Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 26 - Jakarta Hai

Chapter 26 - Jakarta Hai

Ketika pertama kulangkahkan kakiku yang beralaskan sendal sepatu. Satu pijakan tepat di atas lantai setasiun Pasar Senin Jakarta Pusat. Seakan ada angin berbeda membelai ujung sepatu hingga terasa sampai ujung kukuh. Membelai bulu-bulu kecil kaki yang mulai tumbuh subur di sana.

Pukul 06.00 WIB waktu Jakarta kembali ku pijak lantai dengan kakiku satunya lagi.

Be debaran rasa hati memandang megah ruang tunggu setasiun. Hingga per sudut tak luput dari pandangan mata telanjangku dengan penuh kekaguman.

Jakarta sudah banyak berubah yah engkau, aku baru melihat halaman belakangmu di sini. Di ruang tunggu setasiun pusat Jakarta. Aku sudah begitu merinding dengan rasa terkejut, seakan begitu jauh dari bayanganku dahulu aku si Bagus kecil pernah melangkah di sini.

Dengan gandengan tangan ibu Amanah dab bapak Kasturi bertahun-tahun yang lalu.

Tapi gambaran keadaan setasiun yang terekam di otakku dahulu kini sudah hilang berganti dengan sebuah gedung ala modern begitu besar dan indahnya.

Tapi aku rasa ada kesamaan sejak dahulu kala berpuluh tahun yang lalu saat aku dengan langkah kecil dan lari-lari kecil mengekor di belakang ibu dan selalu memegangi ujung rok ibu kemanapun iya pergi.

Kesamaan itu adalah muka-muka lelah mereka para penumpang kereta gaya baru malam yang ikut turun bersamaku. Begitu penat dan lelah seakan mereka takut akan rutinitas kepadatan pekerjaan seolah berkata, "Ah sudah saatnya kembali bekerja," seakan tak rela melepas hari libur yang semakin tahun semakin di persingkat oleh pemerintah mungkin demi kebaikan bersama tentu pemerintah tahu yang terbaik untuk masyarakatnya.

Ku sapu sedikit debu yang menempel di jaket dan baju membersihkannya dengan telapak tangan kanan dengan cara mengibas-ibaskannya. Ku hela nafas agak panjang lalu menghirupnya kembali perlahan menekannya dan mendiamkan beberapa detik di antara sela-sela rongga dada selang beberapa detik ku hembuskan kembali lewati lubang hidung dengan rasa plong dahaga.

Ku angkat kembali tali tas yang sempat melorot di pundak membenahinya agar mudah dan tak sakit di ujung iga. Aku serasa ingin berteriak saja untuk menyapa sang raksasa yang sering di sebut ibu tiri oleh sebagian orang yang gagal dalam pertempuran menaklukkannya.

Dan aku harap aku tak sama dengan mereka, semoga jikalau aku kembali suatu saat nanti menyapa kembali kampung halaman aku dapat berteriak, "Hai kotaku aku pulang dengan kemenangan dari Jakarta," Ah sudahlah mungkin lain kali aku mengajakmu bertarung hai ibu kota. Mungkin di lain kesempatan aku mengajakmu bertaruh akan kemenangan, tetapi saat ini pertarungan masa depan bukanlah di kota ini.

Dan maaf aku kemari hanya melintas sejenak singgah. Untuk kembali berjalan menuju kota tujuan awal Serang kota para jawara.

Ku langkahkan kembali langkah pertama kakiku seakan tak mau berlama-lama sudah sangar rindu aku pada kota di mana masa kecilku pernah ada kenangan indah disana, kaki kecilku, senyum kecilku dan keriangan bermain tubuh kecil saat aku kecil pernah bermain di bawah teriknya panas Surya di sana di sebuah desa pinggiran kota Serang di sebuah desa dimana para petualang dan pejuang rupiah dari banyaknya pendatang tumpah ruah di sana.

Jakarta mungkin aku akan sedikit menikmatimu sejenak saat aku kembali mencari sebuah Bus kota untuk membawaku kembali dalam perjalanan menuju Serang. Semoga kau tak cemburu dengan tingkahku yang hanya melewatimu dan bisa bersabar untuk menungguku mungkin lain kali aku menyapamu lagi dan berkata, "Mari bertarung,"

Ku jejakkan kaki perlangkah menyusuri lorong bawah tanah setelah ruang tunggu.

Setasiun Pasar Senen di mana fungsi lorong ini adalah sebagai penghubung antara bagian belakang setasiun dimana pemberhentian kereta berhenti di sana menuju halaman depan setasiun dimana berjubel banyak orang hanya demi mendapatkan sebuah kertas kecil berbentuk persegi panjang bertuliskan nomor gerbong dan nomor bangku untuk duduk sebelum perjalanan teramat panjang yang di sebut karcis.

