Sophia kembali ke dalam asrama dengan melihat pandangan aneh dari teman-teman ketika dirinya lewat. Mereka menganggap Sophia bagai sebuah virus yang mengerikan. Mereka seolah telah melupakan siapa diri mereka yang sesungguhnya. Semua yang berada di sekolah merupakan seorang werewolf seperti dirinya. Kelak, mereka juga akan melakukan transformasi seperti yang telah dilakukannya.
Sophia masih bingung dengan tanggapan mereka terhadap dirinya yang sudah bisa melakukan transformasi awal di usia yang baru 15 tahun. Bukankah semua itu menjadi sebuah kebanggaan, bukannya sebuah hujatan dan pandangan aneh seperti yang mereka lakukan.
"Mereka sungguh kejam," batin Sophia sedih. Selama bersekolah di werewolf academy, beberapa kali Sophia merasakan dirinya menjadi pihak yang terbuli. Semua yang dilakukan olehnya seakan sebuah kesalahan fatal yang tidak termaafkan.
Helen yang nyaris menjadi korban serigala Sophia terus menyampaikan berita mengenai dirinya yang hampir diserang. Dia terus menyudutkan Sophia supaya gadis itu semakin dijauhi oleh rekan-rekannya yang lain. Hati Sophia semakin meradang dengan semua perkataan yang diarahkan kepadanya.
"Sophia," seru Erick ketika melihat Sophia tengah berjalan seorang diri menuju ke dalam kamarnya. Gadis itu menoleh dan mendapati sang ketua asrama yang tampak menunggu kedatangan dirinya.
"Kak Erick,' balas Sophia dengan pandangan yang aneh. Dia masih bingung tujuan dari penantian Erick padanya. Sophia takut kalau pemuda itu seperti yang lainnya yang hanya mencari berita soal dirinya.
"Apa kabar? Aku sengaja menunggumu karena mendengar desas-desus tentang dirimu yang menyebar di asrama? Aku tidak menyangka dirimu akan mampu melakukan transformasi awal dengan sempurna padahal usiamu baru 15 tahun. Maukah kamu mengajariku caranya?" jelas Erick dengan antusias.
Sophia semakin heran melihat sikap Erick kepadanya. Pemuda itu tidak marah melainkan justru meminta diajarai caranya melakukan transformasi.
"Kakak sudah bisa melakukannya bukan? Kukira usia kakak sudah mencapai 17 tahun," sahut Sophia dengan merendah. Dia tidak mau membuat sang ketua asrama tersinggung dan marah.
"Aku memang telah mencapai 17 tahun tetapi bertransformasi bukanlah hal yang mudah. Aku masih suka kepikiran tentang berbagai macam hal dalam wujud serigala," jelas Erick.
Sophia memperhatikan raut wajah Erick yang nampak penasaran dan ingin mengetahui apa yang dirasakannya ketika melakukan transformasi.
"Kakak sudah bisa berubah wujud dan masih mempunyai kepedulian terhadap masalah ketika kakak dalam wujud manusia. Sedangkan diriku tidak mampu mengingat apapun dalam wujud serigala. Semua yang ada di hadapanku hanyalah makanan yang ingin segera kusantap," jelas Sophia dengan sedih.
Erick mengerti kesedihan yang dirasakan oleh gadis tersebut. Dia pun berusaha menghibur Sophia supaya tidak larut dalam kesedihan. Erick sudah mendengar beberapa omongan negatif tentang Sophia yang menyebar namun dirinya tidak mempercayai semuanya. Bagi Erick, Sophia adalah sosok gadis yang baik dan selalu membuatnya terkesan setiap kali berjumpa.
"Jangan menyalahkan dirimu, Sophia. Semua werewolf memang awalnya tidak mengenali diri mereka di awal transformasi. Seiring berjalannya waktu, mereka akan terbiasa dengan wujud mereka beserta semua masalah yang ada dalam wujud manusia. Yang penting janganlah putus asa dan patah harapan karena seorang werewolf tidak mengenal kata menyerah. Kalau kamu merasa gagal dan enggan untuk mencobanya sekali lagi maka kamu bukanlah bagian dari kami," tegas Erick yang membuat Sophia tersadar siapa sebenarnya dirinya. Dia tidak boleh menyerah karena menjadi werewolf adalagh takdir yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab.
"Terima kasih karena kakak telah membuatku tersadar dari kesalahanku," balas Sophia dengan senyum merekah.
"Syukurlah kalau begitu," kata Erick sebelum mengakhiri perbincangan keduanya.
