Ayunan langkah kaki bersepatu agak berlari-lari kecil menapaki trotoar jalanan Senin Jakarta Pusat. Aku terus berlari walau perlahan dengan pasti. Ku basuh wajah dati sinar matahari menampakkan keseriusan di raut wajahku. Sebab pagi ini awal aki masuk kerja.
Kemarin setelah aku memutuskan untuk menggunakan jasa mamang ojek agar sampai di rumah Pak Haji Jen setelah dari Slipi kantor Fresclindo.
Dan aku begitu terenyuh akan ibu Fatimah yang sudi memberi pinjaman sejumlah uang sesuai harga ojek senilai dua puluh lima ribu rupiah. Dan sungguh aku sangat beruntung bertemu keluarga besar Pak Haji Jen yang bersedia memberiku makan dahulu dalam waktu sebulan selama aku belum mendapatkan gaji.
Terus ku langkahkan kaki dengan mantap susuri tepi jalan di atas trotoar sepanjang Tanah Tinggi menuju pusat keramaian segitiga perdagangan di daerah Senen yakni segitiga atrium. Disana aku di tempatkan oleh petinggi PT Fresclindo katanya agar dekat dengan rumah Pak Haji Jen.
Kemarin aku begitu terharu akan sikap Pak Haji Jen beliau berkata, " Pen sebelum kamu mendapat gaji sendiri bulan depan jangan sungkan makanlah di sini. Anggap saja kami seperti keluargamu sendiri,"
Disambung dengan senyuman ibu Fatimah dan si manis Lea yang begitu membuat aku seakan betah di rumah Pak Haji Jen.
Setelah Fajar menyingsing terus ku tapakkan kaki setapak demi setapak lari. Terkadang agak meloncat begitu riang hati ini di terpa udara pagi Jakarta walau masih terasa pengap oleh sesaknya asab knalpot dari lalu-lalang kendaraan bermotor yang sudah mulai menjamur.
Melintasi jalanan kota. Tapi tak apalah yang penting hari ini hari pertama aku kerja semangat masa depan, teriakku dalam hati menggebu-gebu.
Tetapi ada satu hal dari pernyataan salah satu petinggi di kantor PT Fresclindo kemarin. Sebuah pernyataan yang menghentikan ayunan kakiku untuk melanjutkan langkah dalam riangnya berlari menuju Atrium.
Sejenak aku terhenti lalu duduk di sebuah pot bunga panjang di tepian trotoar. Sebentar aku terpikir akan kata-kata dari seorang petinggi Fresclindo, "Mas nanti salah satu persaratan untuk mengambil gaji satu bulan mas diharuskan menitipkan satu ijazah dari tingkatan apa pun sebagai jaminan kami kalau-kalau Mas Pendik benar-benar ingin bekerja. Dan bukan apa-apa yang sudah-sudah ada yang seminggu bekerja lalu keluar."
Pernyataan tersebut membuat mataku menatap kosong ubin trotoar namun pikiran terus semrawut bak benang kusut. Memikirkan bagaimana aku bisa menyerahkan jaminan ijazah sedangkan semua ijazahku berada di kampung halaman.
Kenapa pagi terasa amat panas, apa memang panas ditubuhku sebab pemikiranku yang sedang bingung. Dan aku lakukan satu jurus ampuh untuk menghilangkan kebingungan. Sebuah cara menghilangkan kebingungan dan seteres.
Ku lihat detak detikan jam di layar hanpone masih kurang setengah jam lagi. Ah biarlah aku duduk sebentar di sini di tepian jalan bawah pohon di samping rel kereta sebelah selatan pas terminal Senin.
Kuraih satu batang rokok yang aku beli di depan gang saat keluar dari rumah Pak Haji Jun pada pedagang asongan samping plakat penanda gang.
Bagaimana ya sebaiknya? Timbul sebuah pertanyaan membuat otak kusut muka semrawut agak jengkel aku. Kenapa setelah ada sebuah jalan untuk bekerja malah ada sebuah rintangan yang dimana rintangan itu sangat sulit untuk ku lewati.
Satu, dua hisapan rokok membumbung tinggilah asapnya menembus udara pengap Jakarta. Di seberang jalan sebentar aku tengok beberapa orang bercanda di dalam mobil mewah. Ah enak mereka orang kaya tak harus susah memikirkan ini itu. Apabila inginkan sesuatu tinggal beli.
Ku lirik sejenak beberapa pegawai bank bertampang elegan, rapi berparas menawan. Ah enak kalian para pegawai bank dari sananya memang sudah bagus bentuk wajahmu. Dan aku mana bisa aku memilih wajah saat aku lahir dengan wajah yang pas-pasan yah apa yang banyak aku raih, tak banyak yang aku dapatkan.