Akhirnya ku menemui loket-loket berjajar di area depan setasiun rupanya masih jua ada yang mengantre di depanya sambil membawa berbagai macam barang dan menampakkan beribu macam mimik muka dari kepenatan tak kunjung menang dari sang ibu kota.

Terus ku ayunkan kaki menunu pintu samping selatan setasiun demi mencari bus kota bertuliskan P157. Sebuah bus kota jurusan terminal Senin Jakarta Pusat menuju terminal bayangan Kebon Jeruk Jakarta Barat untuk nanti aku melanjutkan kembali menaiki sebuah bus bernama Prima Rajasa menuju terminal Pakupatan kota Serang.

Ku sulut sebatang rokok yang kubuka dari sebungkus tinggal separuh dari dalam jaket sisa semalam. Terbayang wajah lelap si ibu hamil tua tampak masih muda kala subuh di dalam kereta, "Ah andai iya adalah istriku dengan wajah seayu itu tak akan ku sia-siakan makhluk Tuhan secantik itu untuk Pergi sendirian apa lagi iya sedang hamil tua," gerutuku sambil menghisap asap rokok lalu menghelanya sedikit demi sedikit keluar dari mulutku.

Terik panas semakin menyengat rupanya terasa terasa sampai ke ubun-ubun kepala, "untung aku sempat memakai topi saat berangkat dari rumah, ah Jakarta memang tidak ada redup selalu panas seperti kehidupan dan gerak langkah serta roda kehidupannya. Mungkin disini mengalah tidak ada guna pasti tertindas dan terilas orang lain."

Dari kejauhan tampak tertatih bus warna kuning agak kumuh bertuliskan label P157 di atas kaca, "Nah ini busnya," lekas ku lambaikan tangan dengan agak tinggi agar Pak Sopir tahu kalau aku hendak ikut naik.

Sampai di depanku bus agak perlahan tidak berhenti tetap berjalan namun agak pelan. Maklum aku mencegat si bus di sebuah perempatan di selatan dari arah setasiun tepatnya pas di depan perempatan Pasar Senen.

Ku ayunkan kaki agak meloncat ku tangkap gagang pintu dan melangkah menaiki tangga pintu menuju ke dalam bus. Sudah ku duga wajah tak ramah penduduk Jakarta memandangku sinis ada pula yang sekali tak memandang acuh tak acuh tak seperti di desaku. Dengan orang-orang yang begitu ramah saling menyapa dan sopan.

Dalam pikiranku bergumam ini Jakarta bung, Jakarta memang seperti ini dengan tetangga sebelah mungkin mereka tak saling kenal dan tak saling menyapa di sekat oleh pagar pembatas rumah yang tinggi jua.

Ku pilih duduk di samping Pak Sopir biasa ada bagian tempat duduk tanpa sandaran di samping Pak Sopir pas itu jua harus berbagi dengan beberapa penumpang yang lain. Sebab kursi bus yang tersedia sudah penuh semua itu pun di sela-sela antara kursi kanan dan kiri sudah banyak tubuh dan wajah berdiri di sana dengan mimik wajah datar seakan begitu lelahnya dengan segala macam masalah mereka di Jakarta.

Harmoni, Kemayoran, Slipi sampai Monas terlewati sudah, Bundaran HI sampai akhirnya bus memasuki sebuah pintu tol dimana di sana banyak calon penumpang telah menunggu mungkin telah menunggu berjam-jam dengan sabar menunggu menanti si bus P157 demi memasuki Jakarta untuk mengais sedikit kebaikan Ibu Kota dan berharap mendapat receh demi receh di dalamnya.

Aku turun kembali dari bus P157 ikut mengantre di sisi kiri jalan menunggu bus warna merah dan putih bernama Prima Rajasa menuju terminal Pakupatan.

Namun aku tak akan turun sampai pusat kota terminal Pakupatan Serang. Aku akan meminta pada Pak Sopir agar turun di depan desa Cisait dan di belakang desa Sentul dimana disana ada jembatan penghubung antara dua desa tersebut melintang di atasnya.

Beberapa jam sudah aku terkatung-katung di dalam bus Prima Rajasa dan pada akhirnya koar dari si kernet bus, "Yang turun Cisait, Cisait," berteriak lantang menandakan telah sampai tujuanku.

"Aku Bang," dengan mengangkat tangan menandakan ingin turun dan bus berhenti oas di bawah jembatan Cisait.

Akhirnya setelah aku turun bus Prima Rajasa kembali berlari menuju tempat-tempat dimana trayeknya telah di tentukan.

Ku pandang sejenak sekitar kedua desa, aroma rindu masa kecil kembali menyeruak seakan tersentuh hati akan dahaga kangen setelah belasan tahun tak kembali. Ah ingin menangis tersedu aku oleh rindu. Ku langkahkan kaki kembali dan ku sapa lagi desa kecil dari kenangan masa kecilku sebuah desa bernama Sentullio.