Malam itu Sophia merasa tidak tenang dan terus merasa gelisah. Semenjak membaca buku mengenai sejarah vampir, dirinya terus mengingat setiap ulasan yang berada di dalamnya. Nama Alexander Robert juga tidak bisa menghilang dari kepalanya.
"Mengapa aku terus memikirkan bangsawan vampir? Siapa sebenarnya mereka?" gumam Sophia yang mulai beranjak menuju ke jendela kamarnya. Gadis itu hendak menatap langit malam untuk menemukan ketenangan di dalam hatinya. Biasanya cara tersebut cukup efektif baginya.
"Malam ini rembulan terlihat malu-malu dan bintang tidak terlalu banyak yang bermunculan. Rasanya mereka juga kesepian seperti diriku," gumam Sophia seraya menghela napas panjang. Dia merasa jengah dengan kegalauan yang melanda hatinya.
Hutan terlarang kembali menjadi pusat perhatian Sophia. Kali ini dia mengingat bagaimana peristiwa kebakaran yang pernah terjadi disana. Kebakaran yang terjadi karena pertempuran dua kaum yang kebenarannya disembunyikan dari siswa lainnya.
"Sejak peristiwa itu aku tidak lagi terganggu dengan pendengaranku. Sekarang tidak ada lagi suara yang membuatku terganggu dan merasa tidak tenang," batin Sophia.
Sebuah bayangan yang bergerak dengan cepat telah membuat perhatian Sophia teralihkan. Gadis yang berada di atas balkon lantai tiga itu merasa yakin telah melihat sesuatu yang bergerak secepat angin. Dia mencari ke segala penjuru namun belum menemukan apapun yang telah dilihatnya.
"Benda apa yang bergerak secepat itu? Atau mungkinkah ada werewolf yang sedang melintas malam hari untuk mencari makanan," batin Sophia.
Pandangan mata Sophia terus menelisik ke semak yang berada di dekat hutan yang bergerak perlahan. Dia merasa aneh karena tidak menemukan apapun disana padahal sudah mencari ke setiap sudut.
"Sepertinya aku mulai berhalusinasi," pikir Sophia sebelum kembali ke dalam kamarnya. Gadis itu segera menutup jendela balkon dan kembali berbaring ke atas ranjangnya yang nyaman. Perlahan gadis berkulit putih itu pun terlelap ke dalam buaian mimpi.
Sophia merasa ketakutan ketika melihat dirinya berada di dalam kekuasaan beberapa lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih. Semuanya memiliki gigi taring menonjol yang siap untuk menerkam lehernya yang mulus.
"Lepaskan aku!" teriak Sophia ketakutan. Dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk dan mungkin sekarang saatnya untuk menghadap Sang Kuasa.
Ketiga lelaki yang berdiri di dekatnya justru semakin tertawa lebar melihatnya berteriak ketakutan. Mereka seakan senang melihatnya menderita. Sebenarnya siapa mereka dan apa yang mereka inginkan dari Sophia.
"Teruslah berteriak serigala kecil karena tidak akan ada yang bisa mendengarkanmu!" ledeks salah seorang lelaki yang merupakan vampir. Sophia tidak mengerti bagaimana dirinya bisa berada diantara para vampir yang nampak kehausan itu.
"Kalian keterlaluan, Mengapa kalian bertiga melawan seorang gadis kecil sepertiku? Aku bukanlah lawan yang sepadan dengan kalian," bentak Sophia.
Seorang lelaki nampak melangkah mendekati Sophia dan keduanya hanya berjarak satu langkah saja. Sophia semakin ketakutan ketika lelaki itu memperpendek jarak diantara keduanya.
"Kamu benar! Kalian kaum serigala memang bukanlah lawan yang sebanding untuk kami yang merupakan kaum abadi yang selamanya akan menjadi terkuat. Kalian hanyalah sedikit rintangan bagi kami untuk merajai semesta," ucapnya.
Sophia merasa kesal mendengarnya. Dia tidak akan menerima kemenangan kaum vampir di atas kaum werewolf. Dia juga tidak akan membiarkan kaum vampir menjadi yang terkuat di semesta.
"Kalian tidak akan menjadi yang terkuat kalau hanya berani melawan anak remaja sepertiku!" bantah Sophia dengan penuh keyakinan. Harga dirinya sebagai werewolf tidak akan semudah itu dikalahkan oleh vampir.
Ketiga lelaki vampir itu merasa marah dengan ucapan Sophia. Mereka menunjukkan seringai dan hendak menyerang Sophia ketika tiba-tiba datanglah seorang lelaki berkulit putih dan berambut panjang. Sophia mengenali sosoknya sebagai Alexander Robert yang dilihatnya dalam lukisan.
Alexander berdiri dengan gagah di samping Sophia. Gadis itu bisa melihat betapa besarnya aura kepempimpinan dalam sosok Alexander Robert.
