Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 38 - Terpaksa

Chapter 38 - Terpaksa

Malam ini di gudang di balik tumpukan berkarung beras setelah semua pekerja pergi ke tempat peraduan pulang bersua sang bunganya masing-masing. Sebab mereka adalah kumbang atau merpati yang terbang jauh dari sarang untuk mencari makanan bagi sang pasangan.

Malam ini aku menemanimu Dewi yang selalu tersenyum ayu berlesung pipit seakan ingin jatuh aku di pelukan tubuh indah itu. Perlahan namun pasti aku mengikutimu di belakang berjalan seperti apa yang kau suruhkan.

Sore yang tadi kau memintaku menemanimu untuk mengecek berkarung beras yang dibawa truk besar dan di turunkan.

Seperti kisah Saras gudang yang sama, waktu yang sama, tetapi pembedanya adalah Alhamdulillah tiada tragedi di malam ini sebab kau bersama ku dan kita sudah semakin akrab sejak kau merawatku sebulan yang lalu.

Bukannya aku terlalu jahat dengan mengambil keuntungan di kala Bapakmu sakit. Tapi sudah di pasrahkannya kau untuk ku jaga agar tragedi masa silam tak lagi menimpa.

"Mas Pen coba balik yang di sana?" jari lentikmu menunjuk kearah tumpukan karung beras di depanmu yang masih belum tertata rapi.

Ku balik perlahan dengan tenang dan senyum mengembang tentu berpikir malam ini tak cepat berlalu. Terlalu tak rela bersamamu untuk ku akhiri dengan begitu cepatnya.

Kali ini hujan turun tanpa aba-aba bukan gemercik rintik yang datang tapi badai angin dan derasnya hujan menyapa di area terminal.

"Yah Dewi mendung sangat hitam di atas langit mungkin akan agak lama reda," kata ku sambil menengok langit dari luar teras gudang.

"Tak apa kan ada Mas Pen di sini," senyummu bunga malam itu membuat otakku semakin berjalan kemana-mana. Seakan tak ingin berhenti mata ini menelanjangi pandangan dari sebuah penjelajahan atas kepala sampai ujung sendal.

Setelah semua selesai di cek untuk di jual kembali esok hari kau dan aku menunggu hujan di belakang tumpukan karung beras. Sebab di sana letak meja dan kursi singgasana Pak Haji Salam dalam mengontrol jalannya bisnis jual beli beras yang ia geluti.

Hujan tak mau berhenti setelah ku tutup pintu Rolin dor dari dalam kau dan aku melanjutkan berbincang ringan menunggu redanya hujan. Sebab tak mungkin kembali pulang di kala angin bertambah kencang di luar gudang.

"Bagaimana dengan Pak Haji Dek apa tidak apa beliau sendirian di rumah?" ucapku berbosa-basi sejenak.

"Tidak apa-apa Mas Pen, Bapak sudah minum obat paling bangun besok pagi," senyumanmu terus mengembang padaku selayaknya bunga mawar atau melati yang siap di petik di sebuah taman cinta.

Hingga saat itu tiba kala mataku dan matamu hanya memandang. Di saat mulutku dan bibirmu sudah habis kata-kata yang terucap dan hanya kaku di urat leher tak mampu lagi merangkai kata sebab hari semakin malam terlalu dingin terasa.

"Dewi tidurlah kalau mengantuk di kursi panjang itu biar aku yang berjaga," ku katakan dengan otakku yang masih jua waras tak terbesit sekalipun sebuah rencana jahat sebab mereka Dewi dan Pak Haji yang menolongku sebulan yang lalu dari luka dan tikaman para preman.

"Endak Mas aku masih sanggup terjaga kok," jawaban itu membuat aku agak lega, jawaban Dewi walau singkat namun dapat mematahkan sebuah penyakit hati yang selalu menggerogoti keimananku selama ini.

Entah rasa goblok itu kapan tercipta, tetapi aku merasa berlebih dalam hal nafsu semenjak mimpi pertama akan kedewasaan setelah khitan.

Beberapa saat terdiam angin dingin dari hujan lebat tengah malam mulai merambat memasuki sela-sela ventilasi diatas pintu Rolin dor depan. Aku melihat tubuh Dewi yang semakin menggigil hebat tak karuan dan hanya sepatah kata di bibirnya keluar.

"Mas Adek kedinginan."

Begitulah ucapannya dengan tatapan mata pucat pasih dan wajah hampir seperti mayat begitu beku. Aku mencoba tenang dan masih berpikir waras ku lepas jaket yang kupakai untuk di pakaikan pada Dewi.

Tetapi sialnya aku tak memakai kaos atau baju dalam di dalam jaket. Tapi ya sudahlah dingin ini demi Dewi. Ku lepaskan Jaket lalu ku pakaikan pada Dewi agar tak semakin kedinginan terlalu riskan bila kita kedinginan dari kata mati kedinginan.

