"Mumpung ini hari Minggu dan kami, maksud papa, papa dan Rama libur bagaimana kalau kita mengobrol saja di ruang tamu. Sekalian pengenalan," ucap Papa Roy setelah menandaskan makanan dan minuman miliknya.
"Wah boleh juga itu, Mas," Tante Vani menyetujui usul sang suami, "mbak juga setuju kan?" Tante Vani mengalihkan pandangan dan meminta pendapat istri pertama suaminya.
Mama Abhel terlihat ragu, sekilas dia melirik Raya seakan meminta pendapat. Raya pun mengangguk mengiyakan permintaan istri muda ayah mertuanya.
"Kalian ngga kemana-mana 'kan?" Tante Vani beralih menatap Rama dan Dea, Dea menggeleng seraya mengunyah makanannya.
"Mau nambah lagi?" Rama menawari Dea yang terlihat begitu lahap, Dea tersenyum malu-malu. Dia memang lapar karena dari kemarin siang belum makan, mau minum kelapa muda pun tidak jadi karena Rama sudah datang dan mengajaknya pulang.
"Sayurnya aja, Mas," pasrah Dea akhirnya, dengan cekatan Rama mengambil kan sayur dan memindah kepiring Dea, setelah mengambilkan sayur Dea, tangan Rama mengusap pucuk kepala Dea.
Sungguh hati Raya ingin menjerit dan menangis melihat langsung perlakuan suaminya pada istri tuanya, Tante Vani yang melihat hanya tersenyum.
"Kami duluan," pamit Tante Vani yang sudah menerima uluran tangan dari Papa Roy, mereka hanya mengangguk.
Seketika Papa Roy berbalik dan mengulurkan tangan kearah Mama Abhel, ada keraguan di hati wanita itu. Mama Abhel tahu tadi istri keduanya yang meminta Papa Roy mengajak keruang tamu bertiga.
"Ikut saja, Ma," suara Rama menginterupsi, Mama Abhel mengangguk lalu menerima uluran tangan Papa Roy dan berlalu dari sana, Papa Roy mengapit dua tangan istri-istrinya melangkah menuju ruang tamu, dan kini menyisakan Dea, Rama dan Raya.
Dea terlihat cuek dan lebih memilih makanannya dari pada berbincang dengan istri kedua suaminya.
Sepuluh menit kemudian Dea, Rama dan Raya menyusul ke ruang tamu. Di sana Papa Roy sedang bercanda dengan Tante Vani, sedang Mama Abhel hanya mendengar sesekali menimpali.
Rama memilih duduk di samping Mama Abhel, dan saat Dea mau duduk di sebelah Rama, Mama Abhel bergeser agar Raya juga bisa duduk di dekat Rama.
"Mas, ponsel aku masih ada di tas yang kemarin kan?" Dea belum duduk, Rama mengangguk menjawab pertanyaan Dea.
"Kuncinya mana? Biar Dea ambil," Dea sama sekali tidak mau melirik ibu mertua dan Raya.
"Sebentar mas ke kamar ambil kunci," Rama berdiri dan melangkah menaiki tangga, "Mas, Dea tunggu di luar ya!" Dea setengah berteriak karena Rama hampir sampai di ujung tangga.
Pria itu mengacungkan jempol dan mengangguk, Dea melangkah keluar menuju tempat parkir mobil yang kemarin suaminya gunakan.
Dea berdecak bingung, mobil mana yang kemarin mereka gunakan, Dea ingat dia tertidur saat masih di pesawat dan tiba-tiba dia sudah berada di ranjang dan di kamar sang suami saat matanya terbuka.
Dea terlonjak kaget lalu memukul pelan lengan Rama yang tiba-tiba mengecup pipinya, sedang Rama hanya terkekeh. Kaki Dea melangkah mengikuti langkah Rama menuju mobil yang kemarin mereka gunakan.
"Ini bukan mobil kamu kan, Mas?" tanya Dea penasaran, Rama hanya mengangguk seraya memasukkan kunci kedalam lubangnya lalu memutar dan membuka pintu mobil itu.
Tubuhnya merangsek masuk dan mengambil tas mahal Dea yang kemarin dia lempar di kursi bagian belakang. Senyum Dea merekah kala Rama menyerahkan tas itu, tangannya sibuk membuka tas lalu mengambil ponselnya.
