Chereads / Pesan Cinta Effendik / Chapter 18 - Puisi Cinta Kasturi

Chapter 18 - Puisi Cinta Kasturi

Malam ini Kasturi tampak gelisah terlihat di guratan kening mengerut bagai tertiup angin malam yang beku. Malam ini Kasturi tampak begitu resah terlihat dari bola mata memandang tanpa arah, seakan iya dikejar oleh perasaan yang tak menentu.

Di sandarkannya tubuh pada sandaran kursi kayu, menataplah ia sambil menghela nafas agak panjang pada rem ulan putih keemasan di bawah teras gubuk yang ia tinggali.

Di tangannya sebuah surat beramplop warna merah muda, berbau sangat wangi dan bergambar sepasang sejoli dalam bentuk karikatur cinta. Dadanya masih berdegup kencang, pikirannya melayang pada yang bukan-bukan.

Sore yang tadi setelah seminggu yang lalu iya datang bertandang ke kediaman Mas RT Sumadi untuk melamar kekasih bunga jelita idaman hati. Sebuah pucuk surat di antar oleh seorang kawan bernama Melati sahabat kental dari Sang Dewi impian masa depan tak lain tak bukan si bunga desa Amanah tercinta.

Tangannya kembali gemetar memegang amplop kecil di tangan kanan. Dengan berbagai pertanyaan klasik terus memutar diotak dan kepala. Akankah isinya isyaratkan bahagia atau malah membuat aku sengsara? Dengan serampangan tangan kirinya meraba meja kayu di samping iya terduduk mencari segelas kopi yang ia seduh beberapa saat yang lalu. Hampir saja tertumpah saat iya menemukan gagang gelas di atas meja.

"Untung saja tak tumpah, ah kenapa sih Kasturi tenangkan dirimu," sambil meneguk segelas kopi Kasturi mencoba menenangkan diri dengan satu sulutan rokok yang telah menempel mesra dibibirnya yang hitam akibat panas dan kerasnya kehidupan.

Akhirnya sekuat tenaga dan mengumpulkan beberapa kotak keberanian di hatinya. Amplop surat dari Amanah telah terbuka berisikan selembar kertas yang dilipat rapi dengan garis-garis kertas berwarna-warni. Di ujung atas lembar kertas bergambar tanda cinta tertusuk panah dan di warnai merah hati.

Bibir Kasturi sejenak tersenyum memandang simbol cantik yang dibuat Amanah. Seakan simbol dimuka atas lembar kertas menandakan kasih tulus ikhlas Amanah pada Kasturi memang abadi.

Kasturi masih belum membacanya sekedar meneliti bagan surat yang bertulis tangan rapi. Tetapi di bentuk selayaknya tatanan bait-per bait puisi cinta. Dengan kata-per kata indah bermakna dalam dan tersirat tajam akan rasa suka yang tercurah oleh Adinda Amanah.

***

Teruntuk Mas Kas tersayang,

Kupu-kupumu ini sekarang tak kuasa terbang menemui

Sabarlah kumbang ku bahkan hari itu pasti datang

Dimana kita adalah Raja dan Ratu sehari

Sabarlah pangeran tampan diatas kuda perang

Bahwa kemenangan pasti ada dan hari kita pasti hampiri

Dimana kita semalam bercerita tentang siapa nama anak kita

Kemarinnya lusa surat melayang dari sang bapak di alam desa

Beliau dengan petuah begawan bak resi petapa berkata

Pulanglah untuk niat baik dan semailah cinta di rumah masa kecil

Datanglah dengan sang bujang untuk restu berbilang

Dan sore ini kekasih Rajaku Kang Mas Kasturi

Adek menyampaikan maksud dari lubuk dan sanubari

Mari kita bersama kereta api bersua tanah kelahiran

Sujud restu di kaki ibuku dan bapakku

Agar restu langit dan bumi

Agar restu Sang Pencipta bagai hujan bunga dari langit

Lalu selayaknya kita bak Romi dan Yuli

Bak Sampek dan Intai

Bak Kebayan dan Nyi Iteng

Dan kita adalah Amanah dan Kasturi

Dari bungamu Adek Amanah

***

Memang sepucuk surat dari Amanah melambungkan rasa bahagia setinggi langit di relung dada Kasturi. Memang kata-kata mesra dan manis serta sangat puitis dari lembar surat bertulis tangan oleh Amanah membuat mekar bunga setaman dalam ruang kalbu Kasturi.

