Aku hanya melihatmu sekejap saat kau dan aku berpapasan kala fajar timur menguap bahkan sebelum itu kita bertatap muka lalu lewat begitu saja. Aku hanya memandangmu dari wajah kebekuan nan dingin bagai bongkahan es kutub selatan begitu dingin dan begitu dingin.
Mungkin bukan kali ini aku menemui kupu-kupu bermata kosong. Namun kali ini berbeda sungguh mataku hanya memperhatikan ia berjalan saat menaiki tangga dengan begitu lelah dan mata lelah dan wajah lelahnya setelah sore bersua semarai dan beduk magrib hampir menyapa dengan tetabuh merdu di ujung menera masjid terbesar di alam Jakarta.
Sudah sebulan sudah aku meninggalkan pintu rumah Pak Haji Jen di gang empat tanah tinggi. Dan sejak saat itu Kak Lea tak pernah lagi ku lihat.
Mungkin ia kembali pada cinta lamanya sesuai kata atau kalimat curhat yang selalu ia dengungkan setiap tengah malam. Atau mungkin iya sudah melupakan sosok Dek Pen dan menemukan sebuah kumbang jantan nan kekar nan rupawan lainnya sehingga janji itu tak terealisasi.
Sebuah janji setelah malam minggu aku melangkah keluar pintu rumahnya dan iya berupaya mencegah dengan segala cara lalu lupa akan pernyataan malam minggu setelahnya untuk menyerahkan sebuah kenikmatan semu atau sekedar bertukar air liur semata.
Tapi ya sudahlah itu lebih baik untukku dan untuknya agar tak terjadi luka pada satu sisi di kemudian hari. Yang terkenang menyayat dan sebagai sandungan kerikil pada jalanan hari kemudian yang disebut alam masa depan.
Dan sebulan setelahnya yakni hari ini sebuah bunga terlalu matang menarik mataku, menarik hasrat dan kalbu serta jiwaku. Tetapi bunga ini terasa teramat layu dari penampakan wajahnya aku tahu bahwa luka itu sudah terlalu dalam jua untuk di hapuskan.
Kadang aku terlalu lama hanya untuk memandangnya tetapi ia hanya berlalu di depanku tanpa menoleh walau hanya sekedar untuk tersenyum sebentar saja walau untuk menyunggingkan bibir sekejap dia enggan.
Namanya Mbak Moza Mustafa janda cantik dari kota Lamongan kota dimana surganya ikan air tawar bergelimangan di sana. Hari ini aku tinggal bersama seorang teman dan satu tempat pekerjaan di PT Fresclindo.
Namanya Sukanta pemuda dari kota Rangkas Bitung yang sangat pemberani. Bahkan terkadang kami berdua menantang kerasnya dunia jalanan kala malam di antara jalanan terminal hanya untuk sebatang rokok.
Suatu hari dari kata iseng kami melakukan hal gila dari pikiran tidak waras dengan cara mengintip. Setiap Mbak Moza selesai mandi lantaran kamar kosan kami di lantai dua dan kamar Mbak Moza pas di samping barat kamar kami.
Sebuah kamar kosan tiga kali empat meter hanya bersekat dinding triplek tiga centimeter saja. Suatu sore saat Mbak Moza usai mandi dan datang dari bawah tangga memakai handuk saja dibuat kembeng untuk menutupi pelekuk tubuhnya. Sebab kamar mandi hanya ada di bawah sedang kamar kosan ada tiga lantai.
Aku dan Sukanta mulai menebar siasat pikiran jahat atas sebuah garbu ditangan kami lalu melubangi dinding sekat triplek tiga centimeter antara kamarku dan kamar Mbak Moza. Kami melubangi dengan hati-hati dan hanya dua lubang pas mata.
Lalu menikmati suguhan keindahan yang dimiliki oleh pesona tubuh Mbak Moza sekujur dari ubun-ubun hingga ujung kuku kaki. Lalu begitulah terus-menerus setiap pagi datang sebelum Mbak Moza berangkat kerja setelah iya mandi. Atau setelah iya pulang kerja selepas ia mandi sebelum magrib.
Kebiasaan yang konyol yang sebenarnya sangat bodoh untuk sekedar disimpan sebagai kenangan dan disimpan sebagai arsip sebuah album masa lalu. Tetapi ya sudahlah semua sudah tersimpan lembar demi lembar rapi dalam laci sanubari.
Sampai pada akhirnya suatu pagi buta saat aku terlalu lelah bekerja. Kala itu ceritanya pulanglah aku terlalu pagi sudah, mata sudah bagaikan lampu kecil di suatu gang yang terlihat dari jarak amat jauh dah hanya kelip yang bercahaya begitu redup sebab terlalu lelahnya mataku.
Melihat kasur walau hanya setipis tikar ala lantai bagiku bagaikan kasur busa mewah di perumahan elite.
"Ah sudahlah aku ingin tidur," gerutuku bergetar antara gigi atas dan bawah.
Mata perlahan terpejam dan setiap sendi tulang aku rebahkan.
Tubuh ini sudahlah letih ingin segera beristirahat sejenak dan jam dinding kecil yang aku beli jua berfungsi sebagai jam beker teronggok begitu saja di meja kecil atas kasur. Di dalam gambar muka dan detak jarum menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
Aku ingin tertidur walau sejenak saja, sebab pukul setengah enam pagi aku harus pergi bekerja lagi.
"Aj sialnya Jakarta yang ada diotakku hanya kerja, kerja dan bekerja."
