"Dea hanya mengandalkan otak, bukan kekayaan milik orang tua. Dan Dea bisa merasakan hasil jerih payah dan usaha Dea sendiri," Dea menambahkan perkataan nya, Raya mengepalkan tangan, dirinya merasa tersinggung akan ucapan istri pertama Rama.
Sedang Tante Vani yang mengetahui perjalanan hidup Dea tersenyum dan bangga akan wanita ini, keras kepala dan penuh perjuangan. Memang dari Dea SMP, gadis itu bekerja separuh waktu karena ayahnya tidak memberi uang jajan. Semua diberikan pada sang kakak, dan karena otak Dea yang pintar itu makanya Dea mendapat beasiswa, dan sang ayah semakin tidak bertanggung jawab.
Sang ayah dan ibu malah menuntut uang pada Dea, hingga Dea SMA uang tabungan miliknya di titipkan Tante Vani agar tidak diketahui sang kakak yang hobi foya-foya.
Saat main ke rumah Tante Vani yang anaknya teman sekelas Dea, tidak sengaja Tante Vani melihat coretan Dea tentang busana. Tante Vani tertarik, dan meminta bekerja sama.
Hingga kini, mereka masih bekerja sama tetapi yang orang lain tahu Dea bekerja sama dengan temannya. Pun Resto, itu hasil keuntungan dari butik yang mereka dirikan.
Tidak ada yang tahu sebenarnya resto itu hanya milik Dea, tetapi Dea selalu mengatakan itu miliknya dan milik temannya. Dea berharap dengan begitu dia bisa menabung dan menggunakan uang hasil keuntungan itu untuk hal-hal yang mendadak.
Sebenarnya Dea tidak bermaksud menyindir, tetapi dia mengatakan fakta, banyak teman-temannya yang kaya hanya mengandalkan uang milik orang tua mereka.
"Sudah, tidak usah di bahas," Papa Roy menengahi, matanya menangkap ada raut ketidak sukaan pada wajah Raya.
"Oya, kata Tante Vani kamu liburan sama temen-temen kamu?" Papa Roy mengubah topik pembicaraan, Dea mengangguk seraya tersenyum pada Papa mertuanya.
"Oya, kamu pernah ke Jogja kan? Rania pernah liat kamu di sana?" Dea terkejut ternyata adik iparnya pernah melihat dirinya dan mengadukan pada Rama, seketika menoleh menatap dan mencerna ucapan sang suami yang membahas liburan pertamanya.
"Iya, hari pertama Dea kesana," Dea berusaha tenang, berharap adik iparnya tidak melihat keberadaan Abraham saat itu.
"Dia protes, kok kamu ga mampir ke kostnya," Rama tersenyum lalu mengusap lembut kepala Dea, "Dea kan sama temen-temen, kalo mampir tar ngerpotin," dalih Dea, berharap sang adik iparnya benar-benar tidak melihat Abraham.
"Trus oleh-oleh nya mana?" Dea mengaruk kepalanya yang tidak gatal, pertanyaan yang menjebak menurutnya, tidak mungkin juga Dea mengatakan barang-barang itu berada di mobil Abraham, bisa habis dia.
"Di mobil salah satu teman Dea, Tante," sahut Dea cepat, di sertai senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.
"Lho kok bisa di mobil temen kamu, ga kamu bawa pulang dong?" Mama Abhel bertanya, matanya memincing sebelah, Dea hanya mengangguk.
Entah malas rasanya berbicara pada ibu mertuanya itu, perintah pada sang suami agar menikah lagi, itu yang membuat dirinya kecewa dan sakit hati. Itupun tanpa sepengetahuan dirinya, juga tanpa meminta izin dulu dari Dea.
"Tenang saja, Ma. Besok kapan-kapan kita ke Jogja, trus beli semua barang yang mama mau," Rama mencoba menghibur sang mama.
Rama juga tidak suka jika Dea di sudutkan, termasuk mamanya. Raya menatap tidak suka pada Dea, beruntung Dea tidak melihat. Ada kalanya sikap cuek dan tidak mau tahu pada diri Dea itu menjadi kebaikan pada dirinya sendiri.
