Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 40 - Kalah dari Ampera

Chapter 40 - Kalah dari Ampera

Sebuah angkutan kota warna kuning dari arah Labuhan Merak Banten menuju terminal Pakupatan kota Serang membawaku setelah kalah dari kota bumi Ampera. Jalanan yang tak mulus banyak lubang dan aspal yang rusak membuat aku seolah menikmati. Duduk di tepian pintu berpegangan pada batas kursi panjangnya dan agak melamun.

Harus bilang apa aku pada Pakde Sumadi akan rasa kekalahan ini. Tentu beliau selalu berdoa untuk keberhasilan ku di tanah Ampera. Ah sudahlah sudah terlanjur basah, nasi sudah menjadi bubur dan semua sudah terlanjur. Aku sudah kembali di kota ini Serang bumi para Jawara.

Musik dari kotak bok tipe sebelah pak sopir mengalun lagu dari sebuah band bernama Tipe x dengan judul selamat jalan semakin membuat rasa sakit di dada semakin sakit jua. Seakan searus dengan luka hati ini syair lagu selamat jalan berbanding lurus dengan kemuraman mendung di dada ini yang semakin sesak saja setiap hari.

Ah sudahlah mungkin lusa atau esok pasti sudah lupa. Kali ini aku ingin pulang, terus mengiang di atas otak. Seakan bergumam di bawah tempurung tengkorak menyentuh kulitnya. Aku ingin menuju kampung halaman dimana aku lahir.

Bayanganku kembali manja akan tidur di atas kasur lama kamarku. Ah sudah rindu aku akan aroma cat masa kecil yang ku gambar sendiri dengan tangan ini.

Tapi dengan kekalahan yang terus kalah apa bapak dan ibu masih menerima rasa kalahku ini. Ah sudahlah aku lelaki dan harus mampu menghadapi setegar karang apa pun yang terjadi dan selalu maju walau sesulit apa pun keadaannya.

Angkutan kota warna kuning terus melaju melalui padatnya arus lalu-lintas kota Tangerang menuju kota Serang. Terkadang sesekali berhenti untuk menurunkan penumpang atau sekedar mengambil penumpang untuk naik kembali.

Beberapa mata yang turun dan naik melewati ku terkadang melirik beberapa dari mereka seakan tertarik pada tatapan mata kosongku. Ah aku rindu padamu Lestari yang dahulu pernah menghiasi hari-hariku pada masa masih berseragam putih dan abu-abu.

Sejenak mata ini menatap langit cerah nan berkilauan di kota Tangerang. Dengan alunan lagu dari tipe pak sopir yang sudah berganti dengan lagu khas sunda aku pun tak mengerti apa arti dari syair lagu tersebut. Tapi aku menangkap dari alunan musiknya kenapa Pak Sopir seakan tahu rasa hatiku selalu mengalunkan lagu sendu selaras dengan hati ini.

Beberapa menit berlalu sehingga angkutan kota warna kuning telah berhenti di sebuah pertigaan dengan lengkungan plakat di antara dua buah gapura bertulis selamat datang di desa Sentullio. Kakiku ku langkahkan untuk menuruni tangga berundak tiga pintu angkutan setelah mengulurkan beberapa lembaran uang kertas selembar bernilai lima ribu rupiah melajulah kembali angkutan kota menuju tempat tujuan akhir terminal Pakupatan kota Serang.

Beberapa tukang ojek yang tengah mangkal bercakap asyik mengobrol di tepian-tepian gapura awal masuk desa. Saat aku melewati mereka dengan sigap mereka menawarkan sebuah jasa antar sampai tujuan dengan berebut di depanku dan aku hanya tersenyum melewati mereka meninggalkan mereka yang terbengong dengan kelakuanku.

Sebab aku hanya ingin menikmati rasa lelah dengan berjalan kaki menunu rumah Pakde Sumadi dengan tiada yang mengganggu. Ingin kunikmati rasa terakhir dengan angin terakhir dan harum tanah terakhir desa ini. Mungkin esok hari aku akan pulang kembali ke kota Jombang untuk menyatakan kekalahan di depan pintu setasiunnya.

Dimana dua tahun yang lalu aku mengikat janji dengan kota kecil tempat kelahiranku tak akan kembali untuk kekalahan.

Dan beberapa kali langkah lagi pintu rumah bapak Sumadi sang Pakdeku tercinta terlihat.

Rasanya berat untuk menyampaikan kekalahanku kali ini. Aku ingin memasuki pintu itu saat kini telah ada di depanku. Tangan ini ingin bergerak mengetuknya namun begitu berat rasanya kaku dan bercampur malu. Ah sudahlah ku beranikan diri mengangkat lengan dan kuarahkan pergelangan ke arah pintu hendak mengetuknya.

