Tidak terasa waktu menunjukkan sudah hampir jam sebelas siang, ponsel Dea pun berdering. Senyum manis yang menampilkan lesung pipi tercetak di bibir tipis Dea, saat melihat siapa yang tengah menghubungi dirinya.
"Mas, Dea kekamar dulu ya, ada telepon," pamitnya pada Rama sambil menunjukkan ponsel yang dia genggam, seketika Rama membuka mata dan menatap tidak suka akan izin dari Dea.
"Kenapa ga di sini aja?" Mama Abhel bersuara, Dea menggaruk kepalanya lalu menjawab, "takut nanti keberisikan," kemudian Dea bangkit dari duduknya dan menunduk berpamitan pada Papa Roy dan Tante Vani.
"Ya, Sayang," ucap Dea begitu sambungan itu dia terima, kini langkahnya menuju tangga. Rama yang mendengar istrinya menyebut kata sayang langsung cemburu dan berdiri, setengah berlari menyusul Dea yang hendak melangkah naik ke tangga.
"Huaaa, tante Dea," suara yang Dea dan Rama pertama dengar, Dea terkekeh mendengar suara tangis Lea, sedang Rama memukul kepalanya pelan, merasa bodoh dan bersalah karena berfikir yang tidak-tidak pada istrinya.
"Ada apa sayangnya, Tante Dea?" perlahan Dea menapaki tangga tersebut, sedang di seberang sana Lea tengah terisak, pipi tembem itu basah oleh airmata.
"Lea mau libulan lagi sama Tante Dea," bibir Lea cemberut, Dea melihat layar ponselnya bergoyang. Dea menghela nafas, menahan kesal pada sahabatnya itu. Tahu anaknya menangis sang mama malah menertawakan, dasar, batin Dea mengumpat.
"Lea kerumah Tante Dea aja mau? Nanti main sama Tante," Dea membujuk anak kecil yang sedang merajuk, Rama yang berjalan di belakangnya tersenyum.
Rama membayangkan jika mereka memiliki anak pasti akan sangat bahagia memiliki mama seperti Dea, baik, perhatian, sabar, mungkin Rama akan lebih gemas kepada istrinya dari pada anaknya. Rama terkekeh mendapati pemikiran seperti itu.
"Tante Dea aja yang kelumah Lea," gadis itu membujuk Tante kesayangan nya, Dea kadang bingung, Lea ini kadang bisa lancar mengucapkan kata 'R' kadang masih kesulitan, tetapi baginya itu lucu.
"Memang sayangnya Tante udah pulang?" suara Dea terdengar menghibur, gadis kecil itu mengangguk sambil mengusap air yang keluar dari hidungnya dengan punggung tangan mungil itu.
"Sin," Dea memanggil sahabatnya, lalu wanita seumuran dengan dirinya menampakkan wajah lelahnya.
"Kalian pulang?" Sinta mengangguk, Dea tersenyum melihat sahabatnya itu.
"Pada ga naik pesawat?" lagi-lagi Sinta menggeleng, Dea mencebik, matanya melirik kamera ponselnya. Matanya menangkap bayangan sang suami sedang berdiri di belakangnya sambil tersenyum.
"Lea mau naik pecawat, tapi mama ga mau," gadis kecil itu mengadu, "kalau naik pesawat mobilnya nanti gimana, Le?" tanya Sinta, sang mama Lea dengan lembut. Lagi-lagi gadis itu diam dan cemberut, mata bening dan bulat itu menatap kearah kanan seakan minta pertolongan pada orang disebelahnya.
Dea tersentak saat sebuah tangan kekar melingkar di bahunya, dan si pelaku hanya melempar senyum dan menempelkan keningnya pada kepala Dea.
Rama dan Dea akhirnya masuk ke kamar setelah sambungan telepon itu terputus dan mengunci pintu dari dalam.
Dea meletakkan ponselnya di atas nakas dan kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk, tangannya terlentang, matanya terpejam, kakinya yang menjuntai ke lantai dia gerak-gerakan.
Rama yang baru keluar dari kamar mandi menyugar rambutnya, dan tersenyum gemas memandang tingkah wanita kesayangan nya. Kakinya melangkah menuju tempat tidur, lalu ikut merebahkan tubuhnya di samping Dea.