"Oya Tante, kenapa Dendi bisa cerai sama Luna?" Dea ingat sesuatu dan jika menanyakan langsung pada sahabatnya pasti dia tidak mau menjawab, dan Luna adalah nama mantan istri dari Dendi.
"Tante juga ga tau, De. Ga cocok kata anaknya," Tante Vani terkekeh, kemudian menggeleng pelan.
"Dia menyukai temannya, sayang wanita itu sudah menikah, tapi kata Dendi wanita itu tidak bahagia," ada raut cemas pada wajah Tante Vani.
"Kamu kenal Dendi, De?" Papa Roy memandang anak mantunya, Dea mengangguk lalu tersenyum, Rama diam menyerap arti percakapan ini.
Dendi, bercerai? Menyukai temannya yang sudah menikah dan tidak bahagia? beribu pertanyaan terbesit di otak Rama. Tunggu, jangan bilang kalau Dendi dan dia....
Seketika otak Rama menampik itu semua, tidak mungkin juga Dea adalah yang di maksud oleh istri kedua papanya.
"Dendi itu siapa, Mas? Seperti pernah dengar?" Mama Abhel yang penasaran akhirnya bertanya, Papa Roy dan Tante Vani menoleh dan dan saling berpandangan lalu mengangguk.
"Dendi Kusuma, putra keduaku dengan Vani. Lebih tepatnya adik Rama," terang Papa Roy yang membuat Rama membeliakkan mata tidak percaya akan ucapan sang papa.
"Pantes sama keras kepalanya, matanya juga," sahut Dea tanpa sadar, Tante Vani hanya tersenyum.
"Lu kenal anak kedua Papa Roy, De?" Dea hanya menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban pertanyaan dari Raya, istri kedua Rama.
"Sejak kapan kalian kenal?" Raya semakin penasaran, Dea menekuk tangannya dan meletakkan sikut pada pahanya, jemarinya dia ketuk-ketukkan di bibir. Sungguh ini membuat Rama gemas pada istrinya satu ini, tidak sadar Rama menarik kepala Dea dan menyenderkan di dadanya yang bidang .
"Sejak gue Sekolah Menengah Pertama, iya kan, Tan?" Dea menyingkirkan tangan Rama yang berada di keningnya, lalu memandang Tante Vani, wanita paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum mengiyakan pertanyaan yang Dea lontarkan.
Raya menatap kesal pada Rama, apa suaminya itu tidak sadar jika dia sedang cemburu, Rama memperlakukan Dea begitu istimewa, menghujani wanita itu dengan cinta dan kasih sayang.
Sedang saat bersama dirinya, Rama hanya cuek, dingin dan terlihat menjaga jarak. Ingin sekali Raya menjadi seperti Dea, di cintai dan di hujani dengan kasih sayang oleh sang suami.
"Kamu juga sudah kenal dengan Dendi kan, Ram?" pandangan Rama dan Papa Roy bertemu, Rama hanya mengangguk pelan lalu menyandarkan kepalanya di kepala sofa, sedang tangannya melingkar di perut Dea.
"Dea heran, wanita seperti apa yang membuat seorang Dendi yang cuek dan dingin kaya lemari es bisa bucin dan tidak mau move on," Dea menerawang jauh, dia tidak akan sadar akan perasaan Dendi pada dirinya karena selama ini mereka hanya berteman biasa, dan Dendi tidak menunjukkan perasaan seperti para pria yang mengejar dirinya.
Sedang Rama mendengus sebal akan pertanyaan konyol dari Dea, tidak sadar juga wanita itu, bahwa dirinya yang membuat semua pria bucin dan susah move on.
"Eh, berarti Dendi itu adik kamu kan ya, Mas?" seakan baru sadar Dea memutar tubuh menghadap kearah Rama yang memejamkan mata, Rama hanya mengangguk, malas membahas adik tiri yang menyukai istrinya.
'Dasar ga peka!' jerit hati Rama, di antara para sahabat Dea hanya Panca dan Dendi yang tidak menampakkan cinta mereka, tetapi hanya orang tertentu yang tahu perasaan mereka.