Ada suara berkari menghampiriku dari arah belakang, "Loh Pendik, Ya Allah, Ya, Cahya. Pendik pulang," teriak Pakde Sumadi seraya memelukku seakan ada suatu kabar buruk menimpaku saat aku singgah di kota Lampung urung kembali ke Serang beberapa waktu lalu.

"Loh Dek Pendik Ya Allah, Alhamdulillah. Dek sampean tidak apa-apa?" Mas Dwi yang selalu dipanggil Cahya oleh Pakde Sumadi karena anak lelakinya tersebut memang diberi nama oleh Pakde Sumadi Dwi Cahyadi.

Pintu di depanku terbuka saat aku terpaku tak mengerti akan sikap mereka. Sebenarnya aku takut akan kemarahan mereka sebab saat di Raja Basa aku tak memberi kabar beberapa bulan hanpone, beserta seluruh isi tas termasuk uang hasil dari bekerja di PT Lingga Djaja raib ikut laju bus antar lintas Sumatera untung dompet selalu aku bawa ku masukkan ke kantong jaket.

Di balik pintu Bude Karmani dan Kakak Atri Adek dari Mas Dwi berdiri di depanku terkejut menatapku. Refleks mereka sama dengan Mas Dwi dan Pakde Sumadi langsung memelukku erat seakan mereka melihatku setelah kabar buruk menimpaku dan aku selamat.

"Ayo sudah masuk dulu, ceritanya nanti saja, biarkan Pendik makan dulu, mandi dulu Shalat zuhur dulu. Lalu kita suruh dia bercerita," ucap Pakde Sumadi mengajakku ke dalam rumah.

Dan aku ikut saja semakin heran melihat tingkah mereka. Seraya bertanya-tanya kabar apa sebenarnya yang mereka terima tentang keadaanku saat urung pulang ke Serang malah singgah di kota Palembang.

Singkat kata aku sudah mandi dan sudah menunaikan kewajiban pada sang kuasa akan Shalat Fardu Ain empat rakaat zuhur. Kali ini aku sedang duduk dengan sepiring nasi serta lauk yang di ambilkan oleh Kak Atri.

Dengan tenang aku mulai menyuap nasi sesendok demi sesendok makan. Yang aku heran keluarga Pakdeku hanya menatapku dengan mengelilingiku saat makan. Mata mereka menatap dengan aura bahagia seakan aku pulang dari perantauan jauh dan tak pulang selama kurun waktu puluhan tahun tak memberi kabar jua.

Ku lirik mata Mas Dwi di sampingku yang ikut-ikutan menatapku lekat memandangiku sekujur tubuh seakan meneliti apakah ada yang terluka.

"Ada apa sih Mas, memang apa ada kabar buruk saat aku tak pulang kemari?" tanyaku sambil memasukkan suapan nasi kembali di rongga mulut.

"Ya Allah benaran Dek Pendik ini Pak," teriak Mas Dwi lalu memelukku.

"Eh tumpah-tumpah Mas ini makanan nanti," tegasku tapi tetap dia memelukku.

Ku lihat Pakde Sumadi yang menggetarkan bibirnya seakan ingin bercerita, " Begini Ndik, beberapa bulan yang lalu ada kabar di salah satu setasiun televisi nasional. Ada sebuah bus antar lintas Sumatera yang jatuh ke jurang dan semua penumpangnya mati. Saat di munculkan daftar korban teridentifikasi ada sebuah kartu tanda pelajar dari sekolah SMK Kusuma Negara Mojoagung bernama Bagus Effendik ditemukan," tutur Pakde Sumadi.

"Benar Dek dan ada kaos yang selalu kau pakai saat baru datang kemari dulu tinggal separuh karena terbakar. Kami cemas dan bapak serta ibumu di rumah juga sudah pasrah kalau memang sudah takdirnya," sahut Mas Dwi.

Uhukz..., uhukz.., aku menelan nasi serasa tak sempurna lalu tersedak mendengar pernyataan dari Pakde Sumadi dan Mas Dwi.

"Hati-hati dong Dek Pen pelan-pelan, ini minum dulu biar hilang sesenggukannya," ucap Kak Atri sambil mengulurkan segelas air putih yang langsung aku teguk sampai habis.

Lalu ku ceritakan sebenarnya yang terjadi tentang aku dan preman terminal dan keluarga Pak Haji Salam dan si gadis manis Bidan muda Dewi. Malam harinya aku meminjam hanpone Mas Dwi untuk menelepon orang tuaku memberi kabar pada mereka agar tak sedih lagi atas kabar kematianku yang di kabarkan ikut menjadi korban kecelakaan.

Dengan letih sangat malam ini kulelapkan mata agak sore sebab kata Pakde Sumadi esok hari ada yang ingin di bicarakan. Tentang apa aku pun tak tahu semoga ada gadis baik yang ingin meminangku senyumku dalam hati dan di benak berkata mana ada mengacau saja. Ah sudahlah ku pejamkan mata dan bersyukur semua baik-baik saja.