Tetapi ada satu hal yang menjadi kenyataan dan pengganjalan bagi Kasturi. Untuk mewujudkan keinginan sang kekasih hati bersua orang tuanya di kampung halaman demi restu mereka. Tabungan Kasturi belum cukup untuk itu, jikalau untuk berangkat berdua dengan Amanah hanya untuk pulang iya mampu. Tetapi untuk kembali pulang ke Serang iya belum lagi terkumpul untuk biaya itu.

Wajahnya kembali tertunduk lesu setelah beberapa saat tampak cerah merekah dan wangi bunga. Kepalanya kembali lesu menatap tanah setelah beberapa saat penuh harapan dan keindahan langit mendongak bangga pada cintanya seperti lukisan bintang-bintang yang berkedip elok sebagai lukisan alam.

"Ah memang Dek Amanah tak salah, memang harus meminta restu pada orang tua itu harus dan kewajiban bagiku. Tetapi aku belum cukup tabungan untuk itu, ah kan jadi pusing begini ya. Sebentar-sebentar tenang tarik nafas dalam, huftz..., mulai berpikir. Kamu pasti mampu Kas, ayo cari ide atau jalan keluar," Kasturi terus menggerutu sendirian di bawah atap langit malam desa Sentullio nan cerah namun hatinya sedang tak cerah saat ini. Ada satu syarat lagi untuk mendapatkan buah hati agar ia lalui.

"Ah kenapa surat tak dibalas dengan surat saja, yah-yah benar. Ku tuliskan saja bait-bait puisi seperti yang dilakukan Dek Amanah dengan makna agar iya sabar menungguku. Bahwa Sang Pangeran sedang berjuang di medan perang untuk mewujudkan apa yang dimaksudkan. Untuk mengumpulkan tabungan agar dapat pulang bersama," Kasturi terus mondar-mandir di bawah teras sambil terus ngedumel.

"Ambil buku dan pulpen, dimana ya? Oh iya di atas bantal. Seingatku kemarin aku menaruhnya disana," bergegaslah Kasturi melangkah ke dalam gubuk mencari buku dan pulpen yang ia miliki untuk mencatat neraca keuangan setiap minggunya agar mendapatkan sisa dari teraturnya keuangan. Dan dapat menabung untuk cita-cita luhur memperistri Amanah.

***

Teruntuk Bungaku Dek Amanah,

Dengan kerinduan akan rembulan pada bumi atau cinta merpati yang selalu abadi

Atau kasih tulus matahari sinari alam ini

Ku sampaikan serat cinta dan kerinduan akan tak berjumpa selang seminggu

Amanah bidadari kala magrib tiba

Jatuhnya pandangan ini seperti biasanya

Pada ujung mukena dan manik-maniknya

Jatuhnya rasa resah akan kerinduan sang Raja

Pada permaisuri hati kala pagi tiba

Di saat pita ungu menggelayut mesra menari merayu di benakku

Mengertilah bunga melati di taman hati ini

Bahwa aku kumbang sedang berjuang

Untuk sampaikan keinginanmu dan bersabarlah hingga tiba waktu

Dimana kau dan aku dan aku cukup waktu membawamu

Membawamu pulang bersua bapak dan ibu menyahut restu

Kau tahu pangeran kuda putih ini terus berusaha dan terus berusaha

Hingga habis kucuran keringat seperti biasanya

Jangan bersedih dan bermuram durja

Pastikan senyuman manis bibir tipismu selalu bersemayam indah

Indah seperti kemarin atau kemarinnya lagi atau kemarin yang lalu

Agar aki dapat terus berjalan memantapkan hati demi satu hal

Satu hal antara di mana hari berhias bunga dalam pelaminan

Dimana malam kita terus bercerita antara kau dan aku

Antara buah hati kita yang kelak ada

Dan kujanjikan kisah klasik antara abadi terukirnya

Namaku dan namamu

Kasturi dan Kau Bunga hati

Adinda Amanah wahai Bidadari

***

Lalu selembar kertas bertulis tangan oleh Kasturi berisi guratan isi hati terlipat rapi. Untuk esok hari kembali iya menitipkan kerinduan dan cinta melalui sahabat karib Amanah Si Melati.

Dan malam ini iya ingin terlelap bertemu kekasih hati dalam alam mimpi. Bercerita dan berkeluh kesah akan perjalanan hidup yang tak mudah. Bahwa iya adalah seorang pejuang dunia dengan segala batu karang yang tak berbilang jumlahnya menghadang.