Aku menunggumu bapak di bawah pohon cemara hias depan rumah pemberhentian kereta Jakarta Pusat area Senin Raya. Kemarin sebagaimana janjimu yang terucap pada layar ponselku. Namun rasa hati ingin menimbulkan arakan mendung. Mata ini seakan hendak turun hujan. Dada ini semakin bergemuruh petir di setiap sudut ruangannya.
Aku menatap sudut pintu bertuliskan eksit dalam bahasa inggris dan dalam bahasa ibu disebut keluar. Banyak yang datang dan pergi melewati sekotak pintu kaca itu, tapi kau tak kunjung datang bapak dan hari semakin sore bapak seharusnya pagi tadi bapak sudah dayang menyapaku dari balik pintu kereta gaya baru malam.
Tapi maaf bapak aku harus bekerja seharian dan kau tak terbayangkan olehku menantikan anak lelaki pertama kesayanganmu ini lontang-lantung sendirian di depan atap rumah pemberhentian kereta api sebut saja setasiun.
Tentu kau serasa ingin menangis atau jengkel atau bosan aku tahu rasanya menunggu bapak. Dan maaf aku tak bisa berbuat apa-apa rasa hati seakan mengambang bapakku sayang.
Ku beranikan tekat sore ini menjelang magrib untuk mencarimu di sepanjang jalur setasiun pasar senin. Berjalan sambil berlalu mengitarinya dan terus memandang ke sana-kemari apabila ada tubuhmu sedang lelah menantiku di satu tempat mungkin duduk atau berjongkok sebab terlalu lelah menunggu.
Maaf bapak semakin sulit kau menemuiku mungkin hampir menyerah sebab kemarin ponselku raib entah kemana. Tertinggal saat aku bekerja di sebuah kamar mandi tamu setelah berulang kali kutanyakan pada satu rekan kerja mereka hanya bergeleng kepala. Dan hari ini kau tak dapat menemukanku.
Aku lelah berkeliling tiga putaran menyusuri area setasiun dan terminal tapi aku tekankan dalam otak tentu kau lebih lelah setelah dari pagi hingga hampir magrib mencari.
Mungkin jua sudah ada gelayutan rasa putus asa di matamu yang semakin berair mengusapnya perlahan dari kacamata baca yang kau pakai. Bahkan membayangkannya aku bisa menangis tak henti bapak maafkan aku, bapak maafkan aku.
Setelah beberapa kali aku mencari dan dimanakah engkau. Gelap semakin datang menyapu setiap sekat segi setasiun dan terminal aku tak menemukanmu dan kau tak menemukanku. Ku dongakkan kepala dan seraya mengepulkan asap rokok pemberian teman sekerja tadi saat hendak bersama pulang hanya sebatang.
Ku sandarkan tubuhku di satu sisi pasar senin sekiranya aku menghayati takbir magrib yang datang menyapa berkumandang. Sejenak menghormati panggilan seruan sujud pada sang Illahi. Tapi bapakku belum jua ku temui dimanakah dia berjalan dengan kakinya yang semakin tua itu. Aku semakin ingin menangis meratapi kegoblokanku seharusnya aku pulang saja ke kampung halaman.
Menyemai padi atau mencangkul di sawah bersama bapak. Seharusnya aku tak menerima tawaran Pakde Sumadi untuk pergi menapaki Ibukota Jakarta. Sehingga hari ini aku anak yang begitu tega menyuruh sang bapaknya.
Pergi menitih kereta dengan uang saku tentu tak murah jua, mungkin bapakku harus kembali menghutang sana dan sini agar sampai Jakarta. Atau ia harus puasa dalam kereta mencukupkan uang untuk sekedar senyumanku, untuk sekedar kebahagiaan anaknya. Bapak maafkan anakmu, maafkan ke tidak becusanku dan selalu menyusahkanmu.
Bahkan surau di ujung jalan sudah hilang para jamaah sudah pulang kembali kosong untuk terisi kembali nanti saat datang waktu isak kembali di kumandangkan.
Kau jua tak kutemukan mungkin kau jua sama denganku air matamu mungkin lebih tertumpah daripada air mataku. Rasa patah semangatmu mungkin melebihi keputusasaan dibenakmu
Mungkin bila kau dapat berteriak dalam keramaian kau akan berteriak dan terus memanggil namaku terus menerus dan terus menangis. Agar aku mendengarnya dan berteriak lagi dan lagi, "Pendik, Pendik dimana kau Nak, ini Bapak Nak datang seperti perintahmu."
