Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 24 - Kerasnya Ibu Kota

Chapter 24 - Kerasnya Ibu Kota

Sudah pukul 05.00 pagi dan sudah sehari semalaman aku di dalam kereta. Menikmati laju kereta dengan tegukan kopi pahit sisa semalam yang ku beli dari pedagang asongan yang selalu keluar masuk dati gerbong satu ke gerbong lainnya.

Sudah habis pula kopi tinggal seteguk di gelas kecil semacam gelas minum air mineral bermerek yang di jual belikan para pedagang. Sisa ampas kopi dan masih tinggal satu tetes. Akhirnya ku paksakan masuk dalam tenggorokan demi membasahinya.

Untuk memberi rasa pelumas atau sekedar pelicin pengantar rasa rokok yang tinggal setengah batang jua sisa subuh tadi.

"Maysa Allah aku belum salat subuh," lalu ku tengok ke arah depan dan belakang sekiranya ada tempat kosong sejengkal untuk aku salat walau beralaskan koran.

Sekilas mataku tertuju pada wanita muda yang sedang hamil tua. Berdiri sendiri menempel di sudut gerbong paling depan tapi masih bisa kulihat. Dalam hatiku bertanya-tanya ke mana suami ibu muda ini. Sungguh tega wanita secantik dia dibiarkan bepergian sendirian. Menenteng tas berat hamil tua pula kasihan.

Mataku masih terus menatap sang ibu hamil yang masih sangat muda dengan wajah tampak letih dari beban berat tas yang ia bawa di tangan kanan dengan cara menentengnya.

Sedangkan kereta terus melaju begitu cepat membuat sang wanita muda yang tengah hamil tersebut sesekali hampir jatuh tak kuat menahan keseimbangan tubuh mungkin sudah terlalu letih.

Tiba-tiba pikiranku sealur dengan mata dan hati. Didera kebimbangan hebat di dalamnya dengan rasa mengaduk-aduk campur-aduk tak karuan. Antara mencari tempat untuk menunaikan salat subuh atau menolong si ibu hamil. Memberikan tempat duduk yang ku tempati agar dia bisa beristirahat.

"Ah ini sama-sama baik untuk dilakukan tapi aku bingung jua pada akhirnya. Di satu sisi kewajiban lima waktu terakhir yakni subuh dua rakaat. Di satu sisi memberikan tempat duduk pada si ibu muda yang tengah hamil tua agar busa istirahat tentu dia lelah," cakap ku dalam otak terus berputar berpikir keras mana yang akan aku dahulukan.

Jikalau dinalar haruslah Allah yang aku dahulukan pergi menunaikan kewajiban pokok sebagai manusia ciptaan namun rasa manusiaku memanggil dengan rasa iba dan rasa welas asih dari sifat Rahmannya Allah yang melekat sedikit pada diri.

Ah sudahlah aku putuskan untuk mengkode si ibu hamil dengan terus menatapnya berharap iya kembali menatapku lalu biar ku panggil ia dengan lambaian tanganku agar ia menghampiriku. Tetapi aduh kasihan teramat berat rupanya tas yang ia tenteng salah aku kalau memanggilnya dengan lambaian tangan lalu iya berjalan penuh kesakitan berdosanya diri ini.

"Kok jadi bingung aku ini," gerutuku kecil menghardik udara di sekitar yang penuh sesak oleh penumpang lain yang berjubel hendak bersiap turun karena kereta sudah mulai memasuki setasiun Jati negara di kemayoran.

"Dek maaf permisi sebentar saya mau turun tolong berdiri sebentar saja. Saya hendak mengambil tas yang ada di bawah kolong bangku belakang kakimu," pinta salah satu penumpang di sebelahku yang ternyata ikut turun bersama penumpang lain di setasiun Jati negara Kemayoran.

"Akhirnya ada tempat kosong dan aku bisa menolong si ibu hamil agar duduk di sini kasihan kan," gumamku sambil terus memandangi si ibu hamil dan akhirnya ia balas memandangku.

Akhirnya ku beranikan diri untuk melambaikan tangan ke arahnya beberapa kali dia baru mengerti. Dengan susah payah berjalan akhirnya iya sampai juga di depanku. Mungkin sedari tadi iya sangat berharap ada yang memanggilnya untuk memberikan tempat duduknya namun tiada orang peduli rupanya.

"Mas memanggil saya?" tanya si ibu muda yang tengah hamil tua dengan wajah dan mimik muka seakan penuh harap agar aku membantunya.

"Iya Mbak kebetulan tempat duduk di sampingku dan di depanku telah kosong. Silakan Mbaknya pilih mau duduk dimana terserah Mbak. Kasihan itu Mbaknya hamil lagi bawa beban berat apa lagi tas itu pasti berat," kata ku menyodorkan bantuan dengan niat tulus.

