Sesampainya di rumah, Abhel segera masuk kekamarnya, melempar tas slempang yang dia bawa ke sofa, lalu menghempaskan tubuhnya kekasur, matanya menerawang langit-langit kamarnya, merenungkan ucapan dan perkataan Riris sahabatnya. Apa dia harus melakukan perbuatan itu, tapi bagaimana caranya.
Abhel mengacak rambut panjangnya kesal, kemudian bangkit dari rebahan yang baru saja dia lakukan, tangannya mencengkeram seprei bermotif bunga-bunga yang membalut kasurnya yang empuk.
"Berfikir Bhel, berfikir," Abhel memukul pelan keningnya dengan kepalan tangannya, bibirnya mengerucut lucu kala menemukan ide tetapi kembali mencebik saat berfikir lagi tidak mungkin.
"Aarrgghh!!!" erang Abhel frustasi, merebahkan kembali tubuhnya dan kakinya yang menjuntai bergerak-gerak tidak jelas.
"Mas Roy, aku mencintaimu!!" Abhel membekap mulutnya dengan bantal dan berteriak kencang, berharap bantal itu bisa meredam teriakannya.
Abhel melempar bantalnya ke sebelah kiri lalu tangan nya yang lembut memukul kasur sedang kakinya menendang-nendang udara.
"Aku harus bagaimana agar kamu mau menerima cintaku, Mas," monolog Abhel dengan segala kefrustasiannya.
Kepala Abhel menoleh kearah pintu, muncul dari pintu seorang wanita paruh baya mengenakan daster bermotif bunga-bunga tersebut tersenyum kepada Abhel, dan dibalas anggukan oleh Abhel.
"Non Abhel nggak makan siang?" asisten rumah tangga yang sering dia panggil mbok Inah mendekat, Abhel kemudian bangkit dan menepuk ranjang nya yang empuk seakan berkata 'duduk sini dulu mbok'.
Mbok Inah menurut, perempuan paruh baya itu duduk di samping sang majikan. Abhel memeluk mbok Inah dari samping dan menyandarkan kepalanya di bahu artnya, dengan sayang mbok Inah mengelus pucuk kepala Abhel.
"Ada apa, Non?" mbok Inah begitu paham watak majikannya ini, sedari kecil selalu menjaga dan merawat seakan menjadi ibu pengganti karena ibu kandung Abhel sangat sibuk mengelola bisnisnya semenjak sang ayah meninggalkan mereka.
"Aku jatuh cinta," adu Abhel dengan bibir mengerucut kedepan, "lalu masalahnya apa?" dengan sabar mbok Inah menanggapi curhatan majikan yang sudah dia anggap seperti anak sendiri.
"Dia nolak aku, Mbok. Aku sedih sekarang, hu hu hu," Abhel semakin mengeratkan pelukan itu, mbok Inah mengusap lembut lengan Abhel.
"Kan masih banyak cowok yang lebih ganteng, dan masih banyak juga pasti yang mau sama Non," hibur mbok Inah, Abhel menggeleng kuat sehingga membuat tubuh renta mbok Inah ikut bergerak.
"Aku cuma mau dia, ngga mau yang lain," adu Abhel lagi, mbok Inah memukul pelan bahu Abhel. Kebiasaan Abhel adalah jika menyukai sesuatu harus jadi miliknya.
"Mbok harus apa sekarang coba?" tanya mbok Inah bingung, Abhel mengangkat kepalanya dan menatap wajah perempuan yang sudah merawatnya puluhan tahun.
Gadis itu menggeleng samar, bingung juga harus kah dirinya menceritakan kisah temannya dan dia menjadi terinspirasi, bisa habis dia di omelin ibu keduanya itu.
"Mbok masak apa?" Abhel mencoba mengalihkan perbincangan, mbok Inah tersenyum lalu berdiri.
"Kesukaan, Non," katanya seraya berjalan keluar, "aaa, aku mau makannnn!" pekik Abhel kemudian berdiri dan memakai sandal rumah, kemudian menyusul mbok Inah yang sudah menunggu di depan pintu sambil tersenyum menatap tingkah Abhel.
Keduanya berjalan menuruni tangga dan melangkah menuju ruang makan, di rumah ini hanya ada 2 art, yang bernama mbak Siti tugasnya bersih-bersih, namun terkadang di bantu mbok Inah.
