Ketika teduh mata Amanah seakan berbaur oleh fajar pagi nan lembut selembut kapas atau teduh seteduh embun kala pagi bersua mentari pagi. Kala senyum Amanah merekah wangi indah menabuh kata cinta getarkan dinding sanubari.
Bak mewah bunga paling mahal harga di salah satu toko bunga tampak sedap di pandang. Oh tidak bahkan senyum rekah bibir tipis amanah bukan barang pajangan. Oh tidak, bahkan senyum bibir ranum Amanahku tidak untuk dijual dan tiada ternilai walau seribu bunga di taman di sandingkan.
"Mas, Adek sudah siap," kerlingan mata Amanah menyambutku hanya dengan satu kedipan dan tersambung satu kalimat saja. Mungkin sebab itu aku sudah mengambang di antara taman surga. Sebab terlalu hanyut aku oleh semai cinta merdu dari sorot matanya.
Pagi ini kami akan pergi sesuai janji ku, janji Amanah dan janji kita. Untuk pulang ke peraduan rumah masa kecil Sang Dewiku Amanah. Sebuah kampung halaman di pinggiran kota santri nan asri Jombang tercinta bernama desa Mojokembang.
"Mari Dekku," ku balas senyum menggenggam tangannya setelah meminta restu dari kata pamit pada sang wakil orang tua kekasihku Amanah sang bunga desa yakni keluarga Mas RT Sumadi.
Ku genggam erat jemari tanganmu dan genggaman erat jemari lentik tanganmu.
Memberi arti sungguh benar Allah menciptakan tangan beruas-ruas dengan fungsi untuk saling melengkapi. Terbukti untuk pagi ini tanganku menggenggam tanganmu dan kita melangkah berdua untuk meminta restu sang orang tua.
Lihatlah mereka tersenyum melambaikan tangan dan berkata, "Hati-hati dijalan ya Dek Kas, Dek Amanah," mereka keluarga kita Mas RT Sumadi mengantar kita di depan pintu rumahnya sambil terus tersenyum melepasmu dan melepasku.
Mengantarkan kita dari pintu yang sama seperti setiap sore malam minggu kemarin aku bertandang meminta restu. Kini aku kan mantapkan langkah dengan Bismillah menuju pintu restu selanjutnya. Sejauh mana pun pintu itu berdiri menjulang tinggi atau terlalu tak mungkin di lewati demi engkau sang bidadari hati akan kulalui apa pun bahaya yang menghadang.
Karena cinta ini setinggi langit sampai lapis ketujuh bahkan aku sampaikan pada malaikat kutitipkan pesan padanya di kala subuh dengan tengadah tangan agar tersampaikan pada Arasynya Allah.
Karena cinta ini setinggi gunung menjulang tak akan hilang walau masa telah berganti. Walau musim berganti dan usia kita telah menggerogoti dari kata tua. Cinta dan hati ini tak akan pernah mati Adinda Amanah ku.
Saat bus Prima Rajasa bersua bangku dua jajar kita terduduk diam menanti pemberhentian di terminal bayangan Kebun Jeruk kala waktu berkata pada area Jakarta barat dan teramat tinggi sudah sengat Matahari di badan ini. Aku rela menjadi payungmu agar teduh wajahmu tak akan sakit karena sengatan sinar surya yang teramat jahat sayang.
Tenanglah seperti siang ini, tetap duduklah di sampingku. Tetaplah sandarkan kepalamu di pundakku, tetaplah terpejam matamu aku di sampingmu dan akan selalu begitu tetap di sampingmu tak akan pergi ku janjikan itu menjadi pelindungmu hingga tua nanti.
Saat Jakarta bersua pada satu tempat berikutnya. Yakni sebuah rumah pemberhentian kereta api. Yang kerap di sebut banyak orang sebagai nama setasiun Senin Jakarta Pusat. Dan saat kita di bawa lari oleh kereta ekonomi berplakat nama Gaya baru malam. Kau dan aku dan gerbong nomor lima. Entahlah mungkin suatu hari nanti anak kita akan mengerti betapa saksi bisu gerbong kereta nomor lima sangat berarti bagi orang tuanya.
"Mas Kas, Adek lelah," sedikit kata-katamu dan redup layu wajahmu. Tak akan ku biarkan rentangkan kakimu sayang, tidurlah di pangkuanku, terlelaplah dan tuangkanlah segala penatmu di tubuhku. Biarkan aku lelakimu yang menanggung lelahmu. Biar aku terjaga walau selamanya aku rela asal kau merasa tenang dan damai bersamaku Juwita surgaku.
