Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 21 - Gubuk Asmara

Chapter 21 - Gubuk Asmara

Kutipan : Bijak dalam membaca ambil positifnya bukan negatifnya.

***

Saat angin semilir menggodaku dawai perdu ilalang seakan merayu-rayu. Menatapmu dengan wajah sendu menjadi keharusan selayaknya sebuah candu melambai segelas dan menggiurkan untuk di teguk.

Saat pematang adalah wahana semaian cinta dan luas sawah adalah alas tapak kakimu berlari kau mengajakku bermain di kala pagi dengan senyum yang sama dengan merekahnya fajar tiba. Aku tak mampu menolak saat kau bisikkan sebuah panggilan mesra.

"Kang Mas Adek Cinta," serasa aku hanyut sampai bermuara pada lautan susu yang tak pernah habis walau di teguk seluruh alam.

Kisah ini saat kutatap tubuhmu dari ujung hingga ke ujung aduhai dek Surti Sartiani anak bapak Kasdu dengan ibu Mariani gadis manis tetangga rumah Pakde Sumadi. Kau yang seakan memberi isyarat kedipan mata manja dengan penuh irama nada cinta.

Dari situ aku mengerti masih tumbuh semi mawar-mawar cinta penuh di taman bunga yang terbentuk sudah lama di salah satu taman dalam ruang hatimu. Sore itu kau yang melenggang ayu di depanku seperti biasa aku dan secangkir kopi dan sebatang rokok menemani rasa lelah dan penatku seharian bekerja di salah satu pabrik kertas bernama PT INDAHKIAT depan desa. Setelah seminggu yang lalu panggilan interviu telah gamblang ku datangi dan kata sukses ku buahi.

Secara tak sengaja pucuk dari lambaian ujung daster yang terkibas kipas angin yang di pasang Pakde Sumadi untuk beliau agar tak kepanasan, cuaca sedang terik padahal hari telah gelap terasa sampai keringat terus menetes hingga basahi ubin.

Berkibarlah pangkal daster diatas lutut tersibak agak ke atas. Alamak mataku sungguh nakal entah sengaja atau tidak aku telah melihatnya sebuah bentuk indah surga dunia.

Dan daster tak berlengan yang hanya menyisakan rumbai-rumbai kecil di pundak menambah haus rasa telan ludah hingga kerongkongan.

Namamu Dek Surti begitu selalu ku panggil entah kau sengaja atau memang tak sengaja setelah aku seminggu menetap di desa dan telah bekerja. Sejak saat itu setiap setelah isya berlalu kau bagaikan peragawati ternama dengan busana pantai ala kadarnya datang walau hanya daster menempel di sana.

Jalanmu aduh meliuk sampai menusuk uluh hatiku. Dan kau tahu aku ingin menikmatinya, mereguk sari ranum atau menghisap madu kuncup atau mencicip sari jasmani yang selalu kau iming-imingi setiap kau lewat.

Kemarin paginya saat ku ikat kata asmara dan jalinan cinta dan kau dan aku berikar janji menjadi pasangan kekasih bak angsa atau merpati yang selalu menempel begitu jua kita selalu ada dimana ada Pendik di sana ada Surti hingga para tetangga menyebutnya dua sejoli.

Ketika pagi tiba setelah malam hujan tak reda dan aku tengah bersepatu di teras depan rumah kau berlari memelukku seketika mencium pipiku dan berbisik sebuah kata yang membuat jantungku tersentak kaget dan melonjak antara kegirangan atau kebutaan cinta atau apalah itu artinya.

"Kang Mas Pen aku bersedia kau teguk bagaikan kau kumbang dan aku bunga. Aku siap menyuguhkan madu yang segar untuk kau nikmati," bisikanmu pagi itu pelan namun penuh arti setidaknya kau sudah pintar mengubah kata menjadi indah seindah dirimu sang kupu-kupu.

Malam berganti dan saat perjanjian tiba kala dunia sepi dari manusia dan lelapnya. Tanganmu menuntunku masuk terlalu jauh di sebuah gubuk tengah ladang tetangga. Sebuah gubuk kecil tempat dimana pak tani beristirahat melepas lelah. Dan akan kita gunakan sedikit beraktivitas melepas keringat sebut saja olahraga di waktu petang datang.

