Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 27 - Ketok Gulu

Chapter 27 - Ketok Gulu

Pagi merekah sudah hampir siang kukira sudah pukul 10.00 WIB waktu kota Serang. Di atas Jembatan penghubung antara dua desa yakni desa kampung Cisait di sebelah selatan dan kampung Sentullio di sebelah utara dan di tengah-tengah ada membujur dari ujung timur adalah Jakarta dan di ujung barat adalah terminal Pakupatan kota Serang sebuah jalan tol penghubung antar kota.

Di atas jembatan ini dahulu aku pernah menyaksikan awal di bangunnya dari beton-beton tiang tinggi yang menjulang sebuah proyek negara Indonesia.

Saat itu aku Si Bagus kecil masih teramat kecil untuk mengerti arti dari sebenarnya apa yang terjadi ada suatu masa saat awal berdirinya jembatan yang kini ku pijak kembali setelah belasan tahun aku tak kembali.

Suatu masa mengerikan bagi telinga-telinga para malaikat kecil setiap ibu. Dimana mereka tak lagi bermain di luar rumah pagi, siang dan sore. Tak ada lagi canda tawa mereka di tengah sawah atau tanah lapang seperti biasanya.

Isu yang semakin santer merebak dari kata ketok gulu alias potong leher sangat menyeramkan bagi kami para peri kecil di setiap rumah. Bahkan bukan hanya kami para anak-anak yang sangat ketakutan untuk keluar rumah dan hanya bersembunyi di bawah ketiak para ibu demi mencari perlindungan.

Para ibu-ibu yang memiliki anak-anak masih teramat kecil juga mengalami trauma yang sangat jelas pada masa ini. Bahkan mereka tak jarang menyewa sanak-saudara hanya untuk mengantar sang anak pergi sekolah.

Menungguinya hingga sekolah kembali bubar tak jarang mereka para ibu mengantar anak-anak mereka sendiri merelakan bapak yang telat sarapan demi keselamatan sang buah hati dikarenakan si ibu tak masak mengantar anak sekolah.

Aku ingat masa itu di sini di desa Sentullio yang sedang dilaksanakan proyek pembangunan jalan tol penghubung antar desa.

Entah siapa yang mengawali dan menyebarkan isu ini sehingga begitu mencekam bagi masyarakat sekitar desa yang tengah ada proyek pembangunan jembatan. Selalu seperti itu saat ada pembuatan Jembatan di laksanakan. Usut punya usut menurut dukun atau orang pintar setempat entah benar atau tidak yang jelas dalam salah satu ayat Al Quran telah di jelaskan.

Bahwa bila kita datang kepada salah satu para normal, atau orang pintar dalam segi gaib atau klenik tanpa nasab yang jelas atau silsilah yang baik dari keturunan leluhurnya, atau mendatangi dukun lalu meminta nasihat dan kita percaya begitu saja dengan ucapan mereka itu sudahlah termasuk kemusyrikan pada Allah Taala.

Tetapi suatu ketika ada kabar burung beredar dari sumber para ahli spiritual entah itu dukun atau para kiai. Sebenarnya isu ketok gulu atau potong leher sudah ada sejak dahulu kala sejak jaman penjajahan belanda dan dulu tanah Jawa masih begitu wingit alias masih banyak dihuni makhluk-makhluk astral yang mendiami suatu wilayah.

Nah saat Belanda dahulu kala hendak membangun sebuah Jembatan atau bangunan yang lain pasti selalu gagal di tengah jalan. Entah itu bangunannya roboh atau si pekerja jatuh sakit lalu meninggal.

Nah di kala itu masih banyak sekali praktik perdukunan tanpa batasan dan masih minim keterangan tentang Islam dan Al Quran. Maka datanglah para Belanda ke tempat si dukun untuk mencari sebab-musabab kenapa selalu gagal dalam pembangunan jembatan.

Di sini si setan penghuni wilayah yang hendak di bangun jembatan oleh si belanda pada akhirnya kongkalikong dengan si dukun. Lalu terjadilah kesepakatan penumbalan kepala manusia untuk di tanam dan di cor di setiap tiang jembatan agar jembatan tak lagi roboh saat pembangunan masih berlangsung setengah jalan.

Mereka tak sadat bahwa ini adalah ulah para dukun saat itu dan para jin atau setan agar meraup keuntungan dari Si Belanda tersebut. Satu keuntungan dari dukun mendapatkan ilmu tambahan dari si setan atau jampi-jampi serta rapalan dari para jin atau setan. Keuntungan kedua para setan dan jin berpesta dapat makanan gratis seperti pesta pekan raya.

