Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 20 - Versi Ibu

Chapter 20 - Versi Ibu

Pagi merekah di kala embusan sejuk angin pagi di satu desa Mojokembang. Bersama tetesan embun dati dahan dan daun pohon perdu kami bersua restu akan cinta ku dan cinta Amanah. Ruang tamu berdinding bambu adalah saksi bisu, bangku-bangku tua beralas anyaman bambu adalah saksi bisu dan pilar-pilar bambu adalah saksi bisu.

Ketika aku dan kamu Amanahku bersahut keyakinan akan maksud kebaikan untuk satu tujuan pernikahan. Dan kau tertunduk takut akan menatap mata sang bapak yang penuh wibawa duduk bersila di atas kursi anyaman bambu di depanku.

Ku utarakan maksud dengan penuh tersirat dan kata agar mufakat. Dengan menghaluskan bahasa dan bersifat tata krama Jawa. Kuaturkan sembah silaturahim akan kepatuhan adat istiadat dan kearifan lokal.

Bahwa aku lelaki dan aku harus mampu membawamu pergi melewati pintu depan rumahmu penuh dengan restu bapak dan emak (Ibu) mu.

"Baik kalau semua sudah setuju, bahwa anak kami pertama juga sudah menyetujui. Dan Ndok Amanah sendiri sudah menyetujui. Kami sebagai orang tua manut saja apa yang terbaik bagi kalian," begitulah dawuh atau perkataan sang bapak Ali atau sering di panggil Mbah Kasnam menerima lamaranku akan Amanah.

Sedikit aku melirik kekasihku Amanah yang tampak sayu di wajahnya dan hanya tersenyum tipis sambil mengangguk perlahan. Seakan mata indahnya berbicara, "Kau memang lelakiku Mas Kas dan kau yang menepati janji dan yang pertama menempati hati Adek ini."

***

"Oh berarti jadi ya Pak, Bapak meminta restu sama Mbah Kakung waktu itu sendiri. Ngomong sendiri begitu ya. Hebat ya ternyata berani loh Bapak, hehe," ucapku sambil terus mengisi abu bekas bakaran batang-batang padi yang diramu sedemikian rupa sebagai penutup dua biji benih jagung yang dimasukkan pada lubang yang telah dibuat bapak di setiap lajur dalam per petak sawah kami.

"Loh iya dong Pen, cerita Bapak ini dapat kau petik segi positifnya. Bahwa kita sebagai lelaki pantang mengajak bertemu seorang anak perawan orang di pinggir jalan atau di warung atau di mana saja tempatnya tapi orang tua mereka tidak mengetahui hal itu," timpal Bapak sambil tersenyum dan terus melubangi lahan sawah dengan sebuah tongkat dari pohon pete yang di buat lancip ujungnya.

"Ini juga sebagai acuan buat kamu Nak agar nanti kalau kamu bersua kembali akan jodoh yang benar-benar jodohmu untuk berhati-hati dan ingat restu kedua orang tuamu dan orang tua wanitamu kelak sanggatlah penting sebab itu adalah restu langit dan bumi, restu dari Gusti Allah," sahut Ibu sambil terus menaruh biji benih pada lubang-lubang yang dibuat oleh Bapak.

"Lah ya dong Pak, Bu, tenang saja Insya Allah anak lelaki kalian ini tahu bagaimana caranya menghormati orang tua dan tahu bagaimana urutannya untuk mendapatkan jodoh dari Allah langsung dengan cara memantaskan diri dahulu," ucapku seraya memutar pinggang ke kanan dan ke kiri agak pegal sebab terus merunduk.

"Makanya itu Bapak mewanti-wanti kamu untuk terus menabung dari sisa kerjamu walau sedikit demi sedikit. Nanti kalau sudah agak banyak dan akan bapak tambahi belilah batako atau batu bata barang seribu atau dua ribu buah. Terus kalau sudah terbeli menabung lagi untuk membeli bahan bangunan lain sehingga kalau sudah lengkap bangunlah rumah," tutur Bapak sambil sejenak menunggu Ibu yang mengambil minum pada botol mineral yang diletakkan di pematang sawah tidak jauh dari kami berdiri.

"Lah kan yang diajak untuk menempati rumah belum ada Pak?" ucapku agak menekankan pada kenyataan bahwa hingga hari ini diusiaku yang sudah menganjak tiga puluh satu tahun belum jua ada kata dari satu nama wanita di sampingku.

