Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 25 - Gerbang nomor 5

Chapter 25 - Gerbang nomor 5

Disini di bawah atap peron setasiun Jombang kota pukul 14.15 WIB. Mengenangmu adalah suatu keniscayaan bagi otak karena hati pasti menyangkal dan menolak.

Sudah teramat panas disini di bangku panjang ruang tunggu depan peron rel kereta yang membujur kaku dari ujung timur setasiun pasar turi kota Surabaya hingga pemberhentian terakhir sang rumah kereta di ujung paling barat kota Jakarta setasiun Gambir Jakarta Pusat.

Setahun yang lalu saat aku menemuimu dalam peristiwa pedih yang menusuk jantungmu dan ku rasa sama melemahkan akal sadarku aku bergegas menuju salah satu sudut ruangan pasien

RSUD Jombang Kota.

Saat aku melangkah perlahan dengan pengawalan para anggota polisi dan di depan pintu sebuah kamar di mana kau terdampar di sebuah ranjang pasien tak berdaya dan tak sadarkan diri.

Saat itu untuk pertama kalinya mataku berair dengan sendirinya tapi kubasuh kembali dengan lengan baju yang kau berikan padaku. Serasa aku ingin meraihmu, memelukmu dan ucapkan maafkan aku Linda.

Tetapi tangan-tangan mereka, dari salah satu tangan seorang ibu yang melahirkanmu, dari salah satu tangan lelaki sebaya 50 tahun yang membesarkanmu. Mereka menahanku lalu mendaratkan tamparan keras di pipi ini.

Mereka membentak, menghardik, mencaciku serta keluarkan sumpah serapah kepadaku. Kata-kata yang membekas terus berdenging di telinga hingga hari ini walau setahun telah berlalu.

Saat Bapakmu berkata, "Kamu Pendik kan, pergi kamu gara-gara gerombolan anak-anak nakal sepertimu anakku menjadi sekarat. Kalian memang anak jalanan tetaplah berandalan pergilah menjauh."

Saat Ibumu berkata sambil berteriak dan menangis, "Pergi jangan lagi menemui Linda enyah kau dari hadapan kami jangan datang lagi dan jangan ganggu kami lagi,"

Aku hanya tertunduk lalu berpaling dari mereka.

Sambil sedikit melirik ke arah jendela hanya sekedar untuk melihatmu yang terakhir kalinya. Serasa aku ingin menyampaikan kepadamu dekat di wajahmu seperti malam itu saat wajahmu dan wajahku begitu dekat.

"Aku pergi Kak Linda Kristiani dan maafkan Adik Pendik saat kejadian pilu menimpamu aku tak ada di sana."

Ku palingkan wajah dan badan ini perlahan memandang beberapa wajah polisi di sampingku mengisyaratkan pada mereka agar lekas pergi membawaku dengan satu anggukan kepala perlahan dan kami berjalan kembali meninggalkan kembali bunga cinta yang sejatinya telah bersemi jua di hati ini. Kali ini kembali harus pupus di tengah jalan.

Berkali-kali kupu-kupu yang terbang menuju dawai hati ku dan menyemainya sedemikian rupa menjadi cinta selalu terbang kembali. Begitu sama seperti itu cintaku saat sudah mulai tumbuh dan mekar bahkan tumbuh kuncup-kuncup berikutnya.

Saat itu tiba pasti hatiku kembali terluka kalah oleh keadaan. Kalah oleh yang menyandang pangkat atau yang memiliki harta dan derajat dunia. Disini menatap ruang lapang berjajar rel kereta di bawah atap setasiun Jombang kota. Kembali kandas cintaku setahun yang lalu dan kemarin kau mencariku mengucapkan salam perpisahan yang sebenarnya.

Di sampingmu ada lelaki tegap berdasi dan berjas rapi tampaknya kaya. Dan kau selayaknya nyonya besar di samping lelaki itu sambil memegang perut yang semakin gendut berbadan dua ku kira.

Kau berkata dengan tangisan di samping terminal masa lalu kita dahulu, "Dek lupakanlah Kak Linda anggap saja kakak Lindamu mati saat terbaring tak berdaya di ruang pasien RSUD Jombang. Dan maaf untuk luka yang Bapak dan Ibuku berikan. Dek Pendik tolong jangan kenang lagi kisah kita. Sebuah kisah antara raja dan ratu basis terminal. Dek pergilah kalau kau ingin pergi menjauhlah kalau kau ingin menjauh dan lupakanlah aku."

Begitulah kemarin kata-katamu kau buang begitu saja. Kau campakkan begitu saja hatiku yang selama setahun ini mencari dan menunggu kabarmu. Dan kau kemarin saat matahari telah tenggelam di atas terminal berganti rembulan merah semerah hatiku yang tengah tersayat.