Tiba-tiba suara pintu terbanting keras menyeruak, menggetarkan telingaku. Membuat aku yang sudah sempat satu lelapan sejenak tersadar dengan begitu tersentak. Seakan nyawa yang baru saja keluar hendak ingin berjalan ke dalam alam mimpi harus kembali lagi pada tubuh yang sudah begitu payah.
Bruak..., Brak...,
"Mas yang salah aku bekerja untuk anak kita di kampung. Tapi kau datang hanya untuk meminta uang dan tabunganku untuk minum-minum dan berjudi," terdengar sayup-sayup suara Mbak Moza sedang bertengkar tapi entah dengan siapa aku tak tahu dan dalam pikiranku. Ah masa bodoh aku sudah terlalu lelah sudah biar jadi masalahnya sendiri.
Lalu terdengar suara lelaki marah-marah berteriak sambil terus menggebrak-gebrak pintu, "Sudahlah kalau aku minta kasih saja jadi istri kau harus nurut sama suami. Jangan membantah saja kerjamu, mengomel saja dasar wanita malam,"
Dan aku masih saja masa Bodoh tidur saja bukan masalahku lebih baik aku tidur.
Biarlah mau mereka robohkan kosan mana aku peduli. Ucapku dalam otak yang menggema di atas ubun. Sudah jadi tabiat jelekku tak pernah mau mengurusi atau ikut campur urusan orang. Buang-buang energi percuma tak berguna pikirku.
Tetapi saat aku terdengar kembali suara Mbak Moza seperti dipukuli dan keras suara jeritannya aku jadi tidak tahan mendengarnya. Ku raih jam beker di atas meja dan satu lemparWus, melayang lah jam beker terus lurus hingga pada akhirnya mendarat tepat sasaran pas di pelipis mata sang lelaki yang bertengkar dengan Mbak Moza dan memukulinya
"Aduh! Kurang ajar siapa yang melempar jam beker ini arahku?" teriak Si Lelaki dengan mata marah dan beringas menengok kamarku yang kebetulan dan memang pas di samping kamar Mbak Moza.
"Loh kamar sebelah ini kosong lalu siapa yang lempar ini jam beker. Woi keluar kau pengecut. Jangan beraninya dari jauh saja sini mendekat kita selesaikan secara jantan," kembali teriakan si lelaki itu membuat beberapa penghuni pintu kosan lain keluar tetapi tak ada yang berani mendekat.
Namun iya tak sadat kalau aku sudah bersandar di samping jendela di belakang ia berdiri pas sambil menyulut sebatang rokok dengan sebuah pematik bernama benzol. Lalu mengecapnya perlahan, menghirup asab sebentar mengeluarkannya sedikit demi sedikit dari hidung dan sela-sela karang gigi.
"Woi Mas Brow, Cari siapa, jangan lah kau berteriak begitu. Penghuni disini semuanya adalah pekerja dimana sopan santunmu dan adab ketimuranmu. Tak tahu malu membuat gaduh saja. Kasihan lihat mereka semua masih lelah dan mengantuk, jam berapa ini heh?" ucapku tanpa.
memandangnya hanya kembali mengorek sebatang rokok yang kembali mati tertiup angin.
"Kau siapa ikut campur saja urusan orang mau ku pukul kau heh," ancam si lelaki yang berbadan tegap lebih tinggi dari ku dan sanggatlah atletis.
Tentu berbeda jauh denganku yang tinggi tak sampai 160 centimeter dan berbadan tak kurus dan tak gemuk pas lah ukuran ideal. Tetapi dengan kulit sawo langsap dan rambut gondrong sebahu dengan model potong segi tahun sembilan puluhan agaknya menjadi satu pengaruh anggapan orang bahwa aku adalah seorang anak jalanan.
"Sudah jangan banyak bertingkah terima ini!!" teriak Sang lelaki yang mengaku suami Mbak Moza melayangkan pukulan ke arah wajahku.
Dan aku hanya berjalan sambil menghindari pukulannya dengan cepat kutusukkan beberapa titik di beberapa bagian tubuhnya dengan mengarahkan dua jari tangan yang ku acungkan. Yakni jari telunjuk dan jari tengah yang ku acungkan berdempetan.
Lalu ia roboh begitu saja tak sadarkan diri terkapar di lantai kamar kosan di lantai dua pas depan tangga kayu pas depan pintu kamar kesanku.
Saat pas aku di depan Mbak Moza yang begitu terkejut dengan gerakanku yang hanya satu kali serang dapat merobohkan pria berbadan kekar, besar setinggi 173 meter. Tanpa berkedip memandangku Mbak Moza tak bisa lagi berkata-kata saking terheran-herannya.
"Mbak aku tahu dia suamimu jadi urus dia aku mau tidur. Dan satu lagi kalau setengah jam lagi dia sudah sadar buatkan teh hangat sudah pasti di bagian pinggang akan terasa nyeri amat sangat sebab titik ginjalnya aku tusuk dan aliran darahnya ku hentikan. Oh ya sebelumnya titip pesan sama suamimu jangan sampai iya terlihat olehku lagi."
Setelah itu ku rebahkan kembali tubuh ini diatas kasur tipis bernama kasur lantai dan mulai terlelap sejenak untuk bangun kembali di jam setengah enam untuk kembali bekerja.
Sayup-sayup ku dengar gerutu para tetangga kosan, "Eh dia anak Jombang itu ya, pantas berasal dari Jombang kan sakti-sakti orangnya ya. Masak orang sebesar itu di lewati saja langsung roboh dan pingsan,"