Sebenarnya belum ada kembali wanita yang mengisi kekosongan hati ini setelah enam atau tujuh tahun yang lalu Jingga telah melukainya hingga berdarah-darah dan masih terus perih terasa di permukaannya.

Tampaknya Bapak mengerti sorot mataku yang mulai menampakkan kegalauan hati akan luka yang terlanjur ada.

"Kalau masalah Jingga sudah lupakan Nak, anggap saja bukan jodohmu memang dan jangan bersedih hati nanti pasti di suatu hari Bapak yakin akan ada satu wanita bersua denganmu dan bersanding kembali di pelaminan bersamamu kembali," kata Bapak sambil mengusap rambutku sepertinya gemas namun tetap dengan kasih sayang penuh dan senyum khas beliau.

"Maksud Bapakmu Le, Tole, (Sebutan bagi anak lelaki dalam bahasa Jawa) akan agar kamu mulai menabung untuk membuat rumah begini, dimasa sekarang anak gadis tidak lagi seperti masa Ibu dan Bapak dahulu. Kau kan juga mengerti akan hal itu, anak gadis sekarang kalau pemuda mau mendekati atau ya dalam masa penjajakan lah untuk mendekat butuh modal. Mereka memandang bagus tidak yang kau naiki alias kendaraan yang kau punya terkadang juga butuh biaya tidak sedikit hanya untuk sekali mengajak jalan anak gadis sekarang ia kan," tutur Ibu yang selesai menenggak air putih dalam botol air mineral berukuran besar.

"Tapi benar juga sih kata Bapak dan Ibu, pokoknya hari ini aku semangatkan hati. Tetapi maaf kalau anak lelakimu ini masih terus merepotkan ya Pak, Bu terkadang masih meminta tambahan modal agar terus bekerja. Maklum masa PPKM (Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) akibat pandemi ini teramat sulit untuk mencari laba dalam berdagang," ucapku meminta pemakluman atas kerjaku yang masih belum menghasilkan yang dapat membanggakan Bapak dan Ibu.

"Yang penting teruslah berdoa akan sehatnya Bapak ya Nak. Agar kita dapat sama-sama berjuang meraih hidup yang lebih baik lagi," jawab Bapak melontarkan permintaan akan doa sehat kepadaku.

"Kalau itu selalu Pak, tanpa Bapak pinta aku sudah mendoakan seluruh keluarga agar tetap sehat walafiat. Nah barusan kan cerita dari sisi Bapak nih iya kan, kalau cerita dari sisi Ibu bagaimana nih dari versi Ibu tentang kisah cinta Kasturi dan Amanah," pintaku menodongkan permintaan bercerita dari versi Ibu setelah mendengar kisah dari versi Bapak.

"Ah Sampean (Kamu dalam bahasa Jawa) itu Le, Tole, ada-ada saja masak Ibu juga disuruh bercerita," celetuk Ibu sambil meneruskan mengisi per butir benih jagung pada lubang-lubang di depannya sambil terus berjalan maju. Sedangkan bapak yang membuat lubang terus berjalan mundur.

"Loh ya iya dong Bu, masak Bapak saja yang bercerita. Pendik juga butuh cerita dari Ibu dong untuk referensi pembelajaran bagi dirinya bagaimana melangkah kelak di hari mendatang," timpal Bapak sambil meringis dan menampakkan wajah merayu agar Ibu ikut bercerita.

"Ah kalian Bapak dan anak sama saja, selalu kompak kalau masalah seperti ini. Masak Ibu juga harus bercerita ilo Pak. Sudah lupa Ibu bagaimana dan mulai dari mana ceritanya," ucap Ibu mencoba mengelak agar tidak jadi bercerita.

"Ah Ibu, ayolah Bu, enggak seru ah Ibu ini ya Pak," rengekku pada Bapak agar merayu kembali Ibu untuk bercerita.

"Iya Bu ceritalah wahai si bunga desaku, hehe," celetuk Bapak sedikit menggoda Ibu.

"Waduh Bapak bunga desa itu dahulu Pak. Sekarang Ibu sudah peyot ini. Baiklah-baiklah Ibu akan bercerita tapi kali ini saja ya, Begini ceritanya dengarkan ya."