Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 33 - Ups! Patah

Chapter 33 - Ups! Patah

Mereka memaksaku, menyeret tubuhku sampai belakang terminal di tempat yang sangat sepi dan hanya ada kebun tak terpakai di sana bahkan banyak tumpukan sampah teronggok di sana dan kejadian pagi itu memang harus terjadi.

Sudah terasa perih di pinggang mungkin pisau pada tajamnya pucuk sudah menyayat pinggangku. Agak nyeri di pinggang sebelah kanan. Tanganku masih di pegang salah satu preman di satukan ke belakang punggungku layaknya penjahat yang tertangkap polisi.

Aku masih diam saat tubuhku di pepetkan ke tembok membelakangi mereka dan satu dari mereka yang tadi membungkamku mengambil paksa ransel yang aku bawa. Entah bicara apa mereka terdengar berbisik satu sama lain.

Tapi yang aku dengar mereka mencari barang berharga yang ada dalam ranselku. Mengeluarkan semua isi tas hingga habis. Lalu membuangnya ke tempat sampah dan memaki-maki sebab mereka tak menemukan apa yang mereka mau.

"Sial hanya sampah tak ada apa-apanya miskin sekali kau ini anak muda. Cuma membawa baju-baju bekas kau pakai,"

Dan aku masih menghadap pintu dengan senyum nyinyir dengan tangan diselenting ke belakang oleh salah satu dari mereka yang todongkan belati tampaknya sudah menghunjam pinggangku mungkin satu mili meter aku masih dapat melirik basah darah keluar dari sobekan kemejaku.

"Jangan tertawa kau anak muda, sudah mau di ujung kematian masih saja bisa tersenyum mengejek begitu kau,"

Lalu kepalaku di benturkan di tembok agak keras rupanya mataku menjadi agak berkunang. Agak sakit di kening rupanya memar namun tak seberapa benjol ku rasa.

Yang tadi mengobrak-abrik seluruh isi ranselku dan menyepak semuanya ke arah tumpukan sampah. Kini mendekatiku merogoh setiap saku celana dan kemeja dari celana jin dan kemeja yang kupakai.

Dan mereka tak mendapatkan apa yang mereka mau. Semakin kesal iya memukul beberapa kali di iga ku sebelah kiri.

Buk, bak, buk,

"Rasakan, rasakan bogem mentahku ini, mati kau."

Uhukz..., uhuk,

Agak batuk dan sesak di dada ku menerima hantaman pukulan dari kepalan tangan salah satu preman dan satu preman lagi masih memegangi kedua tanganku sambil menancapkan belatinya di pinggang kanan agak dalam kali ini terasa olehku perih di sana mungkin sudah satu sentimeter tertancap itu si belati namun masih dapat ku tahan mungkin sudah terbiasa sejak masa STM dahulu sering aku mendapat luka seperti ini bahkan lebih dari ini.

Kali ini aku di dudukkan dengan berlutut membelakangi mereka dengan paksa. Darah mulai mengucur deras di iga sebelah kanan dan memar di kening serta di iga sebelah kiri bekas hantaman bogem mentah.

Pak, betak,

Sebuah balok kayu terhantam sudah di sudut kanan kepalaku. Kali ini aku mulai goyah dan mata seakan sebentar padam dan kesadaran seakan sebentar hilang tubuh ini akhirnya tak dapat menahan aku tergeletak di rerumputan belakang terminal.

Lalu terbayang kata-kata mutiara dari Sinse Didik saat mengajari ku kala masa STM kelas tiga setahun yang lalu.

"Melawanlah bila sudah tahap akhir kekuatanmu."

Aku masih memikir sela dan kesempatan yang ku miliki sebab tanganku masih di pegangi para preman dan pinggang kanan masih menancap belati masih belum tercabut.

"Kau gila apa? Bisa mati ini anak orang" teriak salah satu preman yang menancapkan belati di pinggang kiriku.

"Biar aku kesal seharian belum mabuk dapat mangsa malah pemuda kere,"

Mereka belum tahu kalau dompet hanpone dan barang berharga lainnya ada di tas kecil di atas kursi bus antar lintas Sumatera rupanya tadi saat turun aku lupa membawanya karena buru-buru ingin membeli kopi sebab rasa kantuk di mataku yang sangat akut sudah semalaman tak kena seduhan kopi hitam.