"Berarti sebenarnya Kakak sudah ahli dalam bertransformasi bukan? Lantas mengapa tadi bertanya kepadaku?" tanya Sophia.
Erick langsung tertunduk malu karena Sophia langsung mengetahui kebohongannya. Erick hanya sekedar berbasa-basi untuk bisa mengobrol bersama Sophia.
"Aku hanya ingin menghiburmu," jawab Erick jujur.
Sophia merasa terharu dengan semua perhatian yang diberikan oleh pemuda tampan tesebut. Dia merasa senang karena ada yang akan selalu memberikan semangat ketika dirinya tengah dirundung banyak masalah.
"Terima kasih atas kebaikanya," sahut Sophia.
Erick dan Sophia akhirnya berpisah karena Sophia hendak beristirahat di ruangannya sedangkan Erick akan kembali melanjutkan pelajarannya ke kelas. Keduanya saling berpamitan dan berpisah dengan baik-baik.
Rosie menyambut kedatangan Sophia dengan suka cita. Gadis itu sudah tidak sabar menunggu kelengkapan cerita mengenai Sophia yang menghebohkan seluruh sekolah. Rosie begitu bersemangat dan membuat Sophia kewalahan untuk meladeni semua pertanyaan yang diajukannya.
"Aku benar-benar tidak menduga kamu sehebat itu! Kemampuanmu bertransformasi memang pantas diacungi jempol," tanggap Rosie sambil memeluk erat tubuh Sophia.
"Tidak sehebat itu," ujar Sophia. Gadis itu justru merasa minder dengan kemampuannya dalam bertransformasi karena dirinya belum menguasai teknik memusatkan pikiran pada satu tujuan saja. Sophia masih merasakan insting kehewanannya yang lebih besar.
"Aku akan menghadapi pelajaran itu pada esok hari, apakah menurutmu aku akan bisa berubah juga sepertimu?" tanya Rosie bersemangat.
Sophia merasa heran mengapa sahabatnya itu sangat berminat untuk melakukan perubahan padahal usianya baru 15 tahun seperti dirinya. Sophia saja merasa malu karena melakukan sesuatu sebelum waktunya namun Rosie justru sebaliknya.
"Mengapa kamu begitu bersemangat untuk berubah? Apakah ada sesuatu yang menjadi tujuanmu?" tanya Sophia.
Rosie tampak gugup setelah mendengarkan pertanyaan dari Sophia. Sebenarnya dia memang mempunyai alasan tertentu tetapi tidak mungkin semuanya dibuka di hadapan Sophia. Dia bisa malu nantinya.
"Bukan begitu, menurutku seorang werewolf yang sedang bertransformasi tampak hebat dan mengagumkan," kilah Rosie untuk menutupi kecanggungannya.
"Kalau hanya itu tujuanmu, maka kusarankan jangan bertransformasi dulu. Tetapi kamu bisa mencoba melakukanya kok, asalkan kamu bisa memusatkan pikiranmu pada sesuatu yang membuatmu marah. Ketika kemarahan memuncak maka energi terpendammu akan keluar dan terjadilah transformasi," ungkap Sophia.
Sophia segera berbaring ke atas ranjangnya. Dia merasa hari ini terlampau melelahkan dan membuang banyak energinya. Ditambah ujaran kebencian yang banyak keluar dari mulut teman-teman, semuanya terasa sangat menyiksa diri Sophia.
"Kamu mau istirahat?" tanya Rosie dengan perhatian.
"Iya, aku sangat lelah," sahut Sophia lirih. Dia takut akan menjadi seseorang yang melupakan tugas utamanya sebagai seorang werewolf.
"Selamat beristirahat!" balas Rosie yang mulai sibuk membuka buku paketnya mengenai teknik transformasi. Rosie benar-benar akan mempelajari mengenai werewolf.
"Kalau aku berhasil melakukan tranformasi maka dia pasti akan menyukaiku," gumam Rosie sembari tersenyum. Gadis itu nampak sangat tertarik mengenai kehidupan seorang werewolf dan melakukan semua demi mengejar perhatian dari salah seorang rekannya di sekolah. Sudah beberapa hari ini, Rosie bersemangat dalam bersikap karena hatinya sedang dilanda cinta.
Sophia masih belum bisa memejamkan matanya karena masih kepikiran mengenai keadaannya yang begitu haus darah. Dia tidak mengerti mengapa dirinya dalam wujud werewolf begitu haus darah dan keinginannya tidak dapat dikendalikan. Setahu dirinya, kaum yang harus darah hanyalah vampir bukan werewolf. Sophia pun mulai merasakan keanehan dalam dirinya.