Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 22 - Kosan bisu

Chapter 22 - Kosan bisu

"Subehaballah Walhamdulillah Laillahaillah Allahuakbar."

Lantunan-lantunan tasbih terus menggetarkan dinding kalbu seakan menghancurkan kokohnya ego yang di balut dosa. Membayangkan keangkuhan masa muda adalah kehancuran hati. Pada akhirnya akan ku ceritakan jua entah dalam tulisan atau lisan.

Entah esok hari di tanyakan dari bibir kecil sang cucu atau anakku yang telah remaja pasti akan terdengar kisah ini jua. Kisah sebuah kemelaratan hati dan iman dengarkan dan ambillah denting dawai kepositifan dalam jiwa bukan hanya mata atau khayalan seandainya.

Atau meneguk lidah dengan mata melotot dan tenggelam dalam bujuk rayu setan. Seandainya dapat kuulang pasir waktu akan kubalik tempatnya. Agar aku dapat kembali dalam masa lalu yang pernah berjalan di sana dengan tonggak dada dan terbakarnya amarah masa muda hanya dengan satu ejekan.

Akan ku ceritakan kisah awal mula kehancuran dari awal kenikmatan sesat sementara namun hancur lebur di ujung waktu dan membenahi berpuluh jarak antara tahun dan hari. Hingga hari ini aku menangis hingga malam ini aku menangis mendengar Asma Allah dan Rasulnya dengan guncangan hebat dan mata berair.

Duhai celakanya masa muda yang akan ku dongengkan semoga kalian tak terhanyut dalam maksud yang samar. Karena bukan hal yang kubicarakan tapi akibat dari sebab yang ingin kusampaikan pada lembar-lembar bait ke depan.

Simaklah dengan teliti bukan menggurui bukan menjerumuskan tapi memberi contoh karena satu sebab menempuh akibat begitu dahsyat dengan luka hati karena derasnya tangis menengadah tangan memohon ampunan.

Kuharap kalian mengerti begini kisahnya ini tentang awal mulai hilang kegagahan. Awal mulai hilang sebuah nama dari keutamaan lelaki yang harusnya sebanding dengan mahkota wanita yang ia jaga hingga akad dan harusnya pun sama bagi si lelaki haruslah menjaganya hingga akad.

Tapi aku, tapi ya sudahlah semua telah terjadi.

***

Ini tentang aku dan Linda Kristiani di sepetak kamar kosan sebelah dalam desa Gambiran pas gang belakang polsek kecamatan Mojoagung. Ini tentang kami di malam pertama tanpa ikatan dan aku siswa kelas 2 SMK dan Linda siswi kelas 3 SMK.

Sejenak kisah tentang meraba dalam gelap di ruang kamar kosan dengan bercahaya temaram lampu kecil mainan untuk belajar yang teronggok tegak di atas meja belajar di samping rak buku dan di atas ranjang kecil berkasur kecil.

Ini tentang tarian dewasa di tengah malam obat luka dari hawa dingin yang mulai menyelusup sampai di bawah baju hingga bawah kulit menggigillah sekali arti. Dari goyangan pinggul dan lekuk dada Linda Kristiani dan aku hanya mengalir seirama detak jantung dan godaan setan yang berbisik ayo tidak ada yang melihat.

Dan akhirnya kutanggalkan semua walau badan serasa kaku setelah perang berakhir di belakang terminal. Ku panggut satu bibir basah yang biasa kulihat dari curahan curhat dan menyajikan tutur kata dewasa dari petuah bijak anak sekolah.

Kali ini ku hajar habis tiada sisa ludes bagai mengunyah buah apel atau mengecap jeruk ranum nan segar. Ini kisah malam laknat yang nikmat satu keranjang berselimut satu berbantal satu namun berdua.

Kibasan rambutnya seakan menghipnotis dari mata dan wajah sampai dada yang terlihat menindih di atas tubuh namun aku hanya diam menghayati.

Ah sial...! kenapa malam seperti ini bisa terlalui dengan penuh menggebu dan keringat bercucuran menetes bagaikan mengikuti lomba maraton kala 17 Agustus datang berjarak 45 kilo meter.

Dan kenapa wajahnya terasa enak bagai sayur bayam yang tersaji di kala panas terik setelah seharian hawa begitu panas.

Ah kenapa bibir itu sangat terlihat menyegarkan bak umpama seharian tiada mengecap satu teguk air pun dalam tenggorokan. Sampai akhirnya aku mengiakan setiap kata yang terlontar dari mulutnya dan terus berpacu seirama nafsu. Mengikuti alur gerak pinggul dan tarian rebahan di atas kasur.