"Apakah kamu baik saja?" tanya Alexander.
Sophia mengangguk dengan mantap sebelum kembali memperhatikan posturr tubuh Alexander yang sangat tinggi dan kekar. Dia merupakan seorang vampir yang nampak berbeda dengan ketiga vampir lainnya. Rambut ikal dan panjang yang dimiliki Alexander semakin membuat Sophia mengagumi sosoknya.
"Kalian tidak pantas disebut vampir kalau menyerang seorang werewolf kecil seperti dirinya. Kalian hanya akan memancing pertengkaran dengan kaum werewolf dengan tindakan kekanakan begini," imbuh Alxender.
"Kami memang ingin bertarung dengan mereka supaya tidak membatasi gerak-gerik kaum kita," jelas salah seorang lelaki vampir.
"Apa yang kamu katakan sungguh sangat melukai diriku," tanggap Alexander.
Alexander segera berbalik dan kembali melihat wajah Sophia yang masih ketakutan. Dia pun melangkah untuk melepaskan ikatan yang membelit kedua tangan Sophia. Ada sebuah getaran yang hebat di dalam jantungnya ketika kulitnya bersentuhan dengan Alexander.
"Berhati-hatilah dalam bertutur kata dan bertingkah laku karena jalanmu masih panjang wahai werewolf kecil," ucap Alexander dengan lembut kepada Sophia.
"Terima kasih," sahut Sophia.
Alexander dan Sophia saling berpandangan selama beberapa saat sebelum ketiga vampir tiba-tiba berada di sekeliling keduanya. Mereka hendak menyerang Sophia ketika secara mengejutkan Alexander langsung menyerang ketiganya dan melumpuhkan mereka hanya dalam hitungan detik. Pergerakan yang dilakukan Alexander sangat cepat hingga Sophia tidak mampu mengikutinya.
"Enyahlah kalian dari sini kalau masih ingin menjadi salah satu kaumku!" ancam Alexander sebelum ketiga vampir yang menyekap Sophia menghilang. Ketiganya telah berlalu meninggalkan dirinya berdua bersama Alexander.
"Terima kasih," ucap Sophia.
Alexander tersenyum tipis sembari memandang wajah Sophia yang masih terkesima dengan kemampuan yang diperlihatkan oleh lelaki di hadapannya.
"Hanya itukah kalimat yang bisa kamu ucapkan? Setidaknya aku ingin mendengarkan suaramu," canda Alexander sembari tersenyum dan membuat Sophia salah tingkah.
"Maafkan aku!' ucap Sophia malu.
"Baiklah, sekarang aku akan meninggalkanmu. Kamu sudah bebas dan kembalilah ke rumahmu dengan aman. Mereka tidak akan berani kembali kemari,:" pesan Alexander.
Sophia masih tertegun dan terus menatap ke arah Alexander dengan penuh kekaguman. Dia belum pernah merasa begitu bangga pada seseorang melebihi kekaguman yang dirasakannya pada Alexander.
"Bisakah kita bertemu lagi?" tanya Sophia.
Alexander menatap lekat wajah Sophia yang nampak berharap bisa bertemu dengannya. Sebuah keinginan yang tidak mungkin dikabulkan olehnya.
"Aku seorang vampir dan kami tidak berteman dengan werewolf," tegas Alexander.
Sophia merasa sedih mendengar pengakuan dari mulut Alexander. Dia memang benar bahwa takdir werewolf memang menjadi musuh vampir dan bukan sebaliknya.
"Jangan bersedih!" pinta Alexander.
"Aku hanya ingin bertemu lagi denganmu karena Kamu adalah vampir yang telah menyelamatkan nyawaku," jawab Sophia.
Alexander tersenyum dan membelai rambut Sophia dengan lembut. Gadis itu bisa merasakan kenyamanan yang selama ini dicarinya.
"Kamu aneh, aku berada di dalam dirimu dan kamu tidak merasakannya," ungkap Alexander yang membuat Sophia kebingungan dengan maksudnya.
"Aku adalah ayahmu dan kita memiliki darah yang sama," tegas Alexander yang membuat Sophia terperanjat. Sebuah kejutan yang nyaris membuat jantungnya berhenti berdetak karena kaget.
"Ayahku?" ulang Sophia.
Tiba-tiba bunyi weker membuat Sophia terbangun dari tidurnya. Gadis itu segera membuka mata dan melihat kemilau cahaya matahari yang mulai terbit dengan malu-malu. Semua yang ada di dalam mimpinya telah sirna dan sekarang dia merasa sedih. Kehadiran Alexander memang menjadi sesuatu yang membuat Sophia merasa bahagia. Gadis itu tidak mengetahui sosok Alexander yang merupakan ayah kandungnya.