Pagi ke dua kala aku di Jakarta kemarin Pakde Sumadi meninggalkanku pulang menuju kota Serang. Menitipkanku pada keluarga sahabat karib beliau bernama Pak Haji Jen, kami berpisah dengan ribuan petuah yang ku kantongi dengan menghafalnya di otak lalu menyimpannya di hati.
Pagi pertama setelah hari pemberangkatan setelah semalam Pakde menginap tidur bersamaku di salah satu kamar kosan milik Pak Haji Jen. Beliau pergi dan hanya menoleh sekali ke belakang demi memastikan semuanya aman akan kondisiku dan memantapkan langkah.
Aku terpaku di jalan depan rumah Pak Jen melambaikan tangan menatap punggung Pakde menghilang di ujung gang.
Pagi ini Pagi kedua dan aku terasa asing. Aku merasa aku di luar rumah teramat jauh tiada siapa pun aku kenali di atas barisan gedung pencakar langit ibu kota.
Pak Haji Jen bukannya diam begitu saja dia mengerti akan kegelisahanku. Memanggilku untuk duduk bersama dengan dua cangkir teh di atas meja beliau berkata, "Minum teh di pagi hari lebih baik dari pada meminum kopi," dan aku tersenyum melihat hal yang tak biasa aku lakukan dari kepulan asab teh yang membumbung diatas cangkir kecil khas orang kaya berukir di sisinya.
Ibu haji Fatima datang dengan senyum menawarkan sarapan katanya, "Tak usah sungkan anggap kami keluargamu sendiri," dan iya kembali pergi kearah dapur dengan segala aktivitas memasak agenda rutinitas wajib bagi para ibu.
Sebuah dapur yang langsung tersambung dengan ruang tamu hanya bersekat sedikit dinding separuh. Menjadikan area dapur separuh terlihat dan separuh tertutup dinding.
Mataku tak hentinya mencuri pandang akan kerudung warna merah muda milik Lea. Seakan aku jatuh di setiap ayunan ujung kerudung bermanik warna putih keemasan. Ingin hasrat mendekat tapi keberanianku dikalahkan oleh rasa sungkan atau tak enak hati pada Sang Bapak Haji Jen.
Gadis secantik Lea Sarma Fatimah binti Jennaidi sungguh seakan mendekati sempurna dari tarian jemari tangannya saat memegang ulekan di atas cobek penuh dengan bumbu yang telah tergerus halus menjadi sambal. Ku pikir kapan aku memiliki wanita seperti Lea Islami dan patuh orang tua serta jago masak pula.
Ehem, ehem,
Suara dehem Pak Haji Jen menandakan bahwa iya seakan mengerti apa yang ada di otak ini dan yang sedang aku pikirkan dari sebuah curi pandang.
"Ini Nak Pendik, bawalah sobekan kertas yang bertulis namaku dan bertanda tanganku. Dan pergilah ke sebuah kantor cleaning servis di daerah Slipi bernama PT. Fresclindo Cleaning Servis, di sana katakan kalau kau adalah keponakanku. Keponakan dari Pak Haji Jen tentu kau akan langsung di terima tergantung penempatannya nanti terserah mereka."
Uluran tangan Pak Haji Jen dan tatapan matanya membuatku mengerti bahwa apa yang ia katakan harus segera aku lakukan. Tetapi. Ada satu kendala yang terlintas diingatkanku, seakan aku melupakan isi si dompet kulit warna coklat yang sedang beristirahat di saku celana samping kanan hanya ada satu lembar bernilai pecahan lima puluh ribu rupiah tinggal satu-satunya.
Baiklah ku tegaskan dan ku bulatkan di tekat dan semangat untuk berdiri demi melaksanakan perintah Pak Haji Jen agar besok aku bisa langsung bekerja. Untuk makan atau hidup ke depan biar ku pikir nanti kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan.
"Baik Pak saya mohon pamit menuju alamat sesuai yang bapak tuliskan pada kertas ini," dengan gontai dan agak resah akan isi dompet dan tentang pertanyaan makan apa esok hari.
Kulangkahkan kaki menuju sebuah kantor klining servis yang di katakan Pak Jen. Sampai di ujung gang tepat di samping POM bensin Cempaka Putih. Aku yang sejatinya baru pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.
Semakin bingung harus naik apa sehingga aku sampai tujuan pada kantor Fresclindo sedang Jakarta tak seperti rumahku yang hanya mengulurkan tangan dengan simbol kepalan lalu sedikit mengeluarkan ibu jari gaya orang hendak menebeng sudah pasti ada orang berhenti.
Tapi ini ibukota Jakarta di mana manusianya minim akan makhluk sosial. Seperti layaknya lagu dari Sang Raja dangdut roma irama yang berjudul ibukota. Pagar rumahnya tinggi-tinggi dan hidupnya bernafsi-nafsi artinya sendiri-sendiri serta individualisme tak memedulikan orang lain.
