Layung lembayung dahan deretan padi yang menguning di sepanjang pematang sawah kami betapa menawan karunia Allah. Ku pandang dengan rasa syukur di lisan atas lidah agak mengecap ke pangkalnya tak lupa lafaz Alhamdulillah tergetar di hati dan sanubari akan nikmat Allah yang di hadiahkan pada keluarga kami.
Aku pagi ini dengan menenteng celurit runcing di pundak, memakai caping topi pak tani serta berbaju atasan kaos berlengan panjang agar tak terkena bagian batang padi yang dapat membuat kulit kita gatal. Dan bagian bawah celana panjang seadanya yang ada di atas sampiran baju sisi dapur tadi pagi ku pakai saja.
Alam tampak bersahabat pagi ini menelurkan alur angin sepoi merambat perlahan memberi hawa sejuk di atas pori kulit ari. Bersama ku beberapa orang tetangga yang di sewa bapak untuk membantu kami memanen pagi hari ini terhitung lima orang tetangga telah memulai aktivitas pagi ini tentang menyemai padi di sawah bapak.
"Asyik ini cuaca sedang cerah-cerahnya, ah indah sekali dunia," gumamku sendiri menatap jauh pegunungan di arah timur.
Sebuah pegunungan yang biasanya ku lalui untuk mencari rezeki, sebuah pegunungan bernama Anjasmara tempat di mana kecamatan terakhir di sisi perbatasan timur kota Jombang berdiri yakni kecamatan Wonosalam. Sebuah kecamatan dimana seribu kisah kejayaan kerajaan Mojopahit berasal dari salah satu hutan di sana.
Sedikit ayunan celurut di tanganku memotong beberapa batang padi lalu kutumpuk menjadi satu ikatan agar mudah nanti saat dibawa di dalam dua buah keranjang yang di pikul oleh bapak dan beberapa lelaki sebayanya yang telah di minta bapak membantu.
Ku tengok sedikit wajah ibu di atas alunan dawai padi bergoyang. Sang Ratu rumahku dia ibuku Amanah tersemai ayu dengan senyuman mengembang menatap luasnya sawah kami yang hendak di semai.
Rasa syukur terpaut jua di raut wajah pancaran keibuan milik beliau. Desir di hati ini bersahut seakan mengikuti alunan angin sawah yang mengayun perlahan bagai jemari anak perawan yang membelai begitu menyentuh menimbulkan rasa bahagia.
Ku tatap sejenak mata bapak, beliau membalas tatapanku sambil mengangguk perlahan. Pertanda begitu memiliki keyakinan dan kemantapan hati akan hari esok sebab sudah ada nikmat anugerah dan hadiah dari Allah.
Akan beras untuk di simpan saat masa sulit di musim pandemi yang begitu menyiksa seluruh manusia di dunia. Dan kami dengan rasa Alhamdulillah telah memastikan amannya stok bahan baku makanan pokok kami yakni beras.
Semalam kami telah berunding akan hal ini kata bapak, "Le bagaimana kalau hasil dati panen nanti separuh kita jual untuk bekal nanti menanam kembali. Separuhnya lagi untuk kita makan di masa sulit kali ini. Sebab pandemi belum jua usai jadi kita harus menyiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi segala kemungkinan di hari ke depannya."
"Terserah Bapak saja, saya sebagai anak menurut saja," ku katakan dengan senyuman dengan anggukan pertanda setuju saja tentang keputusan yang bapak ambil akan hasil panen.
Hari ini tertanggal 21 Juli 2021 suasana pagi di antara jutaan tanaman padi di sepanjang jalur puluhan petak sawah dan ratusan panjang pematang. Kukatakan dengan mantap berucap Bismilah dalam hati, lisan dan getaran dada aku memulai menuai semaian padi atas Rahmad Gusti Allah sang pemilik tanaman padi kami.
Semakin siang semakin terik matahari menyengatkan panas dari cahaya surya yang menerpa diantara sela-sela guntingan padi yang telah tertumpuk rapi di tepian jalan yang kami beri alas terpal warna biru sebelah kanan sungai kecil tempat dimana sumber pengairan sawah kami berasal.
Kami coba bangkit meskipun sulit menatap langit dengan arakan awan putih untuk menorehkan tinta emas akan sebuah sejarah atau sekedar memasang foto dalam album kenangan kelak di tahun-tahun mendatang untuk anak cucu kami.
Mempertahankan apa yang telah dicapai dan terus meningkatkan kualitas iman, takwa serta dunia.
Sudah semakin tengah hari menyemai padi dan petak sawah tinggal satu petak di belakang sungai kecil di barat sawah kami. Sebab letak sawah bapak jauh berada di lain desa jadi kalau kami hendak pergi menuju sawah harus memutar.
Menaiki motor pergi ke selatan arah desa Serapah tetangga desa selatan pas sampai tengah desa Serapah pas perempatan belok kanan lurus satu kilo meter sampai sebuah bangunan SD N 1 Karanglo terlihat pas berdiri di pertigaan jalan desa Mbayeman lalu belok kanan lurus lagi dua kilo meter sampai bertemu pertigaan belakang desa Ngerbo sawah bapak pas di depan pertigaan jalan desa Nggerbo tersebut.
Sebuah truk rakitan hasil karya anak negeri yang bernama petekol telah datang. Yakni sebuah truk lama yang sudah tak terpakai lagi di rombak ulang oleh pemiliknya.
