Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 32 - Melawan Preman

Chapter 32 - Melawan Preman

***

Ash-shalaatu was-salaamu 'alaiyk

Yaa imaamal mujaahidiin yaa Rasuulallaah

Ash-shalaatu was-salaamu 'alaaik

Yaa naashiral hudaa yaa khayra khalqillaah

Ash-shalaatu was-salaamu 'alaaik

Yaa naashiral haqqi yaa Rasuulallaah

Ash-shalaatu was-salaamu 'alaaik

Yaa Man asraa bikal muhayminu laylan nilta maa nilta wal-anaamu niyaamu

Wa taqaddamta lish-shalaati fashallaa kulu man fis-samaai wa antal imaamu

Wa ilal muntahaa rufi'ta kariiman

Wa ilal muntahaa rufi'ta kariiman wa sai'tan nidaa 'alaykas salaam

Yaa kariimal akhlaaq yaa Rasuulallaah

Shallallaahu 'alayka wa 'alaa 'aalika wa ashhaabika ajma'iin

***

Kumandang Shalawat Tarhim telah bergema di langit desaku membuka cakrawala butanya hati akan terlelapnya mata bahwa subuh akan datang dengan sejuta Rahmad Allah pencipta semesta alam.

Ku raih sebungkus rokok ku sela-sela di dalamnya ah tinggal tiga. Ku keluarkan sebatang lalu menempelkan sekedar di mulutku yang makin menggigil sebab akhir-akhir ini semakin dingin.

Ku lirik Si Pocil dan Si Martin masih terlelap di atas kasur bersamaku. Merekalah teman di kala aku terbangun dari lelah. Teman di kala aku pulang dari berjuang saat menantang dunia dari mengais rezeki Allah Taala. Merekalah sebuah anugerah dari Allah yang dititipkan padaku saat aku resah akan tiada seorang makmum berhijab tidur di sampingku.

Mereka dua ekor kucing kecil peranakan Jawa dan Persia di bawa oleh Pakde dan Bude sebelah rumah ketika berkunjung pada sanak keluarga di sebuah kampung tetangga.

Gemeresik sepiker Mushola per Mushola mulai terdengar mengalunkan merdu Tarhim yang selalu membawa rindu kampung halaman berpuluh-puluh tahun yang lalu. Aromanya selalu selaras namun setiap tempat ku rasa sentuhan Qalbi berbeda-beda jua namun tetap getarkan hati akan kerinduan.

Burung Hud-Hud mengicau sudah kali ini aku tak bisa menebak apakah iya berbunyi pertanda musim hujan seperti legenda ceramah orang tua atau leluhur Jawa terdahulu. Karena saat burung Hud-Hud bernyanyi iya memohon hujan pada Sang pemilik hujan Allah Taala.

Tapi musim kini 15 Juli 2021 tiada bisa membedakan kapan musim hujan dan kapan kemarau yang jelas hari ini detik ini masihlah dalam tragedi dunia bernama Pandemi.

Binatang malam selayaknya Jangkrik dan burung-burung penghuni langit gelap terus bersuara. Tapi penanda dari nama lain yang menyegarkan atau subuh telah datang.

Aku tahu sebab aku terjaga semalaman sengaja aku tak terlelap Ikhwal takut tak bersua sang subuh. Lalu aku terlena di atas kasur dan lalai akan Fardu Ain serta kewajiban yang di perintahkan pada kami sebagai manusia.

Karena manusia di ciptakan di tempatkan di bumi sebagai khalifah bukan penjajah. Dan hanya di perintahkan untuk sujud dalam arti kata sebenarnya adalah ibadah. Manusia tak disuruh kaya tak diperintahkan miskin tapi diperintahkan menyembah kepada yang wajib di sembah yakni Allah SWT.

Ah aku lelah karena tak jua baik, ah aku lelah semalam masih berdosa. Beratnya langkah sebab masa lalu tenggelam dengan cinta bertaburan nafsu dari kisah Linda Kristiani hingga Jingga sang mantan istri.

Semua itu hanya sisakan luka dan tertatihnya jiwa dari kata hijrah membenahi diri. Hari ini aku teramat susah berserah sebab dulu selalu melanggar perintah.

Dahulu bukan menjauhi tapi mendekati bahkan berzina aduhai ingin rasanya aku ulang waktu agar aku tak menjamah tubuh-tubuh mereka tanpa ikatan yang disyariatkan.

Tapi sudahlah sudah terlanjur terjadi semoga aku mampu menata iman dihati mengasahnya dengan terus bersalawat dan berusaha untuk terus baik semampuku. Hingga benar-benar aku mampu.

