Aku berdiri di bawah atap langit, di bawah teras rumah kecil dari masa kecil. Aku memandang pesona magrib ufuk barat dan membelakangi pelantaran gelap ufuk timur. Aku Bagus Effendik yang kerap dipanggil beberapa anak kecil dengan nama Cacak Pendik atau Cacak Endik.
Aku akan terus memperhatikan dan menyimak dua desa ku antara Mojokembang dan Serapah. Akan terus berdoa agar mereka yang menghuni di setiap atapnya kembali benar. Selayaknya kami di sini yang berusaha berdiri untuk tetap berusaha belajar benar.
Matahari terus menggelincir sambil menguap merekahkan bunga getir berwarna darah yang di sebut semarai dari ufuk barat. Dengan awal merah bata menuju anyir darah segar bagi yang mengetahui atas bau atau kecap atau pandangan mata anugerah.
Kami para pemuda Negari burung raksasa sang raja udara Garuda. Akan terus berdiri disini di atas langit dan terus mengamati. Mereka yang berjuang di seluruh pelosok Negari dari kata pandemi.
Kami sang penjaga diantara desa-desa yang selalu memutar tasbih Insya Allah akan terus memutar tasbih di relung hati berucap puja-puji pada Sang Maha Cahaya dari junjungan terbesar kami Sang Nabi. Kami tetap terus memandang mengamati tanpa mereka tahu tanpa banyak manusia tahu dan memang tak perlu tahu atau memang kami tak ingin memberi tahu bahwa kami ada para pemuda Negari berwarna putih dan darah.
Kami tak akan bergerak walau diperintah oleh kepala Negarai. Kami tak akan bergerak walau di perintah oleh kepala dunia. Kami hanya bergerak kalau yang memiliki empat penjuru mata angin berkata bergerak. Kami hanya bergerak dalam gelapnya gelap dengan bayangan senyap di balik bayangan dan terus menghilang saat terang datang.
Kami para pemuda yang disebut jaman terakhirnya jaman akan terus menatap langit dan memahami bumi terus membaca alam dan mengilhami air laut, mengecap hawa gunung atau kabut dingin yang datang bukan untuk membinasakan yang benar tapi mengeliminasi yang salah.
Kami yang lahir selalu di tengah-tengah desa yang kami lihat dan akan kami selalu doakan agan tetap ada walau wabah terus menggerogoti setiap dada makhluk bumi. Kami ada tapi kami biarkan tak ada sebab itulah perintah dari Yang Maha Ada tapi tetap tidak ada.
Mata kami tajam nafas kami panas dan pikiran kami fokus langit, tetapi raga kami adalah bumi. Kaki kami menginjak bumi tapi ruh kami berada di antara para malaikat bahkan raga tak bersinggah nyawa akan selalu seperti itu.
Karena kami ditakdirkan bukan hanya kami tapi kami banyak di antara kalian walau tak kelihatan. Kami akan terjaga setiap malam datang hingga ayam jago bernyanyi atau takbir subuh berkumandang. Lalu kami terlelap sebentar mengistirahatkan mata semalaman bekerja dari kata Nur Zat yang paling Agung.
Kami akan tetap tenang walau di caci, kami akan tetap tenang walau di maki, kami akan tetap tenang walau di musuhi, kami akan tetap tenang walau banyak yang memburu untuk sekedar menancapkan belati di punggung atau dada kami karena sifat kebencian bertengger didada yang disebut penyamun.
Kami menjaga dari kemungkinan terburuk dari yang kami jaga. Kami ada demi keseimbangan yang mulai miring dan tak seimbang. Kami akan selalu bertengadah tangan tanpa air mata tanpa kesedihan dan akan selalu menyembah yang sejatinya wajib disembah bukan satu atau dua atau banyak tapi kami memandang satu langit yang berdiam sampai tujuh langit. Yang berdiam di dalam Kalbu atau yang selalu ada dimana-mana setiap kami ada.
Kami berjuang untuk tetap hidup agar yang kami perjuangkan hidup tetap yakin pada Yang Maha memberi hidup. Kami bukan penyakit atau kotoran tapi kami reka di sebut seburuk apa pun manusia menganggap kami. Karena kami diciptakan unik bahkan aneh bahkan lebih aneh dari umumnya kebanyakan.
