Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 42 - Mimpi

Chapter 42 - Mimpi

Jari telunjuk tangan kanan ku acungkan ke atas langit. Sambil duduk berjongkok ku pejamkan mata di altar gurun gersang yang penuh dengan angin badai antah berantah. Kali ini sedikit rasa genderang perang ku suguhkan.

Dari atap langit berkilatan cahaya merah darah hanya terang benderang di sini tak ada petang. Namun debu dan pasir selalu terbang menyapu tak beraturan selalu ada setiap menit maupun detik. Sepanjang mata memandang hanya gundukan pasir tiada penghalang.

Telunjuk ku turunkan perlahan membuat simbol kepalan. Membuat kode dari beratus armada jin Islam berjajar lurus rapi di belakangku duduk berjongkok. Mereka sanggatlah fokus menatap ke depan arah jauh menunggu perintah serangan dari ku sambil terus mengamati keadaan serta kondisi altar yang sama di depan kami agak jauh dan tertutup debu yang pekat dari sebuah badai gurun.

Dari atas jatayu terus berputar-putar sambil berkoar memekik telinga mengawasi jajaran prajurit jin Islam yang berseragam lengkap dengan menenteng pedang sabit di tangan kanan.

Genderang tabuh beduk tanda akan segera di mulainya perang telah berbunyi dari kedua belah pihak. Dan serempak dari kami dengan komando tangan terbuka ke atas langit untuk bersiap siaga.

Angin masih tampak kencang dan debu masih terus berterbangan. Panas dari cahaya langit tanpa matahari masih terus menyengat. Tabuhan genderang perang bertambah kencang dari pihak musuh pertanda mereka semakin mendekat.

Lengan dan tangan yang tadinya ku angkat ke atas langit dengan telapak terbuka ku turunkan perlahan. Sebagai aba-aba agar tetap tenang tak terburu-buru demi mengamati sejenak kekuatan armada musuh yang mendekat.

Sesosok harimau putih bergaris hitam sebesar kerbau jantan mendekat maju ke arahku lalu mengubah dirinya menjadi sosok resi berjubah putih-putih dan bersorban putih, berjanggut putih dan bertongkat putih selayaknya seorang tokoh penyihir putih dalam serial Lord Of The ring.

"Mas sudah siapkah kau untuk hari ini," dia lah sang maung Bodas dari tanah Pasundan yang datang saat Pakde Sumadi telah pergi meninggalkan dunia. Gugur dalam sebuah peperangan gaib seperti hari ini yang sedang ku hadapi. Pakde Sumadi beliau adalah seorang panglima tangguh dari tanah para jawara.

Gedebuk, gedebuk, gedebuk,

Suara-suara langkah kaki seakan begitu banyak berlari bersama menuju arah kami dari depan. Mataku sejenak melirik pada barisan rapi yang berjajar memanjang ke belakang dari ratusan deretan yang di depan. Lalu ku tatap Maung Bodas dengan mantap ku mengangguk menampakkan mimik wajah begitu serius.

Sejenak ku rubah posisi duduk berjongkok menjadi berdiri agak condong ke belakang sambil meraih sebungkus rokok di saku celana sebelah kanan lalu meraih korek api di saku sebelah kiri.

Kuambil sebatang dari sebungkus menempelkannya pada bibir yang mulai menghitam ini. Memetik korek api di bagian pengait, cetek, bruwk, api kecil dari korek api menyala agak ku halangi angin yang menerpanya dengan membuat telungkup tangan di depan api agar tak padam.

Fuhz..., asab dari hisapan rokok akhirnya keluar dari mulut dan hidung menuju langit buta tanpa warna hanya putih yang semula merah darah kini berangsur bersih.

"Langit berubah Putih Panglima pertanda baik untuk perang kali ini," ulas Maung Bodas yang sedari tadi berdiri di sampingku.

"Kau siap Ki Maung?" tanyaku agak menjurus ke uluh sambil menyalakan kembali rokok yang baru saja mati tertiup angin.

"Selalu siap menunggu perintahmu Panglima langit," tegas oleh Ki Maung Bodas dengan sorot mata yang tajam pertanda keyakinan penuh dalam tekad.

"Jatayu...!" teriakku pada burung besar berwarna emas sejenis garuda namun dari golongan jin jua.

