"Sarapan Ndik?" Bude Karmani menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk berupa ikan lele plus sambal kemangi dengan bertabur lalapan gubis.
Ada pula mentimun yang di iris tipis dua iris di letakkannya di meja makan depan ku duduk. Ku lihat di sampingku Mas Dwi sudahlah lahap dengan per suap nasi dan ikan lele yang ia potek-potek menjadi beberapa bagian menyisakan kepala, ekor dan duri saja.
"Lapar Mas?" sambil ku lihat Mas Dwi yang tak menggubris kanan dan kiri maklum masakan penyet lele memang kesukaannya.
"Buk Atri berangkat, Pak uang saku," teriak Kak Atri menenteng tas lengkap dengan setelan seragam smp hendak berangkat sekolah.
Setelah menerima uang saku dari Pakde Sumadi yang tengah memandikan ayam jago kesayangan di teras. Kak Atri berangkat sekolah di antar mamang tukang ojek yang mangkal di depan rumah.
Tepatnya di seberang jalan di samping rumah Almarhum Pakde Sumber pas menghadap rumah Pakde Sumadi.
"Jadi Dek berangkat pagi ini?" tanya Mas Dwi sambil mengunyah nasi yang penuh di mulutnya.
"Jadi Mas, mbok ya itu di telan dahulu sampai penuh begitu di mulut," jawabku memandangnya heran.
Pagi ini sudah berlalu dua bulan yang lalu saat Surti menghias tubuhnya dengan gaun pengantin bersanggul rapi dan duduk di pelaminan tapi bukan aku pengantin lelakinya, tetapi bukan aku yang bersamanya duduk di sampingnya sebagai mempelai laki-laki ah sudahlah.
Pagi ini setelah ada tawaran pekerjaan yang lebih baik lagu dengan gaji nominal lebih besar lagi dan aku sanggupi. Walau aku harus pergi jauh lagi dari rumah bahkan teramat jauh untuk pulang. Sebuah pabrik pengolah karet di desa Lingga Djaya, kecamatan Tanjung Enim, kabupaten Muara Enim, kota Palembang di sana lah labuhan kakiku menapak selanjutnya.
Lowongan pekerjaan yang disuguhkan oleh mandor dari tempat Mas Dwi bekerja. Sebenarnya Pabrik karet di Palembang tersebut adalah sub atau pecahan dari PT KINGLAND. Sebuah pabrik bergerak di bidang pembuat ban dalam segala macam kendaraan bermotor.
Namun PT Lingga Djaya yang bakal aku datangi untuk bekerja dan mengais receh. Kali ini bergerak di pengolahan karet untuk mendukung proses produksi PT KINGLAND yang dimana Mas Dwi bekerja tepatnya di daerah Tangerang.
Tin..., tin...,
Sebuah mini bus berhenti di pekarangan depan rumah Pakde Sumadi. Mini Bus warna putih produksi pabrikan negeri sakura berplat nomor polisi dengan abjad AA kode pelat nomor kota Serang.
"Assalamualaikum Pak Sum," ucap salam Pak Hartono mandor dari Mas Dwi keluar pintu depan mini bus langsung memasuki ruang tamu.
"Waalaikumsalam," serempak kami seisi ruang tamu menjawab.
"Sarapan dulu Pak Har?" celetuk Bude Karmani berbosa-basi.
"Terima Kasih Bu Ani, tadi sudah makan bersama istri dan anak saya. Mana yang namanya Cak Pendik?" Pak Hartono melihat-lihat kebagian dalam rumah mencariku.
"Masih mengepak pakaiannya Pak Har tolong tunggu sebentar ini kopinya di minum dahulu," ucap Bude Karmani menyuguhkan segelas kopi hitam di letakkannya di atas meja.
"Pak Har saya Pendik," ucap ku sambil menenteng tas ransel di punggung sudah siap untuk melakukan perjalanan jauh.
"Ok ganteng sudah siap untuk melakukan petualangan," sahut Pak Hartono kusambut dengan senyum ramah dan anggukan kemantapan hati dan bulatnya tekad.
"Baik pamit dulu sama Pakde dan Budemu," timpal Pak Hartono kusambut dengan memohon restu pada Pakde Sumadi dan Bude Karmani seraya mulai melangkahkan kaki kembali keluar dari sebuah pintu rumah mungkin akan menjadi kenangan atau mungkin aku kembali dengan wajah tertunduk malu karena kalah kembali dari pertarungan sebuah kota.
"Pak Sum, Bu Ani kami pamit dulu doakan selamat sampai Palembang," ucap Pak Hartono mengikutiku dari belakang sambil mengucap salam lalu kami tenggelam dibawa bus mini dengan beberapa pemuda desa setempat yang ikut bersama kami dengan harapan yang sama dengan ku menang atas dunia dan meraih taraf hidup lebih baik lagi.