"Mas enggak pakai baju, jangan Mas nanti Mas masuk angin," getaran bibir Dewi dari kata-katanya akan khawatir denganku tak aku gubris tetap ku lepas jaket dan ku pakaikan pada tubuhnya.

"Tak apa Dek aku sudah biasa kedinginan," dengan senyum ku ucapkan agar ia tetap tenang.

Tapi entah kenapa hujan seakan memberi restu bertambah deraslah ia. Angin semakin kencang jua menerpa. Tubuh Dewi semakin menggigil aku semakin kebingungan di buatnya. Saat Dewi mulai merebahkan tubuhnya perlahan di atas kursi panjang belakang tumpukan karung beras.

"Apa yang harus kulakukan, tak mungkinkan aku membuat api unggun di dalam gudang yang penuh dengan karung beras. Bisa-bisa kebakaran iya bila tetap aku lakukan, tapi kasihan Dewi dia mengigil kedinginan begitu hebat," aku menggerutu sendirian mondar-mandir di samping dewi tertidur telungkup kedinginan.

Dalam hatiku mulai terselip sebuah pikiran semrawut entah setan yang menggelayut atau sebuah cara agar Dewi tak lagi di dera rasa dingin. Sebab kalau ia di biarkan kedinginan seperti ini bisa-bisa mengancam jiwanya.

Terlintas sebuah pikiran yang pernah kubaca di sebuah situs internet. Bahwa jalan satu-satunya apabila seorang teman lawan jenis kedinginan begitu hebat. Untuk menyelamatkannya adalah memberikan gesekan di antara kulit dengan kulit dari lawan jenis itu dapat membuat rasa hangat timbul kembali.

Aku dekati Dewi meraih tangannya yang sudah mulai begitu kaku dan dingin, "Maaf ya Dewi, maaf aku mencoba membuatmu agar tetap hangat," aku mencoba menggosok tangannya dengan tanganku beberapa kali.

Namun Dewi tetap saja dengan posisi menggigil di atas kursi. Dan sejenak ia mendekatkan bibirnya pada telingaku seakan membisikkan sesuatu namun begitu lirih sehingga aku harus mendekatkan telingaku ke arah bibirnya agar terdengar apa yang ia katakan.

"Apa Dewi aku tak mendengarnya?" semakin ku dekatkan lagi telingaku pada bibir Dewi yang terus bergetar perlahan.

"Mas lakukanlah apa yang ada di pikiranmu. Jikalau itu memang satu jalan atau solusi agar Adek tak lagi kedinginan.

Adek tak mau mati muda di sini cepatlah Mas semua sudah semakin gelap di mata Adek," getar bibirnya berkata agar aku melakukan apa yang ada di pikiranku.

Ku rasa ia pun sependapat dengan sebuah cara yang aku pikirkan. Entah benar atau tidak mungkin hanya itu jalan satu-satunya yang terbaik.

Tapi segera kutepis kembali aku tak mau gadis sebaik Dewi harus ku nodai dan menghilangkan mahkota seorang gadis yang selalu ia jaga.

"Tidak, tidak Dek pasti ada cara atau jalan lain agar kau kembali hangat. Karena jalan itu bisa membuatmu hancur di masa depan. Membuat bekas mendalam yang bakal kau ingat selamanya. Dan Mas akan merasa bersalah seumur hidup akan malam ini," ku tolak permintaan Dewi dengan tegas demi memikirkan satu cara lain.

Tetapi Dewi memegang tangan ku dengan erat dengan sisa-sisa tenaganya. Lalu agak setengah bangun ia kembali membisikkan kata-kata di telingaku.

"Aku yang memintanya Mas, aku mohon jangan biarkan Adek menderita lalu mati kedinginan. Pilihlah mana yang akan kau pilih, rasa bersalah dari tak menolong Adek yang mati kedinginan atau rasa bersalah karena melepas mahkota wanita Adek demi Adek tetap hidup."

Kata-kata Dewi semakin membuatku resah dan bingung tak menentu. Pada akhirnya aku mengiyakan permintaan Dewi tanpa pikir panjang sebab tubuhnya semakin melemah, nadinya semakin pelan berdetak dan matanya sudah mulai bergerak-gerak tak menentu.

Aku mulai berpikir alas yang dapat semakin membuat Dewi hangat. Ku tata beberapa karung beras sejajar empat karung memanjang. Dan di sela-sela sisi-sisinya aku taruh beberapa karung tak berisi kusumpalkan agar sama rata.

Mulai kuraih tubuh Dewi dengan cara mengendongnya lalu membaringkannya di tumpukan karung beras yang telah ku tata rapi. Sebenarnya aku tak tega tapi ya sudahlah, mulai ku buka satu persatu busana yang melekat sampai akhirnya peristiwa malam itu terjadi seperti yang kami pikirkan.

Satu-satunya cara agar Dewi kembali hangat hingga subuh menjelang dan Shalawat Tarhim di kumandangkan.