Namun ia tetap berputar-putar di atas barisan prajurit kami. Seraya menimpali teriakanku dengan suara telepati.

"Siap Sang Panglima langit menunggu perintahmu," tegas Jatayu terus mengepakkan sayap sambil terus berkonsentrasi mengawasi arah musuh. Memang tugas jatayu kali ini berfungsi sebagai mata dari mataku.

Ratusan makhluk aneh berlari di depan kami menuju arah kami. Kira-kira sudah 1 kilo meter jaraknya dari tempat kami berkumpul. Terlihat jelas kali ini berbagai macam makhluk buruk rupa golongan setan durjana.

Mereka ada yang merangkak serupa anjing setan. Ada pula mengambil wujud genderuwo atau raksasa dengan tubuh tegap tinggi besar. Ada juga yang serupa tengkorak dari tulang belulang orang mati.

Ada pula sejenis jin iprit dan bentuk menyeramkan lainnya seperti halnya badan manusia kepala dari jenis binatang.

Tangan ku acungkan ke depan agak ku ayunkan dari bawah. Mataku agak melotot dengan rasa kemarahan tinggi sambil berteriak, "Serang...!"

Sealur dengan aba-abaku ratusan pasukan jin Islam dengan pimpinan di sampingku Maung Bodas dan di atas ada kepakkan sayap panjang nan lebar Si Jatayu berlari menyambut serangan musuh dari depan.

"Serang...!" Maung Bodas kembali mengobarkan semangat para punggawa kami.

Dan, "Ndik, Pendik bangun Ndik. Sudah siang ayo bangun Nak kita berangkat Ke Jakarta, seperti yang kita bicarakan semalam," Pakde Sumadi membangunkan aku dari lelapku semalaman.

Sambil kuseka mata agak menguceknya agar lekas tersadar. Oh ternyata Cuma mimpi seakan nyata sekali ya. Apa itu akan terjadi di masa depan kelak ya. Ah akhir-akhir ini mimpiku agak aneh masak mimpi perang melulu mana persis seperti di film layar lebar lagi apa aku terlalu banyak melihat film perang di serial film cina ya, gumamku dalam hati seraya bangun dari ranjang kamar belakang rumah Pakde Sumadi lalu pergi ke arah kamar mandi untuk segera membasuh tubuh dengan air segar.

Setelah mandi berbaju rapi dan sudah siap dengan ransel berisi baju ganti serta sepatu telah terpasang di kaki kanan dan kiri.

"Sudah siap Ndik? Ayo berangkat pamit sana sama Bude Ani dulu, aku tunggu di depan," ucap Pakde Sumadi berlalu ke depan rumah.

"Baik Pakde," jawab ku agak mengantuk dari sisa-sisa lelap semalam. Ku angkat ransel lalu menggendongnya di punggung. Menuju dapur menemui Bude Karmani yang sedang sibuk dengan masakannya.

"Bude pamit berangkat, doakan ya Bude," ucapku meraih tangan Bude Karmani untuk meminta restu dari kecupan punggung tangannya.

"Assalamualaikum," ucap salam ku sembari berlalu pergi meninggalkan Bude Karmani.

"Waalaikumsalam, semoga selamat sampai tujuan ya le," jawab Bude Ani sambil mendoakan.

Ku temui Pakde Sumadi yang duduk-duduk di teras depan rumah sambil merokok.

"Ayo Pakde kita berangkat?," pintaku lalu kami berjalan ke arah samping jembatan penghubung dua desa antara desa Sentullio dan desa Cisait.

Kami tak sedang menuju desa ujung satunya tetapi kami hendak meloncati pagar pembatas jalan tol yang membujur panjang barat hingga timur. Dari ujung barat kota Serang hingga ujung timur kota Jakarta.

Kami hendak menanti sebuah bus yang berhenti di terminal bayangan Kebun Jeruk bagian Jakarta Barat. Sejenak transit untuk kembali menaiki bus P157 arah Senen Jakarta Pusat.

Sejenak kami menunggu di samping jalan tol untuk menanti sebuah bus bernama Prima Rajasa di bawah jembatan. Beberapa saat sebuah bus bercat putih merah datang berhenti di depan kami.

Kakiku kini ku tapakkan kembali di era baru nantinya, di cerita baru nantinya, mungkin jua dengan nama wanita baru nantinya.