Deru nafas menggebu saat ludah bertukar ludah, dada pun serasa memburu saat daster biru telah terlepas dan begitu saja menyampir di sebuah bambu kecil untuk sebuah pegangan antara tiang gubuk ria. Sebut saja gubuk ria namanya karena asmara gembira tengah malam bergoyang di sana.

Malam itu sendu wajahmu adalah obat lelah, malam itu harum nafasmu adalah penghilang penat, malam itu harum tubuhmu adalah khayalan yang menjadi kenyataan. Malam itu gerai hitam rambut panjangmu serasa titian tangga menuju surgawi dunia.

Geliat tingkahmu meliuk ke sana dan kemari dan tak bosannya mata ini memandangi penuh semangat. Saat kau kembali berbisik sambil menundukkan kepala dan matamu dengan mataku beradu dan wajahmu serasa dekat di wajahku.

"Terus Kang Mas Pen jangan kau hentikan,"

Bagai kunang-kunang dengan hamparan bunga Tulip dan di tengah-tengah adalah telaga. Betapa indah malam kita berdua walau di hiasi rumbai daun rumbia dan di alaskan bambu pecah yang di tata rapi sedemikian rupa menjadi satu kesatuan bernama gubuk ria tengah sawah tak mengapa.

Memang benar terciptanya sela-sela jari yang beruas-ruas. Terbukti malam ini ruas antara jari dan ruang jari telah terisi dengan gegaman manis jemarimu yang serasa kencang menggenggam jemariku.

Di kala sinar rembulan seakan malu melihat tingkah kita dan iya menutup wajahnya bersembunyi di balik awan hitam. Di kala awan hitam terharu hingga meneteskan air mata lalu bersimpul menjadi rintik gerimis. Angin bersua rupanya memberi semangat dingin sehingga merespons pada gerakan tubuhmu bidadari.

Kau semakin cepat berayun bagaikan daun pepaya tanpa dahan lentur berkibas terkena angin tak menentu. Lalu tetes demi tetes keringat yang keluar dari pori-pori wajah dan seluruh kulitmu tiada terhayati bagaikan aroma minyak Kesturi.

Lalu per lekuk sendi ruas tubuhmu terpampang jelas terlihat mata lalu meneruskan ke otak tapi tak masuk dalam hati namun masuk pada akal gila yang membuat malam itu adalah surga kita.

Hingga hampir pagi datang lalu ku antar kau pulang melewati jendela warna biru pas kamar tidurmu. Istirahatlah dalam lelap sayang karena kau adalah bunga yang telah ku kecup sari patinya.

Kau hanya mengangguk letih menampakkan wajah puas tak terbayang keberingasan gadis desa baru seumur jagung begitu hebatnya. Kisahku bersama Si Cantik Surti selalu mengiang hingga hari ini betapa tidak pada akhirnya aku mengerti kenapa aku selalu menangis meratapi malam di masa depan bertahun-tahun setelahnya. Ketika tahu hakikatnya malam bejat di gubuk sawah milik tetangga.

Hijrahku lama tak terjangkau kini perjalananku dalam menggapai nirwana terasa bagai beban berat karena dahulu menyinggahi kenakalan remaja. Benar pepatah orang Jawa Kuno.

"Yen awak dewe wes tau nakal medok ilmu opo ae angel melbune," yang berarti kalau kita sudah pernah nakal tentang bergonta-ganti pasangan dan melakukan hubungan selayaknya suami istri tapi belum sah pengertian atau ilmu apa pun susah kita cerna dan susah masuk dalam hati.

Sebulan setelahnya setellah aku berganti pabrik dalam bekerja dan akhirnya aku di tempatkan jauh di ujung barat pulau Sumatera tak lagi kujumpai Surti dan tak bersua kabar kembali. Setelah setahun aku di bawah langit Palembang Surti di nikahkan dengan kepala desa muda yang katanya memuja Surti sejak lama.

Karena masalah hutang piutang sang bapak akhirnya Surti menyetujui menikah dengan kepala desa muda. Pada akhirnya cinta tinggallah cinta deritanya tiada akhir jua dan kembali harus kandas oleh nama Harta dan Tahta. Tapi kali ini gadis manis Palembang kemarin sore yang ku lihat berjalan di depan pos Satpam begitu gemulai menarik hatiku.