Dimana atap kepala truk di lepas semua di semua sisi kepala jua dicopot. Truk diganti bertenaga diesel sebagai alay penggerak.
Pak Mustam pemilik Petekol telah datang membawa sang Petekol setelah beberapa saat yang lalu ku beri tahu untuk membantu mengangkat tumpukan padi yang telah di ikat di tepi jalan pas pertigaan desa Nggerbo untuk di bawa pulang ke desa Mojokembang.
Sebentar setelah beberapa dari kami membantu Pak Mustam menaikkan padi ke dalam bak belakang Petekol dan telah penuh. Pak Mustam segera berkendara dengan Si Petekol bersama beberapa orang dari kami ikut di bak belakang di atas tumpukan padi.
Aku jua ikut di atas tumpukan padi di bak belakang truk unik hasil karya anak negeri setempat yakni Petekol. Ku telentangkan tubuh sambil menatap langit betapa jauh langit itu seperti khayalanku akan kenangan perjalanan dalam lembar album yang selalu aku pandang berpuluh tahun yang lalu.
Di sana seakan ada senyum-senyum beberapa nama wanita yang pernah ada di sisiku. Apakah aku yang salah telah menikmati malam dan wangi tubuh mereka? Sedangkan itu semua berawal dari kesalahan seorang wanita yang dengan sengaja menikmati ku, mengambil awal kebejatan dari segala kegoblokan yang pernah kubuat pada masa lalu.
Kalau di hadapan Allah tentu memang aku salah telah melakukannya berpuluh kali sehingga terkadang aku lupa nama salah satu dari mereka. Apakah aku dapat di maafkan bila mana hari ini aku ingin hijrah dan benar-benar hijrah.
Ah langit itu terlalu jauh Allah terlalu jauh tapi ada yang ku pahami bahwa sanya Allah itu teramat dekat bahkan lebih dekat dari urat leher.
Sudahlah yang penting aku terus ikhtiar dan terus berbenah tanpa memandang hasil biarlah Allah yang menentukan hasilnya ku pasrahkan saja. Sampai di depan rumah truk bermodel bernama Petekol yang di sopiri Pak Mustam berhenti di tempat kosong depan rumah milik seorang saudara bapak bernama Pakde Liwon.
Sebenarnya tempat itu adalah berupa sebuah fondasi rumah yang urung di teruskan sebab suami dari anak terakhir Pakde Liwon sedang bekerja di Kalimantan nanti apabila pulang akan diteruskan ujar beliau kala itu.
Tumpukan padi yang telah terikat beberapa untaian kami turunkan dari belakang bak Petekol. Setelah semua turun tiada sisa di atas bak belakang. Pak Mustam pamit undur diri seraya kuberi upah dari membantu mengangkut tumpukan padi. Mengulurkan selembar uang kertas bernilai lima puluh ribu.
Setelah Petekol Pak Mustam sudah pergi datanglah Pak Waras dengan mesin perontok padinya setelah aku telepon beberapa saat lalu. Mesin dinyalakan untaian padi di masukkan pada penggilingan mesin memisahkan antara batang dan biji padi.
Biji padi jua dipisahkan lagi secara otomatis antara beras dan menir dan dedak. Dedak itu adalah kulit biji padi yang telah dikupas menjadi beras biasanya dibuat sebagai pakan ternak seperti ayam dan bebek.
Setelah semua tumpukan padi rampung dimasukkan mesin penggiling padi. Beras telah masuk ke dalam beberapa karung beras. Pak Waras jua berpamitan setelah ku ulurkan selembar uang kertas pecahan lima puluh ribu sama seperti Pak Mustam beberapa saat yang lalu.
Lalu beberapa tetangga yang membantu kami jua berpamitan setelah membantuku mengangkat gabah atau beras di dalam karung ke depan rumah. Tak lupa kami memberi upah dari usaha mereka membantu kami dengan jumlah setiap orangnya sejumlah seratus sepuluh ribu rupiah.
Ku pandang dengan berdiri di depan tumpukan karung beras berjumlah enambelas karung beras sekilas aku ingat malam itu bersama Dewi, ah kenapa iya dahulu memaksaku padahal iya yang apabila menakar kadar cinta adalah yang paling banyak tapi apalah daya takdir menentukan membuat aku pergi.
Hahaha, tertawaku saat bapak jua tersenyum di sampingku dengan merangkul pundakku ikut menatap tumpukan karung beras di depan kami. Dan ibu jua ikut tertawa di samping bapak sambil membenahi kerudungnya.
"Alhamdulillah ya Le, Tole (Sebutan anak lelaki di Jawa)," ucap bapak sambil menepuk-nepuk pundakku.
Dan aku menyahut sambil tertawa puas akan usaha dan ikhtiar dari keluarga kami setelah tiga bulan menanam masa padi akhirnya menuai hasil jua.
Nikmat Allah hari ini bagiku adalah sebuah kenikmatan teramat indah sebab aku melihat senyum dari bapak dan ibu yang selama ini tak pernah begitu lepas. Yah begitulah hariku hari ini menikmati apa yang Allah anugerahkan. Hasil dari usaha tanpa mengindahkan hasil.
Dan mari bersamaku malam ini di teras rumah kembali dengan segelas kopi dan sebungkus rokok untuk membuka kembali album hitam kenangan kala hidup dalam perantauan di Jakarta dan masih tentang aku bersama keluarga Pak Haji Jen dan si manis Lea.