Sedang mbok Inah bertugas memasak dan mengurus kebutuhan nona muda serta nyonya nya.
"Mbak Siti!" seru Abhel memanggil artnya yang lain, mbak Siti yang sedang membersihkan dapur menoleh, "ya, Non," jawab mbak Siti sopan.
"Sini!" katanya sambil melambaikan tangannya yang lentik, mbak Siti hanya diam dan memandang mbok Inah dan Abhel bergantian. Sedang mbok Inah hanya mengangguk, dan mbak Siti melangkah dengan takut kearah majikan nya.
"Sini temeni saya makan," pinta Abhel setelah mengenyakkan bokongnya di kursi meja makan, alis kedua art itu bertautan, kemudian saling memandang dan saling melempar pertanyaan dalam diam dan melalui isyarat mata.
Mbok Inah hanya mengedikkan bahu tidak tahu, "ayo duduk bareng saya, trus temani saya makan," pinta Abhel lagi.
Mau tidak mau mbok Inah dan mbak Siti duduk di kursi tepatnya di depan Abhel, Abhel melempar senyum pada keduanya menambah rasa heran pada kedua artnya itu.
"Mbak Siti umur berapa?" mata Abhel menatap artinya yang dia taksir lebih tua tiga atau empat tahun dari dirinya, tangannya kembali sibuk menyendok dan memasukkan nasi yang berada di sendok kedalam mulutnya.
"Hampir tiga puluh tahun, Non," sahut mbak Siti setelah meletakkan sendok yang dia gunakan untuk makan.
"Sudah punya pacar atau suami?" mbak Siti menggeleng sambil tersenyum canggung, "yah padahal mau tanya-tanya soal cowok," kedua bahu Abhel lunglai, pada siapa dirinya akan minta pendapat.
Tidak mungkin mamanya, mamanya terlalu sibuk mencari uang. Apalagi mbok Inah, kan dia sudah tua, dan Abhel tidak pernah melihat art kesayangannya itu bergandengan dengan seorang pria. Abhel mendengus kesal, bagaimana ini! pekiknya dalam hati.
"Non kalau mau cerita ya cerita saja, siapa tahu saya sama simbok bisa memberi solusi," mbak Siti memberanikan diri memberi komentar, siapa tahu saja di anggap dan ditanggapi baik oleh sang majikan.
Terlihat Abhel berfikir lalu mengangguk dan berkata, "ya sudah setelah makan kita berkumpul di ruang tamu," putus Abhel yang membuat kedua orang berbeda generasi tersebut melonggo.
"Maksudnya, Non?" tanya mbok Inah dan mbak Siti bersamaan, Abhel mengangkat kedua alisnya dengan raut wajah heran.
"Ya habis kita makan kita keruang tamu, saya mau cerita dan mau kalian memberi saya solusi," jawab Abhel yang akhirnya membuat kedua art nya mengangguk faham.
Setelah itu tidak ada lagi pembahasan, mereka sibuk makan dan menghabiskan makanan dan dengan pemikiran mereka masing-masing dan hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Setelah Abhel selesai makan, gadis itu beranjak menuju dapur dan membawa piring, sendok, garpu serta gelas yang dia pakai. Setelah selesai Abhel melangkah menuju ruang tamu menunjuk para asisten rumah tangganya, dan di sofa tersebut Abhel merenungkan kembali tindakan apa yang harus dia lakukan.
"Maaf non kami lama," ucap mbak Siti tidak enak, Abhel mengangguk mengerti. Abhel juga tahu mereka pasti merasa heran dengan sikapnya yang berubah, tapi percayalah kini perasaan aneh sedang bersemayam di hatinya.
"Duduk dulu ya, ngga enak ngobrol sambil berdiri," titah Abhel pada kedua art nya, dan mereka pun menurut, mbok Inah dan mbak Siti duduk lesehan yang membuat Abhel berdecak kesal.
"Jangan duduk di situ mbok, Mbak!" seru Abhel kesal, Abhel tahu mereka pasti takut jika dirinya mengadukan akan kelancangan mereka pada mamanya, atau nyonya rumah ini.
Mbok Inah dan mbak Siti saling berpandangan, Abhel berdecak kesal akan kelakuan sang artnya.
"Duduk di sofa itu dan kita mulai membahas yang akan kita bahas, dan ya, jangan khawatir, saya tidak akan mengadu pada mama," ucap Abhel dengan sabar dan nada bercampur sebal.