Aku mencoba mengayunkan langkah kembali menyusuri trotoar dengan menenteng amplop coklat di tangan kanan berisi seluruh berkas dari surat lamaran kerja lengkap. Terus berjalan sampai ku temui di sebuah pertigaan di mana bus pertama saat aku hendak menuju kota Serang kunaiki.
Duduk sebentar di bawah akar pohon di sisi jalan yang agak besar. Meraih puntung rokok yang tinggal separuh sisa semalam yang kusimpan untuk hari ini. Menyulutnya kembali dengan korek api yang berisi jua tinggal sedikit lagi habis.
Beberapa menit terduduk ada sebuah bus kota tujuan arah terminal kebun jeruk yang dimana salah satu rutenya melewati Slipi. Tentu bus akan menurunkan atau mengangkut penumpang disana.
"Ah baru saja aku menikmati rokok yang tinggal separuh ini. Sudahlah lebih penting masa depanku," gerutuku membuang puntung rokok di atas aspal lalu menginjaknya agar apinya padam.
Ku ayunkan langkah kembali menaiki tangga bagian bawah pintu masuk bus.
Lalu kembali berjubel di dalam bus dan lagi-lagi berdiri tak dapat tempat duduk. Dalam pikiranku terbesit pertanyaan klasik, apakah bus kota di Jakarta selalu penuh dan berdesakan dari dahulu seperti di kisahkan pada film layar lebar tahun delapan puluhan
Sedikit aku menyimak keadaan di dalam bus berbagai macam raut wajah dan tatapan mata memandangku seakan mencurigai atau hanya sekedar kasihan.
Dari aku yang masih begitu polos di kota besar seakan mereka berkata dati tatapan pandangannya, "Ah ini anak mud desa tentu bakal menjadi mangsa empuk para penjahat nantinya."
Tapi tiada kugubris pandangan mereka, kugelayutkan tangan berpegangan pada besi panjang di sisi atas bagian tepi tepat di atas kursi penumpang. Sambil menghibur hati melihat kanan dan kiri indahnya jajaran gedung bertingkat yang serasa membuat udara bersih semakin menipis dan membuat panas semakin menyeruak akibat pantulan kaca-kaca besarnya yang terus menerus memantulkan cahaya sinar ultra violet menusuk-nusuk kulit bagi manusia yang beraktivitas di bawahnya.
Sampai di daerah Slipi setelah aku turun dari bus kota rupanya kantor yang aku tuju berada jauh di dalam perumahan tak jauh dari tempat pemberhentian bus. Sehingga aku harus berjalan kaki demi menghemat sisa lembaran rupiah yang aku punya berjumlah tiga buah dengan pecahan sepuluh ribu rupiah perlembarnya.
Pikirku sayang kalau naik ojek tentu bisa jadi si tukang ojek pasang tarif mahal sebab aku bukan asli orang didaerah sekitar sini.
Setelah bertanya ke sana-kemari akhirnya aku dapatkan sebuah rumah di jajaran perumahan bagian paling belakang. Tampak kecil bila di bandingkan dari rumah-rumah di jajaran paling depan.
Setelah aku utarakan maksud dan tujuanku pada petugas jaga penerima tamu yang berada di depan pintu dengan menunjukkan kertas titipan Pak Haji Jen beliau mengarahkanku pada satu ruangan dimana sudah banyak pemuda seusiaku bahkan lebih muda lagi tengah mengikuti tes masuk kerja atau sekedar interviu.
Tapi aku di arahkan untuk melewati mereka masuk ke dalam sebuah ruangan bersekat kaca kata mereka, "Ini adalah sebuah ruangan khusus bagi para petinggi yang menitipkan para pekerja pemula."
Tentu aku langsung mengerti apa yang mereka bicarakan aku ikuti saja langkah mereka. Memasuki ruangan bersekat pintu kaca dan jendela kaca besar tanpa tralis hanya kaca saja tak dapat di buka. Dilihat dari luar pun apa yang terdapat di dalam tiada kelihatan.
Sampai di dalam beberapa pertanyaan klasik formal di ajukan lalu dengan mudah mereka menyatakan aku lulus. Tapi walau tanpa tembusan aku merasa aku mampu menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan.
Setelah selesai dengan beberapa tes standar sebagai formalitas aku di bolehkan pulang kembali namun dengan membayar sejumlah vii yang mau tak mau menguras isi dompetku sampai habis tersisa uang logam dengan satu buah bernilai pecahan lima ratus rupiah.
Setelah berada di luar perumahan tepat di pemberhentian bus. Aku duduk di atas trotoar memandang panasnya langit Jakarta sambil menggenggam tiga uang logam bernilai seribu lima ratus rupiah sambil berkata dalam hati.
"Ya Allah Tuhanku aku belum sarapan dari pagi, belum jua aku minum jangankan kopi seteguk air putih tak membasahi kerongkongan ini. Lalu aku harus kembali ke rumah Pak Jen menaiki apa uangku hanya tinggal ini. Sedangkan bus kota bertarif sepuluh ribu rupiah kadang sampai dua puluh ribu rupiah, aku bingung Allahku."