Ku seka keringat di dahi yang mulai mengucur basahi mata membuat perih di kelopaknya. Sejenak kuseka dengan jemari. Ya Alllah beri aku jalan seharusnya aku bagaimana, aku sudah tak mampu berkutik lagi. Hendak pulang ke kota Jombang sudah tiada uang lagi, masak ya, iya aku berjalan kaki dari seribu kilometer lebih Jakarta menuju Jombang.
Ku coba menghibur hati memandang gedung-gedung bertingkat. Serasa aku seperti kecil dan sendirian di kota sebesar Jakarta, huftz..., sejenak ku hela nafas panjang agak panjang bahkan terlalu panjang kali ini.
Klunting,
Tiba-tiba suara dari nada dering penerima sms dari hanpone ku berbunyi beberapa kali. Ku raih hanpone yang sedari tadi ku taruh pada saku celana bahan warna hitam. Ku buka layar dengan menekan tombol di bagian atasnya.
Terpampang sebuah nama yang selalu memberi solusi dan petuah segala rumusan hidup dan selalu mendampingiku di setiap suka dan duka. Notifikasi sms dari bapak terlihat pada layar hanpone ku buka seketika dan kubaca.
"Nak bagaimana kabarmu, kenapa lama tiada kabarmu, bapak Rindu?" begitulah kata-kata dalam sms yang dikirim oleh bapak di kampung halaman.
Langsung saja pikiranku bergelayut dengan sebuah pertanyaan apa aku tega menyuruh bapak jauh-jauh ke Jakarta dari Jombang hanya untuk menemuiku agar membawakan ijazah SD untuk jaminan kerja? Tetapi tak ada pilihan lain selain bilang pada bapak seperti itu walau teramat berat berkata akhirnya tangan ini mulai mengetik jua.
"Pak aku sedang kesulitan, Alhamdulillahnya aku sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan dimana tender kerjanya yang berada di Mal Atrium di bawah awasan Pak Haji Jen salah satu teman Pakde Sumadi yang memberiku kerja," begitulah aku mengetik pada tombol-tombol di bawah layar hanpone ku.
Klunting,
Terdengar kembali nada balasan sms dari bapak, "Alhamdulillah kalau sudah bekerja lagi bapak sempat berpikir kamu mau pulang. Sekarang kamu dimana dan masalahnya apa Nak. Sebagai bapak pasti bapak bantu walau bapak harus menyusulmu di situ," kata-kata dari sms balasan bapak tiba-tiba melelehkan air mataku begitu saja mengalir menetes satu tetes, menggelincir dari muara mata menuju pipi.
Kuseka air mataku dan kembali mengetik untuk membalas sms bapak, "Pak kalau ingin mengambil gaji bulan depan aku harus memberikan jaminan ijazah ditaruh dikantor untuk diambil dalam masa kerja tiga bulan kemudian," begitulah balasanku yang langsung terkirim ke kampung halaman lewat layar hanpone ku.
Sambil ku berharap bapak membalasnya dengan nada pasti untuk menyuruhku pulang saja itu harapanku. Sebab aki sangat tak tega untuk menyuruh bapak membawakan ijazah pergi ke Jakarta memberikannya padaku dan pulang kembali.
Klunting,
Dan bapak kembali membalas langsing secara refleks otomatis ku buka pesan sms dari bapak betapa aku semakin ingin menangis membaca balasan sms dari beliau, "Nak tenang saja jangan kau pikirkan besok bapak akan pergi menyusulmu ke Jakarta untuk memberikan ijazah SD pada Mu sebagai jaminan bekerja. Sudah ya jangan kau bersedih hati lusa temui bapak di depan setasiun Senin ya Nak."
Akhirnya rasa tegarnya karang yang tegap di mata jatuh jua melelehkan air mata beberapa tetes kembali. Akhirnya rasa lemah dari pemuda tegar setegar gunung Himalaya ini runtuh juga melinangkan air mata beberapa tetes.
Ku tundukkan kepalaku seakan tak mampu menahan tangis agak lebih lama. Ku usap kembali bening jatuhnya air mata dengan ujung jaket yang ku pakai untuk melapisi seragam biru berlabel Fresclindo di baliknya.
Kembali berdiri seraya membuang puntung rokok yang telah habis di aspal. Lalu melanjutkan langkah dari berlari menuju Mal Atrium tempatku bekerja hari ini.
Menatap langit sambil berdoa pada Sang pemilik langit, Allah sehatkan bapakku selalu, selalu. Agaknya masih menetes jua air mataku namun perlahan hilang tersapu panas matahari saat ku bawa berlari.