Ternyata kejadian yang dialami Sophia di hari-hari berikutnya tidak berbeda jauh dengan kejadian yang dialaminya di kamar mandi. Hampir seluruh siswa menatapnya dengan geram karena mereka mempercayai semua yang diucapkan oleh Helen. Kesedihan di hati Sophia semakin bertambah besar.
"Apakah yang harus kulakukan? Sikap teman-teman semakin bertambah kejam dan setiap saat mereka mengucapkan kalimat ejekan kepadaku. Bagaimana caraku bertahan?" tanya Sophia kepada Bianca. Gadis berkulit putih itu merasa sudah hampir menyerah dan putus asa. Perjuangannya untuk bersekolah di werewolf academy rupanya tidak semudah apa yang ada di dalam bayangannya.
"Sudahlah, Sophia. Kamu jangan terlalu memikirkan pendapat mereka. Sampai kapanpun, mereka akan selalu mencari kesalahan dirimu," jelas Bianca sembari mengerjakan esai yang menjadi tugas akhir pekannya.
Sophia penasaran dengan apa yang dikerjakan oleh sahabatnya. Seingatnya mata pelajaran tersebut masih beberapa hari yang akan datang tetapi Bianca sudah mengerjakannya lebih awal. Sungguh gadis yang sangat cerdas dan berkompeten untuk menjadi tetua werewolf di masa depan.
"Bukankah kita harus sudah masuk ke dalam kelas?" tanya Sophia.
Bianca melihat ke arah bayangan matahari di halaman sekolah. Rupanya hari memang telah sore dan mereka masih memiliki satu pelajaran lagi sebelum istirahat malam ini.
"Astaga, aku sudah lupa. Aku terlalu hanyut dalam tugas esai sehingga melupakan jadwal pelajaran selanjutnya. Bagaimana kalau kita menuju kelas sekarang?" ajak Bianca setelah memasukkan semua buku ke dalam tas. Dua gadis remaja itu segera bergegas menuju ke dalam kelas.
Mereka akan segera menerima pelajaran mengenai transformasi seorang werewolf. Pelajaran ini sangat penting karena di usia ke tujuh belas tahun, mereka harus sudah bisa melakukan transformasi menjadi manusia serigala sepenuhnya. Konon, seorang werewolf yang masih baru akan sulit dikendalikan sehingga cenderung menyerang manusia. Oleh karena itulah diperlukan adanya persiapan mental supaya bisa mengendalikan diri.
Sophia berjalan bersama Bianca ketika mereka bertemu dengan Andrew Davidson yang sudah beberapa hari tidak bertemu keduanya. Pemuda itu mendapatkan tugas menemani kepala sekolah untuk berkunjung ke suatu tempat selama beberapa lama sehingga terpaksa meninggalkan sekolah.
"Haai, bagaimana kabar kalian, rasanya sudah lama tidak berjumpa," sapa Andrew Davidson. Pemuda itu sudah tidak bisa menahan kerinduan pada sosok cantik yang berada di hadapannya.
"Haii juga, bagaimana kunjunganmu ke sekolah lain? Apakah semuanya berjalan lancar?" sahut Sophia dengan penuh semangat. Gadis itu tampak senang ketika bisa bertemu kembali dengan Andrew.
"Semuanya berjalan dengan lancar. Aku senang menjadis salah satu perwakilan sekolah karena banyak ilmu baru yang didapatkan selama disana," jawab Andrew dengan pandangan berbinar. Kerinduannya telah terobati dengan senyuman Sophia yang terlihat manis.
"Aku senang bisa bertemu denganmu," batin Andrew dengan hati berbunga-bunga.
"Ehmmm," suara Bianca berdeham.
Andrew langsung menoleh ke arah Bianca dan tersenyum malu. Dia merasa kalau Bianca sedang menyindirnya karena terus menatap wajah cantik Sophia.
"Bagaimana kalau kita berbincang sembari berjalan menuju kelas karena kita hampir terlambat sekarang," ajak Bianca.
Andrew dan Sophia mengangguk pasrah dan mengikuti kehendak Bianca. Mereka saling berbicara mengenai pengalaman Andrew yang terdengar menakjubkan. Pemuda itu sangat antusias dan bersemangat dalam menyampaikan perjalanannya.
"Andrew, aku sangat merindukanmu!" sapa Helen yang sudah muncul diantara mereka bertiga. Andrew terkejut karena Helen langsung memeluk tubuhnya di hadapan Sophia.
"Aduh, kenapa Helen melakukan semua ini," keluh Andrew di dalam hati. Dia terus menatap ke arah Sophia yang nampak tidak nyaman melihat kedatangan Helen diantara mereka.
"Sebaiknya kalian mengobrol dulu, kami mau ke kelas," pamit Sophia dengan sopan. Dia tidak mau menjadi pengganggu diantara Andrew dan Helen.
Sepanjang jalan, Bianca terus mengomel dan merasa heran kepada sahabatnya. Dia tidak setuju dengan tindakan Sophia yang terkesan membiarkan Helen mendekati Andrew Davidson. Sejak awal, Bianca terlanjur meletakkan harapan yang tinggi untuk kedekatan diantara Sophia dan Andrew. Keduanya dibilang pasangan paling ideal di kelas.
"Kami tidak memiliki hubungan seperti itu, Andrew hanyalah sebatas rekan sekelas saja, tidak lebih," jelas Sophia.
Meski telah berulang kali Sophia menjelaskan namun Bianca tetap meyakini bahwa Sophia tercipta untuk Andrew dan begitu pula sebaliknya. Bianca terang-terangan menolak kehadiran Helen diantara mereka berdua.
"Percayalah bahwa semua itu hanya sebatas mimpi dan angan semata," imbuh Sophia untuk meyakinkan sahabatnya.
