"Papa tenang saja, selama Dea bahagia, Dendi tidak akan mengusiknya," Dendi menyahut dengan santai, 'walau dia mempunyai hubungan dengan pria bule itu, aku nggak perduli. Aku akan merebut Dea jika Rama berani menyakiti dan membuat nya menangis,' Dendi hanya berkata dalam hati.
"Sudahlah, Mas. Anak kita tahu kok, mana yang benar dan mana yang salah. Iya 'kan, Den?" Tante Vani mengusap punggung putra tunggalnya, seakan meminta jawaban 'iya' tanpa berdebat. Dendi hanya mengangguk lalu menunduk, di sini dia akan semakin dekat dengan pujaan hatinya. Itu membuat perasaannya semakin membaik.
"Ya sudah, papa mau ke kantor dulu," pamit papa Roy pada Dendi, pria itu mengangguk dan Tante Vani mengekori, bermaksud mengantar sampai depan.
"Papa mau ke kantor?" Raya yang juga baru keluar dari kamar menggunakan dress di atas lutut berwarna merah, dan menenteng tas mahalnya. Papa Roy dan Tante Vani menoleh lalu mengangguk.
"Kamu mau kerumah papa kamu?" Tante Vani yang bertanya, Raya hanya mengangguk dan menaiki tangga tanpa berkata apapun. Langkah kakinya menuju kamar Rama, wanita itu berniat berpamitan pada suaminya walau tadi sudah meminta izin, namun Raya ingin suaminya tahu dia sangat menghargai sang suami, tidak seperti Dea.
Saat Raya hampir mengetuk pintu, tidak sengaja indera pendengarannya menangkap suara suaminya sedang tertawa bahagia, sakit rasanya mendengar dan melihat sang suami membedakan dia dan Dea. Lagi, dan lagi Dea adalah sumber masalah dan penyebab dirinya tidak bahagia, akhirnya Raya memutuskan mengetuk pintu beberapa kali hingga terdengar suara, "Siapa, tunggu sebentar," Raya menarik nafas menetralkan degub jantungnya, dan sudah bisa menebak pasti istri pertama suaminya yang membukakan pintu itu.
"Eh, Raya. Nyari mas Rama?" tanya Dea begitu pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita yang tidak lain adalah istri kedua suaminya. Raya mengangguk malas, netranya malas menatap Dea yang kini penampilannya sedikit berantakan.
"Mas, di cari Raya nih!" seru Dea yang masih berdiri di depan pintu kamar Rama, "ya, ada apa?" Rama bertanya seraya melingkarkan tangannya di pinggang Dea dari belakang, dan tangan yang satu bersandar pada pintu.
"Aku...cuma mau pamit, aku mau kerumah papa hari ini," ucap Raya yang langsung diangguki Rama, Dea mencubit paha Rama membuat pria itu kaget dan mundur dua langkah, Dea mencubitnya karena pria itu menggesek gesek pantatnya dengan senjata Rama yang terasa sedang tegang.
"Apa sih," Rama menepuk pantat Dea gemas, "mass!" Dea memekik kesal. Raya yang melihat adegan itu menjadi cemburu dan bertambah kesal.
'Mas Rama tidak pernah memperlakukan aku begitu, dia selalu menghindar jika aku meminta hak ku sebagai istri. Tapi ini, dengan Dea... dia bebas mengekpresikan perasaannya. Apa aku tidak pernah ada di hatinya sama sekali?' gumam Raya dalam hati.
"Itu ada Raya," Dea mendengus sebal, suaminya ini selalu menempel padanya bagaikan magnet yang berlawanan sisi.
"Dia kesini 'kan mau pamitan, Sayang," Rama mengecup kepala belakang Dea, "bukan begitu, Ray?" Rama menambahkan seraya memandang wajah Raya sebentar kemudian beralih pada Dea kembali dan itu membuat Raya sangat muak. Sebegitu bucinnya suaminya itu pada istri pertamanya.
"Iya," hanya itu yang keluar dari mulut Raya, dan akhirnya dia melangkah turun setelah benar benar berpamitan. Sesekali punggung tangannya mengusap airmata yang turun tanpa izinnya.
"Aku sangat mencintaimu, Mas. Tapi kenapa, sepertinya bagimu aku seakan tidak pernah ada?" Raya meletakkan kepalanya di setir mobil yang kini dia tumpangi.