Aku pernah mendengar istilah falsafah Jawa kuno, bahwa bila seorang lelaki sudah melanggar pantangan berhubungan badan dengan selain istri syah atau sebelum waktunya syah. Maka susah segala ilmu atau pengetahuan Jawa yang di sebut kejawen kuno untuk masuk di badan.

Ku retas kembali kata-kata tersebut Jawa adalah budi pekerti luhur telah menetapkan adat aturan sedemikian rupa demi kebaikan. Apa lagi Islam agama yang rahmatanlilalamin tentu sangat mengaris bawahi hal tersebut atas syahwat dan nafsu celakanya dahulu entah sebab apa aku melakukannya.

Tapi nasi telah menjadi bubur semua sudah terlanjur dan aku berusaha semampuku mengamalkan kitab yang telah dititipkan Allah melalui Sang Kiai yang kini kusebut guru.

Dan aku selalu menangis setiap malam tanpa orang tahu walau bapak dan ibuku dan kuharap tiada satu pun orang tahu cukup aku dan Sang Raja Subuh yang tahu. Saat air mata ini mengaliri hati tanpa keluar dari mata ya air mata tak berair.

Menghunjam jantung menyayat nurani akan dosa, riak dan noda masa lalu aku hanya bisa pasrah akan keputusan yang memiliki langit dan bumi. Tanpa menolak dan hanya mengangguk sambil terus takdim atau patuh akan perintah semampuku karena aku masih tertatih membersihkan dinding hati dati sisa-sisa kerak kenangan yang menjijikkan.

Ah sudahlah biar aku lupakan demi nanti dapat dipetik hikmah dari kata anak cucu akan kuhias kembali cerita-cerita yang telah ku tulis ulang dari semua ulasan kenangan ditemani segelas kopi dan subuh yang semakin dingin.

Mari kita mulia lagi kisah Dewi putri Pak Haji setelah ku jeda sedikit tentang Ria dengan kisah yang terlewat di sudut lantai dua. Mungkin nanti banyak yang terputar balik kadang kusuguhkan kembali ke belakang.

Tolong maknai tanpa energi negatif yang di timbulkan ku ulangi sekali lagi raih secangkir kopimu teguklah barang satu seruput di bibirmu mari bercerita denganku bahwa kubawa alam ingatanku dengan kenangan yang masih pahit di sana di tanah Lampung terminal Raja basa.

***

Aku hanya ingin pulang walau menunduk malu dalam aroma kekalahan kini aku terduduk lunglai di dalam bus antar lintas Sumatera yang melaju kencang di alam pulau ikan. Tak memedulikan sekitar dan hanya berkutat tatap mata Ria tadi pagi yang kutinggalkan serasa berdosaku saat kulihat matanya berkaca-kaca dan tangannya seakan ingin meraihku untuk mencegahku pergi.

Namun aku sudah lelah sendiri di alam rantau dan kesepian aku ingin pulang. Aku tak berjanji padanya saat terakhir bersua dan Ria terus menggeleng bercucuran air mata. Dan aku tetap meninggalkannya mungkinkah suatu hari di masa yang akan datang jauh akan datang karma buruk oleh ria harus kutanggung saat aku menangis sebab seorang wanita yang meninggalkan di saat sedang sayang-sayangnya. Aku tahu rumus Allah dan hukum alam selalu berlaku sebab akibat adalah kepastian.

Bus mulai memasuki are terminal raja basa untuk transit sebentar menurunkan penumpang yang bertujuan di tempat transit terakhir sebelum pelabuhan Bakauheni. Langkahku menapak tangga pintu bus sejenak ingin melepas udara pengap semalaman agar berganti udara segar di alam bebas.

Mataku tertuju pada sebuah warung kecil di jajaran toko suvenir yang menjual pernak-pernik oleh-oleh khas kota Lampung. Hari masih pagi benar terlihat suasana terminal yang masih sepi.

Belum beberapa langkahku mulutku sudah terbungkam sebuah sapu tangan dati tangan yang hitam dan agak besar pikirku pasti preman terminal ini. Dan benar saja saat aku melirik sedikit mata ku menangkap dua wajah sangar berambut gondrong di belakangku dengan satu orang menodongkan pisau di punggungku dan satu lagi membungkamku dengan sapu tangan bekas.

Mereka memaksaku, menyeret tubuhku sampai belakang terminal di tempat yang sangat sepi dan hanya ada kebun tak terpakai di sana bahkan banyak tumpukan sampah teronggok di sana dan kejadian pagi itu memang harus terjadi.