Mataku berkedip sedikit lalu mengernyit agak perlahan membuka kelopaknya. Terasa dingin ada percikan setetes air yang jatuh di atas bulu mataku. Menyadarkan ku dari agaknya pingsan rupanya.
Ku tatap awang-awang sebuah kamar kecil nan indah dengan pernak-pernik ornamen hiasan cinta dan kupu-kupu ada gambar bunga di plafon berbagai bentuk. Ah mungkin ini kamar seorang gadis lalu pikiranku terperangah dalam kesadaran pertama aku berteriak dalam otak. Heh, kamar cewek aku dimana.
Namun saat aku berusaha bangun, "Auh, aduh," rasa sakit di pinggang kanan masih terasa perih. Oh iya beberapa waktu lalukan aku tertusuk pisau preman-preman itu ah sial sakitnya terasa perih.
Eh tapi ini tangan siapa, gumamku dalam hati melihat dua buah tangan lentik sedang memegangi pundakku. Eh kenapa pula aku tak memakai kemeja ku dan hanya berlapang dada saja kembali aku bicara dengan hati sendiri sambil menengok ke samping.
Ada seorang gadis ternyata duduk di sampingku iya tersenyum kepadaku simpul sangat elok. Eh siapa dia? Benakku semakin bertanya-tanya.
"Eh siapa anda, kenapa aku di sini, ini dimana?" berondongan pertanyaanku membuat si gadis semakin ingin tertawa namun mungkin kebiasaan atau tak ingin menyinggungku mulutnya ditutupi jari jemarinya dengan cat kuku warna pink seakan tertawa gaya orang cantik tetapi memang iya cantik dengan balutan hijab warna biru muda.
"Eh sudah siuman ya?" seorang yang agak tua memakai sarung dengan baju kokoh putih ku rasa berpeci hitam menempel malas di atas kepalanya ku rasa dia bapak gadis yang duduk di sampingku.
Lalu pak tua berpeci hitam tampak membawa sebuah wadah kecil entah berisi apa sepertinya ramuan mengulurkannya pada si gadis. Tanpa aba-aba dan tanpa bicara ramuan tersebut di tempelkannya di permukaan kulitku yang terluka tusukan tepatnya di pinggang kanan.
"Aaa, Aduh!" teriak ku menjerit kesakitan saking perihnya.
"Tunggu-tunggu siapa kalian dan aku di mana ini, baiklah aku tahu maksud kalian baik menolongku tapi apa aku tidak boleh tahu nama kalian?" ucapku sambil agak memundurkan sedikit posisi duduk di atas ranjang dari bambu beralaskan tikar.
"Eh Mas jangan gerak dulu nanti jahitannya lepas, tuh kan darahnya keluar lagi. Dia bapakku Pak Haji Salam dan aku panggil saja Dewi. Aku seorang bidan desa di sini aku yang menolong Mas di terminal tadi sama bapak. Maaf ya tidak ijin sama Mas tentang melepaskan hem batik Mas itu sudah aku cuci di luar aku jemur," jelas gadis duduk di sampingku tadi yang baru aku tahu namanya dewi.
"Mas ini sangat ahli rupanya dalam seni bela diri terbukti saat kami menolong Mas ada dua orang preman terkapar satu kakinya patah dan satu tangannya patah keduanya pas di pergelangan lagi. Dan aku salut akan kuatnya Mas menahan rasa sakit saat di tusuk, di pukul balok bekas itu di kening Mas saya rasa bukan pukulan biasa tapi hantaman benda tumpul semacam kayu atau balok," timpal Pak Haji Salam.
"Sebelumnya saya berterima kasih pada Dek Dewi dan Pak Haji Salam atas pertolongannya. Pak Haji memang benar aku di hantam balok agak tebal. Tapi tubuh ini memang lah hanya manusia pada akhirnya roboh juga," kata ku sambil perlahan berbaring di bantu Dewi.
"Hati-hati Mas," ujar Dewi membantuku berbaring di sampingnya.
"Aku memiliki Firasat kuat bahwa suatu saat nanti kau akan mengalami suatu masa di mana kau akan bertarung menjadi pejuang tapi musuhmu bukan manusia," ucap Pak Haji dengan pernyataannya aku jadi terpikir pertarungan seperti apa kiranya yang di maksudkan beliau.