"Hanya Dea, Dea dan Dea saja yang kau pikirkan," Raya meratapi nasibnya, "kenapa aku juga belum hamil? Mungkin jika aku hamil, mas Rama bisa memberi aku perhatian dan aku bisa merebut cintanya perlahan lahan," gumamnya pelan.
"Ya, aku harus hamil anak mas Rama. Aku harus hamil agar Mas Rama bisa mencintai ku. Semangat Raya," wanita itu mengepalkan tangannya dan mengangkat nya keudara, memberi semangat pada dirinya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini tidak mungkin ibu mertuanya bisa menolong dirinya, bukankah ibu mertuanya juga sedang ada dalam masalah. Kemudian Raya menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya menuju rumah orang tuanya.
***
"Lho kalian mau kemana?" Dendi bertanya saat melihat Dea dan Rama bergandengan tangan menuruni tangga, "kepo!!" Dea terkikik setelah menjawab pertanyaan adik iparnya.
"Dasar," Dendi mengacak rambut Dea, gemas sekali dengan wanita dihadapannya. Bisa bisanya wanita ini membuatnya menjadi gila dan tidak bisa mengendalikan diri saat di dekatnya.
Rama menepis tangan Dendi yang menurutnya lancang, "dia kakak iparmu, kalau kau lupa!" ketus Rama, Dendi terkekeh dan menggeleng pelan.
'Baru gue aja yang pegang loe udah marah marah, apalagi saat tahu Dea sudah tidur dengan bule itu. Bisa sekarat seketika loe,' gumam Dendi dalam hati masih menatap lekat Dea dan Rama bergantian.
"Kamu nggak ke kantor, Den?" Dea bertanya karena suasana terasa mencekam, Dendi menggeleng lalu mengikuti langkah Dea dan Rama yang menuju ruang tamu.
"Cie, yang udah sukses jadi males," Dea meledek sahabat sekaligus adik iparnya, "iyalah, tar gue serahin harta gue itu ke wanita yang gue cinta," sahut Dendi sombong seraya menaik turunkan kaus bagian lehernya.
"Hueek," Dea kembali meledek Dendi, membuat pria itu benar benar gemas, sedang Rama cemburu. Terkadang Rama benar benar tidak suka akan sikap ramah dan perhatian istrinya itu pada semua orang yang bisa membuat semua salah paham.
"Eh, tunggu. Aku serius mau tanya, siapa sih wanita masa lalu kamu yang begitu hebat hingga bisa membuat seorang 'Dendi' pria es jatuh cinta dan tidak bisa berpaling?" mendengar pertanyaan Dea, Rama dan Dendi tiba-tiba terbatuk karena terkejut.
"Eh, mas kamu kok kompak bisa batuk gini sama Dendi?" Dea merubah duduknya menjadi menghadap Rama dan mengusap usap dadanya, tanpa Dea tahu kedua pria itu saling melirik tajam.
"Namanya juga kakak adik, De," bukan Rama atau Dendi yang menjawab akan tetapi Tante Vani. Kemudian wanita cantik itu duduk di samping Dendi dan menatap sepasang suami istri yang terlihat harmonis namun ada luka yang tidak terlihat di sana.
"Ah, iya, ya," Dea menyahut lalu tertawa, Rama melirik tidak suka istri kedua ayahnya tersebut. Rama menilai wajah Dendi, wajahnya perpaduan antara papanya dan Tante Vani. Sedang dirinya tidak ada bagian papanya yang menempel sama sekali, hanya beberapa yang mirip mamanya.
"Tante Deaaaaaaa!!!!" suara cempreng dan menggemaskan terdengar menggelegar di ruangan tersebut, seorang anak kecil berlari dan sesekali meronta kala mamanya menahan agar gadis kecil itu tidak berlari.
"Leaa!!" Dea ikut memekik lalu berdiri dan berjalan menuju gadis kecil yang ternyata Lea kemudian berjongkok dan merentangkan kedua tangannya. Lari kaki pendek Lea semakin cepat dan, brukk. Lea menabrakkan tubuh kecilnya pada dekapan Dea.
"Lea, kasihan tante Dea!" tegur sang mama, yang hanya mendapat jawaban, "Lea kangen tante Dea, Mama."