Tasbih dengan kata sembilan puluh sembilan berbilang di tangan kanan dan mushaf keilhaman yang diturunkan pada Sang Maha Cinta pada yang paling di cinta yakni Sang Cahaya penerang alam semesta berada di dada ini. Dan di tangan kiri kami hiasi kalimat-kalimat puja-puji akan asma agung yang terakhir diutus dan sebagai penutup wahyu akhir dunia.
Aku, namaku Bagus Effendik malam di tengah bila bulan di tengah pas antara langit dan bumi antara matahari dan dunia. Aku yang sering di panggil anak-anak kecil sebagai Cacak Pendik atau Cacak Endik akan terus berdiri sampai ada perintah untuk bergerak bersama sang pembawa panji atau bendera hitam bertuliskan lafaz Laillahaillah Muhammad Darusullah.
Kami kadang membawa pedang kadang membawa panah kadang membawa kapak kadang membawa gada kadang membawa celurit kadang membawa keris kadang membawa apa yang di berikan dari Yang Maha pemberi akal sebagai senjata.
Kami tersamar di antara para pejalan kaki di jalanan. Kami tersamar diantara para penjual di pasar. Kami tersamar bagai yang tak berakal atau tak waras di jalanan padahal kami menempati untuk berdoa agar mereka waras.
Kami yang tak mau di sebutkan sebagai sebenarnya pejuang atau prajurit atau punggawa atau santri atau panglima malam. Tetap akan berdiri menatap langit sampai waktunya yang di tentukan bergerak kami akan bergerak.
Walau Negari ini akan hancur lebur selebur-leburnya karena sebuah tatanan yang amburadul tidak pada tempatnya dan semestinya kami tak akan bergerak bila tak di perintahkan dan kami akan terus menjadi bunga petang yang bercahaya setiap malam sebab kami akan terus belajar benar dengan cahaya yang membebarkan semua yang salah menjadi benar lalu akan di sudahi kelelahan bumi dari caruk-maruk yang kurang benar.
Kadang kami bersila, kadang kami berdiri, kadang kami sendeku kadang kami tertidur terbaring beralaskan alam jagat raya.
Kami yang tak akan pernah menyalahkan dari kata masa pandemi sebab kami meyakini memang itu harus terjadi.
Kami tahu bahwa ramalan suku salah satu dari kami di pulau bergambar ikan di salah satu negara dunia yang berlambangkan semangatnya darah dan suci putihnya hati bahwa ramalan ini memang sudah diramalkan sejak dahulu kala. Sejak dunia masih bukan Negari tapi masih di bawah sang Raja.
Bahkan telah dituturkatakan oleh yang benar mengatakan dengan lafaz Negari para pejalan kaki di antara luasnya gurun pasir yang selalu kami junjung tinggi serta kami puja dan puji walau jarak Negari itu lebih dari seminggu perjalanan dari Negari kami.
Ya kami tak menyalahkan dati kata musim yang menghawatirkan akan masa kepunahan makhluk yang di beri akal oleh kata dari wabah oleh kata dari bernama pandemi. Kami tak menyalahkan dari mana mereka datang dari Negari mana mereka muncul sebab kami sudah di peringati jauh-jauh hari dan kami ia pasti datang memusnahkan.
Maka kami ada disini sedikit bercerita agar semuanya yang tahu lebih tahu bahwa perjalanan kami menuju tempat kami berdiri tak begitu saja ada dan tak mudah. Maka dengarkanlah salah satu dari kami yang bernama Bagus Effendik atau Cacak Pendik atau Cacak Endik bercerita tentang kisahnya. Tentang kisah awal terjadinya ia hidup dan dari keluarga mana ia datang tak serta merta perjalanan mulus atau mudah dengarlah kisahnya di mulai dari nama sang Resi Begawan Bapak Kasturi.
Mari kita lanjutkan kisah cinta Sang Bapak Kasturi dengan Sang Bidadari ayu Ibu Amanah merekalah cikal bakal adanya salah satu dari kami yang bernama Cacak Pendik.