga nanti jadi keenakan, tidak ada tanggung jawab dengan pelajaran.
"Itu maksudku. Biar saja anak-anak mikir sendiri dengan tugas rumahnya."
Tidak berapa lama kemudian terdengar lonceng sekolah berbunyi sebagai tanda akan dimulainya pelajaran di hari itu.
Anak-anak yang sedang duduk berkelompok langsung mengisi bangkunya masing-masing ketika Guru pengajar masuk ke kelas.
"Selamat pagi anak-anak," sapa Ibu guru dengan paras yang hitam manis, masuk dengan membawa beberapa buku ditangannya.
"Pagi Bu Guru," jawab anak-anak serempak.
"Bagaimana hari libur kalian kemarin? Apa ada yang pergi berwisata?" tanya Bu Guru.
"Ada Bu, aku!"Jawab salah satu murid yang duduk di tengah, mengangkat tangannya.
"O, Budi. Pergi wisata ke mana?" tanya Bu Guru melihat ke Budi.
"Ke sawah Bu, cari kodok," jawab Budi yang disambut gelak tawa anak-anak yang lain.
Bu Guru tersenyum. "Kenapa kalian tertawa. Budi juga ada benarnya, wisata itu bukan harus ke tempat yang jauh. Pergi cari kodok juga, bisa di bilang wisata."
"Bu Guru, kalau berenang di sungai bisa dibilang wisata juga?" tanya Seli.
"Bisa, apa kamu kemarin berenang di sungai?" tanya Bu Guru.
"Iya Bu Guru, aku kemarin berenang di sungai berarti kemarin aku wisata juga," kata Seli.
"Berarti kemarin aku yang berwisata paling jauh," celetuk anak yang lain. "Aku pergi naik pesawat."
"Benarkah?" tanya temannya yang duduk di depan. "Ke mana?"
"Ke Bulan, aku sampai bolak balik pergi ke bulan."
"Memang bisa ke Bulan bolak balik, itu kan jauh sekali."
"Bisa, aku ke Bulannya dalam mimpi," jawabnya tertawa.
Anak-anak yang lain serempak bilang. "Huuuh," seperti dalam paduan suara.
"Sudah, sudah. Kenapa jadi berisik." Tegur Bu Guru. "Sekarang kita mulai mata pelajarannya. Apa ada tugas rumah yang Ibu berikan?"
"Tidak Bu," jawab sebagian anak-anak.
"Kalau begitu, kita lanjutkan halaman yang tertunda Minggu kemarin," kata Bu Guru.
Suasana pun mendadak hening, semua anak-anak fokus memperhatikan Bu Guru yang sedang menerangkan mata pelajaran matematika dengan serius.
Tidak terasa waktu terus berjalan. Hari sudah sore, menandakan pelajaran Sekolah akan berakhir. Bunyi lonceng Sekolah kembali terdengar, anak-anak terlihat senang, wajah yang tadi terlihat sudah lelah sekarang nampak gembira karena sudah waktunya mereka akan pulang, beristirahat di Rumah.
"Anes," panggil Laras yang duduk disebelahnya. "Kita pulang bareng lagi ya."
"Kamu tidak pulang dengan pacarmu?" tanya Anes menoleh ke Laras.
"Tidak. Tadi dia bilang, akan mampir dulu ke rumah Pamannya karena disuruh Mamanya," jawab Laras.
"O, begitu. Aku juga tidak bawa sepeda jadi aku senang saja diajak pulang bareng denganmu," jawab Anes.
"Kalau begitu ayo, lihat kelas sudah kosong. Nanti kita ke buru sore sampai di Rumah." Laras langsung pergi diikuti Anes.
"Sepedanya biar aku yang ambil dari tempat parkir," kata Anes. "Kamu tunggu saja di depan gerbang."
"Baiklah,' jawab Laras. Mereka pun berpisah menuju ke arah yang berbeda.
Setelah menunggu beberapa menit, Anes muncul dengan mengayuh sepedanya menghampiri Laras yang sedang membelakanginya.
"Naiklah," kata Anes, memberhentikan sepedanya.
Laras langsung naik, duduk dibelakang dengan tangannya melingkar ke pinggang Anes.
"Sudah, belum?" tanya Anes.
"Sudah, ayo jalan," kata Laras.
Sepeda perlahan Anes kayuh, karena jalan bebatuan yang mereka lewati. Sesampainya di jalan raya yang beraspal, Anes mulai mengayuh sepedanya dengan sedikit kencang karena hari sudah mulai menjelang sore.
Suasana pedesaan yang jauh dari kemacetan, tidak membuat mereka kesulitan berada di jalan raya. Tenang dan aman, itu yang dirasakan Anes dan Laras dalam mengayuh sepedanya.
Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan, Anes sudah lelah begitu pun dengan Laras yang merasa mengantuk karena diterpa angin yang sepoi-sepoi sepanjang perjalanan.
Tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di tempat tujuan. Anes berhenti mengayuh sepedanya dan langsung turun.
"Kita berpisah di sini Laras. Rumahku harus belok dari sini sementara kamu masih harus lurus ke sana."
"Iya, aku malas. Rumahku masih jauh. Kamu sih enak, dari sini saja Rumah kamu sudah terlihat."
"Kamukan pakai sepeda, dari tadi yang mengayuh juga aku. Cepat pulang sudah sore. Kasihan Ibu kamu pasti sudah menunggu." Anes cepat-cepat menyuruh Laras segera pulang.
"Iya," Laras lalu mulai mengayuh sepedanya meninggalkan Anes yang masih berdiri di pinggir jalan.
"Hati-hati Laras!" Teriak Anes.
Laras menjawab hanya dengan mengangkat tangannya tanpa melihat ke belakang.
Setelah melihat Laras yang sudah jauh dari pandangannya, Anes segera pergi menuju ke rumahnya yang terlihat lampunya sudah mulai menyala.
"Ibu," panggil Anes dari halaman rumahnya.
Tidak ada jawaban, rumah terlihat sepi dan kosong. "Ke mana Ibu?" gumamnya.
"Sepi sekali."
Anes masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang karena sudah kebiasaan mereka masuk selalu lewat pintu belakang.
"Ibu," panggilnya lagi tetapi sama seperti tadi, tidak ada jawaban dari Ibunya.
Anes masuk ke ruang tengah yang bisa terlihat ke setiap sudut rumah, tetapi Ibunya tetap tidak ada.