Hingga pada akhirnya dijadikan tradisi dan menjadi adat kebiasaan bagi para pengembang yang masih saja percaya dengan hal-hal berbau mistis. Lalu menggunakan cara yang sama untuk menguatkan masa Jembatan dan tidak ada kendala saat pengerjaan proyek mereka.

Itulah kenapa banyak cerita jembatan angker bukan salah siapa-siapa tetapi memang awal mula salah si manusianya coba dahulu belanda bukan penjajah tapi investor pengembang dan datang pada kiai yang benar-benar kiai yang takdim pada Allah saja tentu istilah isu ketok gulu alias potong leher alias menumbalkan kepala anak-anak yang dibujuk rayu diiming-iming hadiah lalu di culik tak kan ada kisahnya.

Dan tak akan ada cerita nama jembatan angker karena ditempati setan atau jin yang suka nongkrong di sana.

Ah itu sedikit kilas ingatanku yang sekilas terlintas di masa lalu saat aku kecil di desa ini. Rokok sudah hampir habis ternyata telah puas juga aku memandangi desa masa kecilku yang kini telah banyak berubah menjadi pemukiman rumah-rumah kos-kosan atau kontrakan berpintu-pintu yang telah dibangun di sudut-sudut desa.

Sebab kulihat jauh diujung jalan akhir desa. Telah berdiri pabrik-pabrik megah nan kokoh dengan suara deru-deru mesin bekerja.

Pikirku kasihan para pengrajin genting rumah dari bahan tanah liat yang dulu banyak menjamur di desa ini saat aku kecil dahulu. Kini harus tergusur oleh banyaknya bangunan Perumahan, kos-kosan dan kontrakan.

Dan sungguh keadaan ini membelokkan para pemuda desa yang dahulu sanggatlah bersifat pekerja keras tiada siang tiada malam selalu bekerja keras siang dijadikan malam dan malam dijadikan siang.

Dan hari ini kulihat dari atas jembatan tidak ada lagi anak muda yang tengah menggembala kerbaunya di tanah lapang. Sebab tanah lapang sudah di jadikan perumahan atau berdiri pabrik besar sehingga si anak muda penggembala mau tak mau harus bekerja di salah satu pabrik yang berdiri di depan desa di bawah perintah orang luar negeri menjadi kuli di desa sendiri.

Tak ada lagi para pemuda yang mengangkat puluhan genting bertelanjang dada dengan punggung hitam mengkilat begitu kuat. Atau mencangkuli tanah mencari bahan untuk pembuatan genting sekarang mereka memilih berbaju rapi dan bersepatu pergi bekerja menjadi pesuruh bos-bos besar di pabrik-pabrik besar depan desa.

Bahkan ku lihat ada salah satu pabrik yang sudah memakan separuh bagian dari tanah desa. Entah kapan masa suatu saat nanti anak cucumu pasti tak akan mendapat lahan lagi walau untuk membangun rumah segi empat kecil pasti suatu saat nanti menyewa pada pengembang berkantong tebal padahal ini desa mereka.

Ya sudahlah yang penting tempat aku singgah dan tujuanku untuk singgah di desa ini masih kokoh berdiri tak ikut tergerus pengembangan pembangunan. Rumah Pakde Sumadi bapak dari sang kakak sepupu yang seusia diatas ku setahun dan paling ku rindu dan ingin selalu bertemu Dwi Cahyadi.

"Hehe, apa kabarmu Mas Dwi," tawaku berjalan turun dari atas jembatan tak sabar untuk bertemu.

Di sisi bawah sebelah timur jembatan pas di turunan sebuah rumah sudah berdinding batu bata namun belum di cat jua masih berupa batu bata menghadap ke barat dengan pekarangan depan atau dalam bahasa Jawa latar yang cukup luas telah terlihat.

Itulah rumah keluarga Pakdeku

Pakde Sumadi adalah suami dari kakak perempuan Ibu paling tua Bude Karmani mereka sudah lama merantau dan menetap di desa Sentullio. Dahulu bapak dan ibu jua merantau kemari hingga suatu saat memutuskan pulang ke Jombang dan membeli satu tanah lalu membangun rumah dan menetap di desa.

"Assalamualaikum Pakde Sumadi, Mas Dwi," teriakku mengucap salam dari depan pelataran rumah Pakde Sumadi terus berlari menuju mereka yang sedang asyik mengobrol di depan rumah tentang bapak dan anak.

"Woi Dek Pen, ini mimpi apa ya, Waalaikumsalam, woi Dek Pen," jawab Mas Dwi berlari menyambutku.