"Oh iya Dewi Bapak ke toko dulu jaga Masnya ya jangan lupa kasih dia sarapan dan minum. Kasihan mungkin dia belum sarapan," ucap Pak Haji Salam seraya pergi dari kamarnya Dewi ku rasa terlihat dari ornamen dan pernak-pernik serta warna tembok yang mencerminkan cewek banget.
"Mas sarapan dahulu yuk?," pinta Dewi yang sudah memegang piring penuh nasi dan lauk pauk berupa ayam goreng.
"Eh cepat sekali kapan Adek mengambil sepiring makanan di tanganmu itu," ucapku dan Dewi hanya tersenyum sambil menyodorkan satu sendok nasi dengan suwiran daging dari ayam goreng begitu saja masuk ke dalam rongga mulutku dan aku jua sudah lapar ternyata secara otomatis terkunyahlah makanan tersebut hingga tertelan.
"Ih, manisnya," celetuk Dewi memandangku sambil tersenyum simpul.
"Eh iya aku belum memperkenalkan diriku," sahut ku sambil mengunyah beberapa suapan yang di sodorkan Dewi.
"Sudah Mas di KTP Mas tertera nama Bagus Effendik, kelahiran Jombang Jawa Timur benarkan," kata Dewi sambil menyuapkan kembali sesendok nasi dengan hiasan sedikit pecahan daging ayam goreng di atasnya.
"Ia benar," aku kembali menyahut suapan Dewi lalu menelannya.
"Minum dulu Mas biar enggak tersedak," segelas air putih di ulurkan Dewi dan membantuku minum sedang posisiku masih sama setengah duduk diatas ranjang sambil punggung ku sandarkan di tembok ujung atas ranjang dan kaki kuselonjorkan.
Glegek...,
Satu tegukan air masuk membasahi kerongkongan hingga basah seluruh dahaga hausku. Aku tatap wajah Dewi yang selalu tersenyum simpul dengan lesung pipit dan aku baru sadar semua wanita yang pernah bersamaku memiliki lesung pipit dan sekarang Dewi walau dia adalah penolong bagiku bukan lah milikku seperti Ria atau Linda.
"Oh iya Mas coba ceritakan dari awal kok bisa Mas Bagus sampai berurusan sama preman terminal?" tanya Dewi memintaku untuk bercerita.
"Panggil saja aku Pendik Dek, setidaknya panggilan itu sudah dari kecil melekat padaku," terang ku menatap Dewi.
"Ah jangan menatapku seperti itu, ia, ia Mas Pendik. Jadi bagaimana awal mula kejadiannya?" tanya Dewi sekali lagi sambil tersipu malu.
"Saat itu aku hanya ingin pulang dari Palembang. Saat bus yang ku tumpangi transit di terminal Raja Basa aku sangat mengantuk dan aku ikut turun seperti penumpang yang lain. Tiba-tiba saja aku di dekap dan di seret dua orang ke belakang terminal dan yah begitulah semua itu terjadi," terang ku menjelaskan dan Dewi hanya mangut-mangut sambil terus menyuapiku sepuluk demi sepuluk nasi dan lauk ayam goreng.
"Oh begitu ya, hem memang preman terminal itu suka membuat ulah untung toko beras Bapak dekat dari tempat kejadian perkara di mana Mas Pen adalah korbannya," ujar Dewi menuturkan.
"Iya Aku berterima kasih atas pertolongan Dewi dan Pak Haji. Oh iya Ibu Dewi atau istri Pak Haji ke mana tak kelihatan?" tanyaku seketika di sahut dengan wajah murung Dewi tampak ada sesuatu hal yang begitu pilu suatu kejadian yang begitu menyayat hati tersirat di kesuraman wajahnya.
"Eh, eh tak usah di jawab juga enggak apa kok maaf aku asal nannya," kataku mencoba menetralkan suasana.
"Hehe, enggak apa akan Adek ceritakan kok. Waktu itu tepatnya aku masih kecil sekali Mas masih berusia sekitar tiga atau empat tahun aku lupa saat toko beras bapak juga masih kecil dan belum di panggil Pak Haji kejadian itu membekas di hati Adek karena Adek melihat dengan mata kepala Adek sendiri."
Begini ceritanya...,