Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 31 - Ria di hadapan

Chapter 31 - Ria di hadapan

Seperti biasa bolpoin di tangan kanan dan sebatang rokok di tangan kiri serta segelas kopi hitam di depan meja. Malam ini kuharap kalian memaklumi keinginanku kita lintasi dahulu kisah Dewi dan tumpukan karung beras Pak Haji.

Mari kita berjalan mundur kembali bersama Ria Ariyanti setidaknya belum usai kenangan serta khayalan ku tentangnya. Kalian tahu Ria gadis melayu adalah kekasih yang teramat sulit di lupakan.

Tuangkan seduhan kopimu dan nikmati batangan rokokmu duduk manislah mari mulai membaca denganku.

Hayati makna yang akan tersaji jangan kau melihat kilasan syahwat yang terpampang dalam tulisan. Sikapi dengan baik dan bijak dalam membaca bahwa maksud kami bukan sebenarnya yang kau baca ada kandungan makna di akhir kesimpulan bab akhir yang terakhir.

Bismillah...,

***

Sudut bisu pojok lantai dua bangunan mes pabrik PT Lingga Djaya. Dengan mendung sedikit dingin dan gaun merah jambu yang melekat di tubuhmu selutut agak tinggi di ujung bawah. Dan kucir kuda rambutmu Ria malam itu.

Dalam pangkuanku dan sandaran kepalamu di pundakku bersama gitar biru muda di tanganku berdawai lagu Haji Roma Irama tentang kerinduan mengalun bersama sepoi angin yang di tiupkan dedahanan pohon bambu yang mengitari bagian luar pagar pabrik.

Kau memejamkan mata serasa menghayati tiap syair cinta yang mengalun masuk perlahan lembut membuai telingamu dengan agak berdenting dari suara anting-anting kecil bermata lambang i love you yang ku belikan sebulan yang lalu kekasihku di sebuah toko emas kabupaten pas hari bersua malam minggu.

Lihatlah hari semakin malam Ria dan bintang di langit tak ada sama sekali mungkin mereka malu dengan ku dan denganmu. Saat aku bersila kaki dan bersua kau di pangkuanku dengan berselonjor jenjang kakimu.

Aku memang tak mampu meraih apa pun untuk menyatakan cinta atau menceritakan rindu atau menyelipkan cincin bermata mutiara di jari manismu tapi aku mampu merangkai kata seindah mungkin agar kau merasa tenang bersama gementing petikan jari-jemari ku pada senar gitar yang bergetar seirama not balok atau not minor atau not mayor yang kerangkai menjadi satu syair atau puisi tentangmu.

Dan tatapanmu saat itu penuh makna cinta seakan aku adalah lelaki terakhir yang tercipta hanya untukmu. Setidaknya begitulah terakhir kali kau belajar merayuku andaikah aku dapat membawamu pulang dengan merayu takdir agar menuliskan sebuah kisah Cacak Pendik dan Mbak Ria di langit tujuh sampai abadi hingga surga antah berantah yang di janjikan dalam Al Quran.

Kedip-kedip bulu matamu yang jelas terlihat di bawah dagu dari terpejam matamu. Kan ku jaga kisah ini Ria sampai Tuhan sendiri memutuskan akhirnya saat itu datang jangan menangis sayang sebab kita berencana Allah yang menentukan. Saat itu datang jangan memanggilku untuk kembali sebab aku telah pergi jauh mungkin untuk selamanya.

Yang jelas kunikmati wajahmu di bawah dagu dengan siraman cahaya rembulan hingga bagaikan sinar langit menjadi filter sebagai kosmetik alami dari Gusti pemberi ayu itu sendiri.

Kubelai perlahan pipi tirus wajah ayu dari lekuk gurat senyumanmu walau masih terpejam. Mungkin kau menikmati belaian tangan ku tetaplah terpejam sang dewi malamku aku ingin menikmati indah guratan dagu tirus atau pipi simpul dari lesung pipitnya atau lentik bulu mata panjang alami di atas kelopak.