Dea yang merasakan pergerakan pada tempat tidur refleks membuka mata dan mendapati sang suami sedang memandang dirinya seraya tersenyum. Jujur Dea rindu akan moment seperti ini, sudah beberapa bulan waktunya hilang bersama sang suami, tetapi terganti dengan kekasih gelapnya.
"Istirahat aja yuk," Rama merangsek mendekat dan memeluk Dea dari samping, di kecupnya pipi Dea yang berwarna putih dan sekarang menjadi merah karena malu.
"Mas ga makan siang?" Dea memiringkan tubuhnya, menekuk tangan kanannya sehingga bisa menyangga kepalanya lalu menatap sang suami.
Rama menggeleng lalu berkata, "masih kenyang, Sayang," Rama mengecup bibir Dea singkat.
"Kalau kamu lapar, kita bisa turun dan makan siang. Tapi kalau mas maunya makan kamu," Rama tersenyum genit, lalu mengedipkan satu matanya.
Bibir Dea cemberut lalu mencubit perut sispack Rama, Rama hanya meringis dan menarik Dea kedalam pelukan nya. Setelah beberapa detik, Dea menarik diri dari Rama.
Matanya menelisik wajah dan penampilan sang suami, tangannya yang mungil terulur menyisir rambut Rama yang terlihat agak panjang, lalu mengusap rahang tegas Rama yang di tumbuhi bulu-bulu halus, Rama terpejam memikmati sentuhan istrinya.
"Apa istri kedua mu tidak mengurusmu? tanya Dea hati-hati, tangannya masih menyisir rambut Rama, sesekali mengecup kening suaminya itu. Rama membuka mata kala mendengar pertanyaan Dea, sejenak dia menghela nafas dan menatap Dea.
" Tidak ada yang perduli padaku selain kamu, Sayang," ucap Rama lembut, di raihnya tangan Dea dan memberikan kecupan di tangan itu.
Dea menarik tangannya lalu bangkit dan berdiri lalu berjalan menuju meja rias, Rama pun ikut bangun, tetapi dia hanya duduk dan memandang apa yang sedang Dea lakukan.
Dea membuka laci dan mengambil alat cukur kumis milik Rama, kemudian melangkah menuju kamar mandi dan sesaat keluar membawa cream wajah.
"Mas, kemarilah!" Dea menepuk kursi di depan meja rias, Rama menurut. Kakinya melangkah menuju keberadaan sang istri, lalu menghenyakkan bobotnya di kursi tersebut.
Dea berdiri di depan Rama dan duduk di meja rias, tangannya mengambil cream dan menuangnya di tangannya, lalu meratakan di rahang Rama, lalu menyalakan alat pencukur kumis itu dan perlahan mencukur bulu halus yang tumbuh di sana.
***
Setelah kepergian Rama dan Dea tadi, Mama Abhel, Raya, Tante Vani dan Papa Roy masuk kekamar mereka. Raya memilih menemani sang mertua, di dalam kamar sendiri tanpa Rama terasa sepi.
Sedang Papa Roy dan Tante Vani masuk kekamar mereka.
"Mas," Tante Vani memanggil Papa Roy, Papa Roy mendongak menatap sang istri kedua yang tengah bermain ponsel di atas ranjang, sedang dirinya sedang menyalakan laptop.
"Bagaimana kalau kedua putra kamu menyukai wanita yang sama?" Tante Vani menggigit bibir bawah, takut jika sang suami akan marah. Papa Roy menarik nafas lalu membuangnya perlahan.
"Apa wanita yang kamu maksud adalah Dea?" Tante Vani mengangguk sebagai pertanyaan sang suami, terdengar Papa Roy menghela nafas.
Tante Vani turun dari ranjang dan melangkah menuju sofa tempat sang suami duduk, lalu ikut menghenyakkan bokongnya di sofa tersebut.
"Seperti nya Rama tahu akan perasaan Dendi pada Dea karena mereka pernah bertemu sebelumnya," terang Tante Vani yang kemudian menyandarkan kepalanya pada lengan Papa Roy.
"Entah keberuntungan Rama atau apa, Dea sama sekali tidak menyadari perasaan cinta Dendi pada dirinya. Dea hanya menganggap Dendi sahabat," Tante Vani menambahkan ucapannya, lagi Papa Roy menghembuskan nafas berat nya.
"Sepertinya ini akan sulit, kedua putraku itu keras kepala," ucap Papa Roy kemudian mengusap punggung tangan Tante Vani.