Tapi apa daya teriakan itu hanya terucap dalam hati dan kau terus mencari di dalam gelap tak pernah putus asa dan terus berkeyakinan pasti dapat menemukanku anakmu.
Tepat waktu kumandang muazin melantunkan merdu suara azan di atas pengeras suara masjid istiklal yang sungguh sangat merdu di telingaku. Sambil menghayati keindahan lantunan lafaz seruan akan lima fardu.
Aku menatap sebuah mata yang tak asing, tubuh yang tak asing, tangan yang tak asing, langkah kaki yang ku kenal. Dia yang ku kenal saat menimangku lembut kala bayi. Dia aku kenal karena dia yang memberiku makan dengan seluruh perjuangan hidup dan mati.
Ya aku menatapnya begitu terpukul dia menangis di tepian pojok pasar senin menatap kosong jalan enam cabang sebelah timur pasar senin. Merundung sedih matanya berair dan terus jatuh di sudut gelap. Sendiri sambil mulut tuanya yang semakin menghitam bergumam.
"Pendik, Bapak datang Nak seperti pintamu aku membawakan ijazah SD yang kau minta Nak. Kau dimana Nak Bapak sudah lelah mencarimu."
Dan aku hanya berdiri di sampingmu melihatmu duduk sambil merunduk sesekali melihat sebuah amplop coklat berisi ijazah SD seperti permintaanku. Berkali kali kau mengusap serta menyeka air matamu dengan lengan baju kemeja batik warna coklat yang kau pakai tanpa menyadari bahwa aku sudah berdiri di sampingmu.
Tapi aku tak kuasa memanggilmu seperti biasanya dengan kata Bapak. Tapi aku sudah tak punya kekuatan untuk memanggilmu Bapak seperti kala kita bersama di bawah teras rumah kita hanya untuk sekedar bercakap-cakap ringan kadang tertawa.
Lihatlah bajumu sudah penuh bau keringat dan sangat lusuh. Topi yang biasa kau pakai kau letakkan begitu saja di pangkuanmu tak kau pakai. Berapa kali sudah kau mengecek isi hanpone berharap ada satu sms masuk dariku anakmu untuk sekedar memberitahu tempat dimana aku.
Dan aku hanya terpaku melihatmu terus menangis dengan getaran bibir beku. Bergetar lirih terus mengucap namaku, memanggil-manggil namaku perlahan dan terus memanggilnya. Lihatlah pak matamu semakin lebam terlalu banyak air tertumpah dari pupilnya.
Dan aku berdiri mematung saja bibirku seakan terkunci tak mau bergerak. Tanganku ingin menepuk pundakmu tapi tak dapat aku menggerakkannya. Kaki ini seharusnya melangkah ikut duduk di sampingmu tapi urung kulakukan serasa kaku mematung di tempat dan diam bagaikan sebuah patung gapura dari masa-kemasa tak bergerak tetap.
Pada akhirnya dengan sekuat tenaga aku berlari menjauh demi segelas kopi untukku dan untukmu dari uang saku yang di berikan oleh Pak Haji Jen tadi pagi. Dengan mata dan kebaikan beliau dan rasa berterima kasih di mataku.
Ku bawa dua gelas kopi dari membeli pada pedagang asongan. Kopi hitam kesukaanmu dan kesukaanku Pak dengan gula sedikit agak pahit. Saat aku melangkah kembali ke tempat pojok pasar senin kau sudah berdiri di depanku menatapku.
Kau menghamburkan pelukan kerinduan penuh air mata. Sampai-sampai dua gelas kopi dari gelas plastik kecil selayaknya air mineral dalam gelas plastik kecil hampir tertumpah.
"Ya Allah Pendik, ini Bapak Pendik, kamu kemana saja Nak katanya janji menemui Bapak di depan setasiun Bapak menunggumu dari tadi Nak. Kamu mencari Bapak ya maaf ya Nak, Bapak mencari angin sebentar, Maaf Bapak menghawatirkanmu ya Nak,"
Begitulah Bapak walau aku yang bersalah tetap beliau yang meminta maaf agar aku tak merasa bersalah.
Begitulah bapakku saat kulurkan segelas kopi dan hanya iya taruh di sampingnya. Beliau terus bertanya sedangkan aku terus tersenyum kepadanya dengan berkata dalam hati tapi tak mampu mengecap di lidah.
"Maafkan aku Bapak,"