Rama cemburu dengan ponsel itu, wajahnya dia tekuk. Rama bersandar pada pintu mobil sambil memandang kegiatan sang istri yang masih sibuk dengan ponselnya, seakan-akan ponsel itu adalah kekasihnya.
Rama mengerutkan kening kala Dea tersenyum menatap sebuah foto, Rama yang cemburu merebut dan melihat apa yang sedang Dea lihat. Senyum juga tercetak di bibir Rama kala membaca pesan dari sahabat wanita istrinya.
(Lihat thu keponakan kesayangan mu, begitu wajahnya langsung ditekuk begitu kamu di jemput suamimu) dan di sana ada foto Lea yang sedang cemberut, bibirnya yang kecil dan mungil maju.
"Aish, ini anak. Ngga puas apa tidur bareng aku selama seminggu," Dea tersenyum sambil geleng-geleng.
"Kamu tidur dengan anak Sinta?" Dea manggut-manggut sambil berjalan mendahului Rama, 'juga bareng Abraham,' gumam Dea dalam hati.
Menyebut nama Abraham dalam hati membuat Dea merindukan pria itu, pria yang seakan-akan mampu mengalihkan kesedihan menjadi kebahagiaan.
Saat memasuki ruang tamu Dea melihat ibu mertuanya sedang berbincang akrab dengan adik madunya, sedang papa mertua dengan Tante Vani hanya menyimak. Dea menghembuskan nafas pelan, Rama tahu istri pertamanya sedang gelisah.
Rama mengalungkan lengan kekar nya dileher Dea, dengan sedikit menunduk Rama menyatukan kepala mereka dan berkata, " jangan khawatir ada, Mas," Dea hanya mengangguk.
Raya tadi sempat melirik, rasa cemburu dan iri menyeruak dalam hatinya, kenapa mas Rama tidak bisa berbuat romantis dan memperlakukan aku dengan baik, sebagaimana dia memperlakukan Dea. Aku juga ingin merasakan kasih sayang dari mas Rama, merasakan perhatian mas Rama, tidak hanya sikap tidak acuh dan cuek yang dia terima, monolog batin Raya menjerit.
Tante Vani yang melihat Dea masih berdiri segera menyenggol Papa Roy, Dea yang tadi menunduk berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Dea, sini," tangan Tante Vani melambai lalu menepuk sofa sebelahnya yang masih kosong, Dea mendongak dan mengulum senyum, saat kaki Dea hendak melangkah menuju tempat duduk Tante Vani tiba-tiba Rama menarik tangan Dea duduk di sofa yang muat dua orang,
"Gimana bisnis kamu?" Tante Vani membuka percakapan dengan mengajukan pertanyaan pada Dea, Rama mengerutkan kening, dari mana istri kedua papanya tahu soal usaha Dea, istrinya?
Apa memang mereka dekat? beribu pertanyaan masih bersarang di otaknya, tetapi jika bertanya tidak mungkin.
"Lancar Tante, ya lumayan bisa buat nambah-nambah rekening," jawab Dea seadanya, memang begitu keadaannya, bisnis baju dan kuliner yang dia tekuni bersama para sahabat berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang bisa menambah saldo rekening miliknya.
"Beruntung Rama punya istri mandiri seperti kamu," Tante Vani memuji Dea, tidak bermaksud menyindir Raya, yang hanya di tanggapi senyum manis oleh Dea.
"Ya harus bekerja keraslah tante, kan biar buat bisa menghidupi keluarganya," sahut Raya ketus, tidak terima di banding-bandingkan pikir Raya.
"Maksud kamu gimana?" Tante Vani menoleh, merubah posisi duduknya menghadap Raya, sedang Rama mengepalkan tangan, tidak terima Raya merendahkan istri tercintanya.
"Sudah jelas kan tante, dia harus bekerja keras untuk memberi uang pada keluarganya, ayah dan ibunya," sinis Raya memandang Dea sengit, hatinya bertambah sakit saat Dea dan Rama saling bertautan jemari mereka.
"Setidaknya dia mandiri dari dulu, tidak mengantungkan kehidupan dan kebutuhan pada orang tuanya," Tante Vani berkata demikian berharap sedikit membuka mata dan pikiran Raya.
"Sudah Tante, orang kaya dari dini itu tidak akan tahu rasanya susah-susah mencari uang, tidak seperti Dea yang harus pontang panting mencari uang untuk melanjutkan kuliah, beruntung Dea orang tidak mampu tetapi punya otak cerdas," Dea menjeda ucapannya dan menarik nafas perlahan.