Aku tak mampu bicara kala itu hanya menatapmu pergi di gandeng mesra sang pria berdasi lalu kalian di telan mobil sedan kembali melaju kencang meninggalkanku tengah terpaku sendiri tak percaya keadaan yang terjadi.

Dan disini sesuai kata-katamu aku akan pergi menjauh bahkan teramat jauh dari kota Jombang. Sebuah panggilan interviu lowongan pekerjaan di sebuah pabrik kertas PT INDAHKIAT kecamatan Ciruas area kota Serang telah menungguku.

Aku harus tetap menatap masa depan walau tanpamu hari ini senin siang aku dan tas ransel besar berisi pakaian ganti dan lembar-lembar surat lamaran kerja telah aku siapkan. Aku menanti sebuah kereta yang akan membawaku pergi jauh bahkan terlalu jauh dari masa lalu.

Dengan sebuah janji hati bahwa suatu saat nanti saat mereka yang meninggalkanku berkata aku menyesal tidak memilihmu dahulu. Dan aku bisa menjawab dengan santai dan tak terpaku membengong dalam kebisuan selayaknya patung. Kala waktu itu tiba aku ingin aku dapat menjawab penuh rasa lega, "Mungkin bukan takdirnya."

Jesjes, cekejes, cekejes, toot...,

Suara kereta api gaya baru malam tertatih berhenti dengan rem angin dan asap diatas gerbong masinis mengeluarkan kepulan asap hitam membumbung hilang ke udara menghitamkan awan di atasnya serta membuat hitam beberapa tiang peron di sekitarnya.

Ku ambil secarik kertas kecil berbentuk persegi panjang kecil berwarna merah jambu tertulis disana gerbong 5 nomor 5A. Yang artinya tempat dudukku berada di gerbong nomor 5 dan tempat duduk urutan nomor 5A.

Sejenak ku raih dengan malas ransel yang kuletakkan begitu saja di sampingku duduk satu jam yang lalu. Mulai berdiri dan mulai menghitung gerbong kereta api gaya baru malam jurusan setasiun Gambir Jakarta Pusat namun nanti aku hendak turun dalam tujuan yang berbeda yakni di setasiun Pasar Senen sebelum setasiun Gambir.

Aku mulai menghitung gerbong berwarna putih bercorak merah bata dan berlogo KAI di setiap gerbongnya. Ku hitung dari ujung dan akhirnya ku tahu di mana gerbang nomor lima.

Ku ayunkan kaki kembali menuju masa depan di ujung pulau Jawa paling barat tepatnya di kota tanah para sang Jawara bumi Serang. Setapak kakiku menyentuh ujung pintu gerbong kereta api gaya baru malam masih di ujungnya.

Terlintas wajah tatapan kosong yang dulu teramat ayu di mataku. Wajah sang bidadari angkutan kota Len H2 yang menjadi kisahku dengan tiga sekawan, "Ah sudahlah, sudah menjadi milik Mas berpangkat tentara itu,"

Ku raih gagang pintu gerbong kereta dengan kuat lalu kuayunkan tubuh dan pijakan kaki satunya lagi pas di ujung pintu dan kereta mulailah berjalan perlahan.

Terlintas sejenak bayangan payau wajah sendu dan tatapan mata sayu Linda di satu malam kosan kenangan itu tak akan dapat terlupakan bagaimanapun tak kan bisa lupa karena dia Linda Larasati yang menikmati kegagahan masa mudaku pertama kali, "Tapi ah sudahlah, dia sudah bahagia dengan sang konglomerat dan sudah berbadan dua pula."

Ku balikkan badan berdiri di depan pintu gerbong nomor 5 kereta api gaya baru malam dari setasiun Pasar Turi kota Surabaya menuju titik akhir pemberhentian Setasiun Gambir Jakarta Kota. Memandangku sambil kereta berjalan pelan-pelan dan mengubah lajunya menjadi begitu cepat.

Hufz...,

Kuhela nafas panjang beberapa kali menatap dengan teguh dan tegar kota dimana Si Bagus Kecil pernah dilahirkan. Kota dimana semua berasal di atas tanahnya. Semua mimpi berawal dari sini sebuah kota yang dari awalan mimpi mungkin suatu hari nanti aku rindu untuk pulang.

Ku tatap kembali kota Jombang yang semakin jauh. Dari laju kereta berucap lirih namun tetap dapat kudengar.

"Selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal kota Jombang tercinta dan mungkin suatu hari nanti aku akan kembali dengan wajah yang berbeda mungkin kalah mungkin dengan kemenangan gemilang tunggulah aku kembali suatu hari nanti."

Dan kereta gaya baru malam terus melaju membawaku meninggalkan seluruh luka. Tertatih diatas jalur panjangnya bantalan rel-rel menuju barat jauh bahkan teramat jauh meninggalkan semua di kota kenangan Jombang.