Begitulah cerita kereta api bersamamu tertatih bersama lajur bantalan rel menuju begitu jauh ke arah timur di mana kota masa kecilmu dan masa kecilku bersua. Aneh ya Dek Amanah kau dan aku adalah teman kecil dahulu dan teramat kecil untuk mengerti bahwa pada akhirnya kita adalah satu.
Aneh ya Dek Amanahku kau dan aku adalah pemuda dan pemudi bersebelahan desa namun tiada pernah menyapa walau berpapasan muka. Tapi hari ini aku mengerti bahwa kau bidadari terindah yang pernah kutemui.
Sudah tidurlah sayang di pangkuanku di atas bangku kereta malam ini. Biarkan aku menikmati wajahmu yang begitu ayu di hati ini. Biarkan aku menikmati untuk memandang rekahan bibir tipismu yang selalu manis untuk kunikmati walau sekedar memandang saja.
Tetaplah tertidur sayang hingga kereta bersua kota kecil di barat Surabaya. Sebuah kota dimana kita bermula dan semua cita dan cinta bermula disana. Kuharap anak kita kelak jua tahu akan istilah hal itu dan selalu rindu akan pulang pada kampung halaman walau jarak terlalu jauh bahkan mungkin sampai ujung Sumatera langkah anak kita kelak berlari. Biarlah asalkan ada satu rasa kecil dihati kecilnya kelak untuk sebuah isyarat akan kerinduan kampung halaman dan bersua kita bila kelak kita sudah sama-sama telah tua.
Semuanya kan ku lakukan untuk dapatkan cintamu. Walau panas terik membakar punggung ini di kala siang menyapa tengah-tengah matahari saat sang Raja siang bertengger mesra di atas ubun-ubun dan membakar punggung ini. Biarlah tak akan kurasakan dan tak akan ku rasa sebab di mata hanya sorot ayu matamu dan perjuangan cinta kita.
Semuanya kan ku lakukan demi dapatkan posisi terindah di lubuk hatimu bunga surgaku. Meski malam kujadikan siang dan harus siang kujadikan malam terus mengais rezeki tiada henti demi satu kata kau tersenyum saat aku menepati janji. Tak mengapa walau aku kurang terlelap asalkan kau berkata, "Terima kasih Mas Kas untuk menepati janjimu."
Semoga anak kita kelak berjuang untuk itu dari kata pantang lelaki melupakan apa yang ia katakan. Pantang bagi lelaki untuk mengingkari janji yang telah iya buat. Sebab itulah jalan cinta yang akan kuajarkan kelak pada anak kita suatu hari nanti.
Saat kereta telah bersua pada rel terakhir tujuan kita dan dingin angin pagi menyapa tubuhmu. Biarlah aku tanpa jaket biru yang kau beri padaku seminggu yang lalu dari hasil tabunganmu katamu, "Pakailah Mas Kas, jaket ini tanda cinta Adek padamu. Agar walau Mas jauh saat melihat jaket warna biru ini. Mas Kas teringat akan ada hati yang selalu menantimu pulang dan selalu akan ada hati yang harus Mas Kas jaga."
Biarlah aku yang di terpa angin dingin tak mengapa, biarlah tubuh ini yang menggigil tak mengapa dan aku sudah terbiasa akan dinginnya pagi buta. Asal kau tetap sehat dan merasa hangat aku rela.
Saat langkah kaki kita berdua melewati gerbang janji sebut saja iya gerbang janji. Karena disini adalah pintu awal mungkin kita akan kembali atau mungkin tak akan kembali pada kota dimana cinta kita disemaikan yakni kota Serang sebuah kota tanah merah gerbang para juara. Dan gerbang janji adalah pelataran setasiun kota Jombang kita.
Mari sayangku kita melambai pada Pak tukang becak memintanya mengantar kita agar kau tak lelah berdesakan pada tempat bangku panjang angkutan kota. Aku tak mau itu terjadi sebab aku tak mau kau merasa lelah di sampingku lalu bibir tipismu tak akan tersenyum kembali.
Setelah bersama becak dan Pak Tukang becak dan bersua pertigaan gapura bertuliskan sebuah desa bernama Mojokembang tinggal beberapa ratus meter lagi sayang pintu terakhir dari perjuangan kita terlihat. Sabarlah sayang semua pasti akan baik-baik saja, dengarlah walau bapakmu adalah seumpama singa sang Raja diraja hutan belantara aku tak akan gentar sejengkal dan akan kusampaikan niat baik dari kisah baik dan hati yang baik untuk meminangmu.