Sophia mengawali kelas transformasi dengan penuh konsentrasi. Gadis itu tidak sabar ingin mempelajari semua yang berkaitan dengan dunia werewolf salah satunya adalah bertranformasi. Menurut guru yang mengajar, mereka perlu mencoba pengendalian diri dan pikiran sebelum melakukan transformasi.
Uji coba pertama adalah memancing emosi mereka. Seorang werewolf yang sedang emosi akan mudah melakukan transformasi. Biasanya ketika sudah berubah, mereka akan memendam kemarahan sehingga mengganggu kehidupan di sekitarnya.
Guru meminta seluruh siswa memikirkan sesuatu yang membuat mereka marah sambil memegang sebuah alat indikator kemarahan. Di dalam alat tersebut akan terpampang nilai kemarahan yang mereka rasakan. Jika angka menunjukkan jumlah yang maksimal maka berarti mereka bisa menguasai teknik awal transformasi.
"Bagaimana jika kita mencapai angka kemarahan yang tertinggi? Apakah kita langsung bisa berubah menjadi manusia serigala?" tanya Helen.
Siswa yang berada di dalam kelas langsung menertawakan pertanyaan Helen karena dianggap konyol. Semua kaum werewolf mengetahui bahwa kemampuan berubah baru terbentuk ketika sudah berusia 17 tahun, sebelum itu mereka tidak akan mampu melakukan transformasi.
"Aku hanya bertanya, mengapa kalian menertawakan diriku," bantah Helen. Dia merasa kesal karena teman-teman menertawakan dirinya.
"Pertanyaan kamu memang benar Nona Helen White, tetapi tidak ada werewolf muda yang memiliki kemampuan sehebat itu untuk melakukan trasformasi sebelum 17 tahun. Bertransformasi membutuhkan fokus dan stamina besar yang tidak mungkin kalian miliki sebelum usia tersebut," jelas guru sebelum meminta siswa bergantian maju untuk mengukir angka penilaian emosi.
Helen menjadi siswa pertama yang mencoba alat tersebut. Helen mengingat wajah Sophia sehingga kemarahannya memuncak. Dia merasa gadis itu yang selalu menjadi sumber emosinya. Sebuah tepuk tangan berhasil diperoleh olehnya ketika angka emosi menunjuk angka 650. Nilai itu sangat tinggi untuk siswa baru.
"Kamu memang hebat!" puji teman-teman kepada Helen. Gadis itu menunjukkan kesombongannya ketika sudah berhasil mencetak rekor tinggi.
"Lihatlah diriku, kamu tidak akan bisa melampaui angka emosiku," batin Helen sambil melirik ke arah Sophia.
Bianca mengingat wajah Helen sehingga memancing kemarahan di dalam hatinya. Dia cukup puas mendapatkan angka 530 sebagai pengukur emosinya.
"Itu angka yang luar biasa," komentar Sophia kepada sahabat karibnya.
Andrew mampu mendapatkan nilai 610 dan dia cukup senang karenanya. Hal yang dia pikirkan untuk membangkitkan kemarahan yakni wajah ketua asrama, Erick. Pemuda itu merasa cemburu karena Erick dianggap sebagai saingan terbesar dalam mendapatkan Sophia.
Sekarang tiba giliran Sophia untuk memegang alat tersebut. Gadis itu mencoba menutup mata dan membayangkan hal-hal yang membuatnya marah namun tidak ada satupun yang berhasil. Helen menertawakan Sophia karena kemarahan gadis itu tidak melebihi angka 200 sehingga dipastikan kelak dia akan kesulitan dalam bertransformasi.
"Semangat Sophia, ayo berusahalah!" teriak Bianca sebagai pemberi semangat diantara banyaknya suara yang menertawakan kegagalan Sophia.
Guru memberikan tiga kali kesempatan kepada sophia untuk mencoba namun usahanya tetap tidak berhasil. Sophia benar-benar tidak dapat marah pada siapapun.
"Kupikir kamu perlu melatih kemampuanmu diasrama karena siswa lain sudah menunggu giliran," kata Guru untuk meminta Sophai menyingkir.
"Dasar darah kotor! Apa kubilang, dia tidak akan bisa menjadi werewolf karena ayahnya adalah manusia biasa," sahut Helen yang membuat Sophia geram. Gadis itu tidak suka jika ada yang membawa nama ayahnya dalam percakapan.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba kemarahan Sophia meledak. Sekujur tubuhnya seakan membara. Aliran darahnya berubah cepat dan pandangan matanya berubah menjadi nyala api yang merah. Sophia tidak lagi menguasai dirinya karena kemarahan telah menyebar ke dalam setiap sendi di tubuhnya. Alat pendeteksi kemarahan di tangannya langsung menyalakan alarm tanda kemarahan yang tertinggi. Sophia memang sudah dalam keadaan sangat marah.
Suara bunyi kain yang robek membuat semua siswa terkejut karena rupanya Sophia perlahan berubah menjadi serigala di hadapan mereka.
"Aaaaaaaaaaaarrrrrrrrrggggggggg," teriak siswa yang merasa takut melihat sosok serigala penjelmaan Sophia yang bertubuh tinggi dan besar. Seekor serigala putih bermata merah tengah melolong dengan keras dan membuat seluruh sekolah menjadi heboh.
Sophia sudah tidak bisa mengontrol dirinya. Gadis itu menatap satu persatu teman sekelasnya yang meringkuk di belakang guru untuk menghindari amukan dirinya. Sementara guru hanya bisa terdiam karena dia belum pernah melihat kasus seperti itu sebelumnya. Tidak pernah ada siswa 15 tahun yang bisa bertransformasi di dalam kelas.
"Aku haus," batin Sophia dalam wujud serigala.