Pada akhirnya kesempatanku muncul jua setelah belati di cabut dan pegangan tangan sudah di lepas. Mungkin pikir mereka aku sudah mati atau pingsan tak sadarkan diri. Mereka tak tahu kalau itu hanya tak tik mengelabuhi agar mereka melepaskan ku sementara untuk aku mengembalikan serangan pada mereka.

Aku berdiri perlahan lalu ku ambil rokok yang urung di ambil oleh mereka sebab sebungkus rokok yang ku beli berharga relatif murah tentu mereka tak menginginkannya. Mungkin lidah dan mulut mereka terbiasa dengan rokok yang berbiaya cukai mahal.

Ku ambil sebatang lalu menyulutnya di ujung batang menghisabnya perlahan, "Aduh!!," agak perih di pinggang sebelah kiri dan masih basah darah segar terus mengucur. Aku mencoba melepas kemeja lalu mengikatnya di pinggang agak kencang agar darah tak banyak mengalir dan keluar.

"Woi!" teriakku pada mereka yang berjalan beberapa meter menjauh dari ku.

"Loh masih hidup Brow, ini orang apa robot enggak mati loh padahal balik kayu tebal loh yang aku hantamkan kepalanya," teriak salah satu perampok.

"Sudah nanggung habisi saja sekalian!" celetuk preman satunya lagi.

Mereka tampak lari menuju tempat ku berdiri sambil menghisap rokok. Ku tampakkan senyum mengejek agar mereka semakin kesal di buatnya. Dan benar langkah mereka tampak semakin beringas ingin menghajarku.

Saat mereka telah dekat denganku mereka terlalu cepat berlari rupanya hingga tak mengukur kecepatan dan bagaimana cara berhenti ku cepatkan langkah menghindar dari sela tengah mereka. Dan mereka terjatuh sendiri sebab tak mengontrol kecepatan berlari.

"Aduh sial kenapa anak muda ini masih bisa menghindar," ucap salah satu preman.

"Katanya mau mampusin saya bang ayolah sekalian aku juga sudah bosan hidup nih," pancingku agak menyindir agar mereka marah sebab orang yang marah saat bertarung pasti mudah di tebak gerakannya.

Satu preman berdiri dan menyerangku dan benar saja serangannya tak beraturan saat tangannya memukul padaku dengan mudah lengannya bagian luar ku tangkis dan kupegang lalu kutekuk pas di siku arah keluar selayaknya mematahkan ranting pohon kering.

Krek..., "Waduh," sempoyongan si preman menatap tembok sebab dekat antara kami berkelahi dengan tembok belakang terminal.

"Kurang ajar!!" preman yang satunya datang dengan tendangan ke arah pundakku memang aku agak tertunduk karena tendangannya namun dapat ku tahan dan ku angkat kembali tubuhku dan preman itu terbelalak matanya. Mungkin iya tak mengira kalau aku kuat menahan tendangannya.

"Bang pilihlah lawan yang sesuai kenalkan aku pemuda dari Jombang Jawa Timur tempat dimana para jawara Islam Indonesia di tempa mental dan kenalkan aku keponakan Jawara di salah satu kecamatan kota Serang tepatnya di kecamatan Ciruas," ucapku agak berbosa-basi dengan teknik melemahkan mental musuh.

"Siapa-siapa saudaramu namanya yang jawara itu?" tanya si preman yang kakinya masih di pundakku dengan posisi menendang dan ku pegangi.

Lalu sedikit ku pegang di mata kaki dan pergelangannya memutar sedikit memajukannya ke depan agak keras.

"Ups, Patah Bang maaf ya," celetuk ku menampakkan wajah agak kasihan, tetapi sebenarnya tatapan sebuah ejekan.

"Waduh kaki ku patah!!" teriak si preman melepaskan tendangan sambil merintih kesakitan.

"Sudah ya bang dengan begini mungkin beberapa hari abang berdua tidak bisa memalak lagi dan aku dapat pahala sebab menghindarkan beberapa orang bakal mangsa abang, aku pergi ya Bang Assalamualaikum," ku tata kembali barang-barang ku yang mereka lempar ke atas tumpukan sampah memasukkannya kembali ke dalam ransel lalu berjalan menjauh dari mereka.

Sudah agak jauh dan akhirnya tubuh tak dapat di bohongi mataku agak kabur badanku agak lemas sempoyongan seketika semua berubah gelap dan, bruk..., akhirnya aku ambruk jua.

"Loh, loh mas kenapa, tolong, tolong!?" seorang gadis masih muda berteriak di sampingku.