Roda empat mini bus warna putih milik Pak Hartono terus menggelinding perlahan melewati desa-desa dan terus melaju diatas matahari yang terus bergulir ke atas langit menambahkan suasana hangat menjadi panas tengah hari.
Mini bus terus berjalan menuju transit pertama sebuah pelabuhan besar di kota Banten Merak. Sebuah pelabuhan tersibuk di area Jawa Barat. Dahulu pelabuhan ini di kelola oleh provinsi Jawa Barat namun setelah Pak Presiden Republik Indonesia tercinta memutuskan untuk pemekaran wilayah jadilah Banten menjadi sebuah Provinsi tersendiri berdiri mandiri tidak lagi mengekor pada provinsi Bandung Jawa Barat.
"Anak-anak semangat!" teriak Pak Hartono dengan senyum khas yang lebar memberi rasa semangat pada kami sepuluh pemuda desa merantau demi hari esok yang lebih baik jauh bahkan teramat jauh dari rumahku sendiri.
Kusandarkan kepalaku perlahan dan agak memejamkan mata menikmati semilir angin laut bersama mini bus yang mulai berjalan perlahan diatas dermaga Merak Banten mulai naik ke atas geladak kapal Veri warna putih pula.
Angin semilir perdu laut menambahkan syahdu akan ingatanku tentang senyum bapak dan ibu di ujung timur pulau Jawa. Sedang apa kalian wahai bapak dan ibuku tersayang, ini anakmu doakan anakmu menjadi orang besar kelak dan hari ini adalah tahap baru bapak dan ibu.
Entah ke mana lagi kaki ini berpijak aku pun tak tahu. Entah ke mana lagi langkah ini berlabuh aku pun tak mengerti doa kalian dan restu kalian yang aku butuhkan. Ucap ku lirih bersahut hati dan kedamaian laut ditemani suara-suara nyanyian burung camar tepi pantai mencari makan atau sekedar bercumbu rayu dengan sang kekasih.
Tahap baru hidup Pendik disini telah dimulai, lembar lama telah ditutup serta disimpan rapi pada amplop coklat lalu di taruh pada rak yang bertuliskan di depan pintu kacanya atas nama kenangan.
Hari ini buku baru telah ditulis kembali di torehkan dengan nama Cacak Pendik di atas kertas putih nan baru.
Kelak terlalu indah di lupakan masa itu dikala musim sendu di sebuah Bedengnya atau bisa disebut sebuah rumah kayu berdinding papan. Di sana bersua gadis desa secantik jelita bunga dan mekar harum seroja.
Hari ini jauh Pendik telah berkilo-kilo meter bahkan ribuan kilo dari pintu rumahnya. Sandaran kepala Pendik membawa alam lamunan kenikmatan akan rumah seakan ia melihat pintu dengan senyum sang ibu setiap siang dan tawa bapak kala sore datang bercanda dengannya di atas kursi panjang depan rumah bawah dua daun jendela.
Ton..., Toon...,
Suara cerobong asap dari kapal Veri tertiup dan asap hitam membumbung tinggi ke langit dermaga Merak. Membawa Pendik menuju pulau Sumatera labuhan selanjutnya kisah seorang pemuda dengan pencarian jati diri dan segala kerumitan yang berkecamuk dalam hati.
Ombak laut mengantarnya di ombang-ambing menuju transit berikutnya Bakauheni pelabuhan di kota Lampung. Burung camar menitipkan pesan kepadanya dengan menggerombol di samping lambung kapal ramai riuh dengan suara khas.
Cacak Pendik menatap luasnya laut dengan tengah-tengah terdapat sebuah gunung yang baru tumbuh setelah meletus berpuluh tahun yang lalu yang menghebohkan dunia yakni anak gunung Krakatau.
Dihiruplah angin laut agak dalam olehnya di samping tepian dek kapal bersama puluhan penumpang lain yang berjajar di sampingnya hanya demi untuk melepas sejenak lelah setelah sekian lama merantau mungkin di kota Serang atau Bandung atau mungkin Jakarta barangkali.
Hari ini tahap baru telah dimulai dengan sejuta harapan di sorot mata dan tatapan Pendik saat menatap luasnya lautan selat Banten. Suatu saat kenakalan remaja yang seharusnya ia hi dari tetap terjadi di sebuah gubuk papan bernama bedeng dengan gadis manis Palembang kala sore menjelang di bawah rintik hujan di PT Lingga Djaja desa Lingga Djaja, kecamatan Tanjung Enim, kabupaten Muara Enim kota Palembang bumi Ampera.