Dalam hati aku senantiasa berdendang dalam doa. Wahai Allah Tuhanku jaga gadisku setiap malamnya bila suatu saat aku tak ditakdirkan untuknya seperti kekasih-kekasih yang meninggalkanku waktu itu. Dan kirimkanlah satu malaikat di sampingnya saat iya terlelap tolong bisikkan angin rinduku saat itu.

Bahwa aku telah berjalan jauh menuju dunia antah berantah yang di sebut masa depan kelak yang entah pahit atau manis.

Sebab aku tahu kau lah yang menentukan takdir dan menuliskan akhirnya kami berpisah atau tetap bersatu dan kembali lagi setiap malam menikmati malam di pojok lantai dua sudut yang ku rindukan kelak di akhir waktu.

"Mas Pen jangan pergi dari sisiku, jangan tinggalkan kisah kita, aku ingin kau tetap tinggal selamanya di sini di pojok atas lantai dua ini agar aku terus dapat menikmati hangatnya tubuhmu yang menenangkan hatiku."

Terucap dari bibirmu yang hampir basah oleh embun malam yang mulai ada. Ku usap perlahan hingga mata sipit bak gadis daratan cina milikmu terbuka kembali. Dan hanya senyuman kau daratkan di bibir merah merekah nan ranum di sisi bawah hidungmu yang mancung.

Mungkin tiada makhluk yang sempurna tapi aku memuja wajah cantik nan ayu dari setiap sendi parasmu. Serasa tak bosan kuhabiskan pandangan walau setiap hari atau sepanjang malam bertatap.

Ku harap malam begitu panjang bergulir dan tak akan ada siang agar kau terus di pangkuan agar kepalamu dan rambut wangimu terus berada dalam sandaran pundakku semalam suntuk tak berlalu.

Kau terlalu berharga di dalam hidupku dan aku hanya lelaki bejat di sampingmu bagaikan pasangan dalam layar lebar bertajuk gadis cantik dan si buruk rupa. Itulah aku dan kau walau aku tak mampu menyebutku begitu buruk rupa karena itu bisa membuat yang menciptakan wajahku teramat marah sebab dapat menghina ciptaan Nya Yang Kuasa.

Petikan senar gitar terakhir telah berdawai dan lagu tentang kerinduan telah usai malam begitu larut begitu gelap di atas lantai dua sudut pojok depan rumahmu.

Ku bisikkan perlahan di telingamu Bidadariku, "Pulang sayang sudah teramat malam aku takut orang tuamu menjadi marah lalu kau dan aku terpisah untuk selamanya. Sebab restu orang tua adalah restu Illahi. Sebab restu bapakmu adalah restu alam ini dan restu ibumu adalah titah nyata keputusan Allah Taala."

Rengekmu tak mau pergi dari pangkuanku walau ku bujuk rayu tetap saja kau tak ingin pergi bahkan kedua tanganmu melingkar di leherku kau tenggelamkan wajahmu di pundakku kini. Aku hanya pasrah saat kau menggeleng terus menerus seakan tak mau mengakhiri pertemuan dan seakan tak mau pergi walau sekedar untuk jeda dan kembali lagi besok hari.

"Sebentar lagi ya Mas ku mohon?"

Tatap matamu menatapku wajahmu sendu dan ingin menangis sebab aku selalu menggodamu dengan sebuah pernyataan.

"Pulanglah Dinda Ria Ariyanti dan esok hari berdoalah aku tak akan pergi untuk tak kembali di sini. Berdoalah Allah tak lagi memberi resah rasa kesepian di hatiku ini,"

Sebab itu kau tak ingin berlalu sebentar ketika bertemu dan bersua ku dan selalu bagaikan alunan alam yang mendukung kami terus bermesraan di bawah naungannya.

Dan kau bilang, "Mas Pen sebagai penutup malam aku ingin merasakan nikmatnya surga dunia seperti malam itu saat kau menikmati ku pertama kali, aku mohon"