Malam itu tembok kosan jadi saksi, bantal kasur jadi saksi, seprei warna pink yang ternoda ludah dari sari pati kehidupan surgawi jadi saksi. Malam itu atap kamat kosan jadi saksi dan selimut jua jadi saksi tanpa adanya akal sehat tak bicara hanya mengaduh kadang menahan dari gigitan bibir.

Ini apa, apa ini salah atau benar aku tak mampu membedakan malam itu. Aku tak sadar lagi bahwa aku masih berstatus pelajar kelas dua sebuah sekolah menengah kejuruan di salah satu sekolah di area kecamatan Mojoagung. Dan seorang gadis gemulai yang sangat ahli dengan cinta atau asmara bahkan kemesraan berlabel ranjang.

Yang jelas dan terang walau malam tiada terang walau kamar sepetak kosan hanya bercahaya temaram.

Aku kehilangan yang di sebut masa depan yang harus kujaga hingga akad tiba bersama yang ditakdirkan bersama ku dalam pelaminan biru hingga hari tua akankah aku mengerti bahwa suatu hari nanti di masa depan berpuluh tahun selanjutnya aku harus bersusah payah sebab malam ini dengan akibat terlalu panjang jalanan terjal dan berliku.

Sejenak aku melihat wajah Linda di atasku yang semakin ranum berkali-kali ia berkata maaf Adek, namun serasa aku mendengarkan samar. Tapi tak terdengar jelas di telinga. Sejenak aku melihat mata Linda yang sayu menyipit yang biasanya melotot tajam kini sayu menatap mataku penuh keinginan.

Lalu setan berbisik di telingaku tanggung di dalam saja. Namun wajah sang primadona malam ranjang kosan seakan mengisyaratkan dengan pucat wajah jangan di hantamkan sayang.

Hawa semakin beku dan angin berbisik merdu walau tanpa rindu walau tanpa kecapan teduh denting dawai asmara tapi dari jatuhnya ujung rambut gadis yang memandangiku terlalu lama saat kami bergumul dosa dan kenapa aku menikmatinya.

Sekali terucap hanya mengaduh dan berkata ah saja, lalu ini apa yang sedang ku lakukan. Bukankah tadi aku datang kemari penuh keluh dan luka bahkan remuk sekujur tubuh kenapa tarian si cantik Linda di atas ku bagaikan bius berdosis tinggi hilangkan semua perih.

Kenapa semua keresahan tentang kehilangan beberapa nama tak terlintas sedikit pun walau sejenak melintas di ubun-ubun. Dan ranjang semakin berisik menjelang pagu. Dan gadis yang kusebut kakak semakin berteriak di ujung malam sekan ia sakit tapi kenapa wajahnya teramat bahagia.

Dan sejak saat itu aku baru tahu ada gambar kupu-kupu di sebelah kiri dada Linda agak ke bawah pas di atas pusar ku kira tak begitu jelas tersamar selimut warna merah muda. Sampai tiga malam aku menginap ku pikir untuk menyembuhkan lukaku.

Aku bertanya apakah yang di sebut kakak seperti ini. Ini kebaikan atau pembodohan siang saat dia pulang dia begitu telaten menyeka seluruh tubuhku membersihkannya lalu mengobati luka. Menyampirkan per helai baju di badanku.

Lalu saat malam berdentang pas di tengah petang iya membangunkanku.

Lalu melepaskan semua yang aku kenakan sampai tiga malam berkelanjutan.

Setelah tiga malam berlalu aku di antar pulan dan bapak dan ibu tak tahu apa yang kami perbuat di kala malam di satu ranjang sepetak kamar kosan dan hanya berucap terima kasih merawat anakku seperti biasanya saat beberapa saat lalu saat semua menjadi kebiasaan kak Linda mengantarku pulang dan berkata merawatku.

Dan hari ini aku sudah tak lagi di terminal aku hanya menatap langit di pundakku. Bersandar kepala kak Linda seakan kami satu kasih tanpa status dan hanya sebagai adik kakak saja.

Kali ini pun iya berucap di taman tengah kota Kebon Rojo kota Jombang, Maaf aku Dek Pendikku sayang," yang beda ada imbuhan akhir sayang di kata terakhir. Seperti biasa aku berkata, "Jangan dipikirkan kak Linda,"