"Iya Mas terima kasih ya sudah mau menolongku. Sedari tadi aku menunggu ada satu orang seperti Mas yang bersedia menolong tapi tidak kunjung ada orang yang peduli," ucap si ibu hamil mulai duduk di samping kanan ku duduk sambil ku bantu menaruh tas besar yang ia bawa meletakkannya di rak panjang atas bangku gerbong yang memang disediakan untuk menaruh barang.

"Mbak maaf kini giliran aku yang mintak tolong," pintaku menatap si ibu hamil serius dan betapa terkejutnya wajah sang ibu hamil ketika ku mintai tolong kembali.

Mungkin dalam pikirannya aku menolongnya dengan pamrih sama seperti lelaki yang lain. Atau mungkin iya berpikir aku lelaki jahat dan laknat seperti umumnya lelaki hidung belang lain yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Sehingga wajahnya tampak bengong menampakkan kekhawatiran.

Segera ku tepis anggapan si ibu hamil yang terlintas di pikirannya dan segera terbaca di otakku dari sorot matanya yang menaruh curiga dan sempat ia kembali berdiri. Untuk kembali melangkah pergi seakan takut aku berbuat macam-macam.

"Oh tidak, tidak jangan berpikir buruk seperti itu Mbak aku hanya memintamu untuk membujurkan kakimu selonjoran agar aku dapat menggunakan bagian tengah bangku yang berhadap-hadapan ini untuk salat subuh aku belum salat subuh. Sedang waktu sudah pukul 05.15 menit aku takut nanti aku belum salat, tetapi sudahlah sang matahari mendahuluiku datang sehingga aku telat untuk menunaikan subuh celakalah aku," kata-kataku ku utarakan dengan memperjelas intonasi agar ia tak salah mengerti.

Lalu dari senyumnya dengan rasa kelegaan karena salah mengira ia perlahan membuat kakinya di selonjorkan di atas bangku. Sedangkan aku mulai menggelar koran bekas yang kubeli semalam memang khusus ku beli untuk alas salat sebab aku tak membawa sajadah dari rumah.

Beberapa saat setelah aku menunaikan salat dua rakaat Fardu subuh dengan akhiran dua kali salam. Ku tengok sejenak si ibu hamil di sampingku. Yang telah tertidur pulas dengan tas ku di jadikan alas kepalanya.

"Aduh mati aku. Nanti kalau sudah sampai setasiun Senen. Dan aku hendak turun si ibu ini tidak bangun dan memang tidak turun seperti tujuanku di setasiun yang sama bagaimana aku membangunkannya. Tidak tega dan tak sampai hati aku kelihatannya pulas benar dan kelihatannya ia sangat lelah sehingga gampang terlelap, ah biarlah masih satu jam lagi ini sampai di Senen," gerutuku ngomong sendiri sambil menepuk jidat beberapa kali.

Ku coba lebih baik hati dengan melepas jaketku untuk menutupi lutut si ibu hamil yang baru aku sadar ia memakai baju semacam model daster tapi hanya sampai selutut. Sehingga bila ia gerak sedikit atau mengganti posisi kaki bisa-bisa terlihat seluruh isi dalamnya.

Enak dong para bapak yang duduk di sebelah kiri ku yang pas di sebelah bangku. Hanya di pisah satu ruang khusus untuk jalan.

"Perhatian kereta api gaya baru malam dari Setasiun Pasar Turi menuju pemberhentian akhir Setasiun Pasar Senen Jakarta Pusat telah memasuki pemberhentian terakhir. Bagi para penumpang tolong di cek barang bawaannya jangan sampai ketinggalan dan tolong berhati-hati saat keluar dari pintu gerbong kereta," suara petugas setasiun telah terdengar dan sudah saatnya aku turun yang ternyata kereta hanya sampai di setasiun pasar Senen. Berarti si ibu hamil ini turun di sini dong sama denganku ucapku dalam hati.

Dengan berhati-hati kucoba menggoyangkan lengan tangan kananya kebetulan iya tertidur dengan posisi miring tangan kiri di bawah menghadapku yang sedari tadi menunggui iya terbangun agar aku dapat mengambil tasku.

Saat aki menggoyangkan lengannya tiba-tiba iya mengganti posisi tidurnya menghadap sandaran bangku tempat duduk kami tadi. Sehingga tanpa sengaja tanganku menyelusup ke dalam area sensitif bagian dada dan tertindih antara dada dan sandaran bangku.

"Aduh nah kan benar Ya Allah ini ujian apa cobaan apa hadiah ini, haduh gimana ya membangunkannya, eh ke pencet," ketika aku tanpa sengaja saat menggerakkan tanganku sedikit ada yang ke pencet dan si ibu hamil langsung bangun dengan melotot dan memaki ku mengira aku memanfaatkan kesempatan seperti lelaki lainnya dan berlalu pergi dengan kemarahan turun dari kereta.

"Oalah Jakarta keras Gaes baru datang belum turun dari kereta sudah kenak damprat ibu-ibu hamil. Wes angel, angel (sudah susah, susah)," kuambil tas yang tadi dibuat bantal si ibu hamil dan mulai berjalan turun dari gerbong nomor lima.