Sophia beserta teman-temannya telah tiba di kawasan hutan terlarang. Mereka nampak ragu pada awalnya namun hanya itulah tempat yang bisa mereka jadikan lokasi persembunyian. Sophia masih belum mengatakan perihal kedatangan kaum penghisap darah ke sekolah. Dia takut kalau teman-temannya akan segera panik dan berlarian tanpa arah.
"Kamu kenapa? Kulihat sejak tadi melamun?" tanya Erick yang sudah berjalan di sebelah Sophia. Pemuda yang menjadi ketua asrama itu memang menaruh perhatian pada sosok Sophia sehingga tidak heran sejak tadi hanya mengawasi tingkah polah gadis itu saja.
"Ah tidak. Aku hanya sedang menyesuaikan diri dengan kawasan hutan yang lebat. Disini terlihat sepi dan tidak nampak tanda-tanda kehidupan," ungkap Sophia. dia berusaha bersikap setenang mungkin meski sebenarnya hatinya sedang kacau.
"Heh, apakah kalian semua tidak lelah? Aku sudah capek dan ingin sekali beristirahat. Aku yakin kabut asap juga sudah tidak terlalu pekat sehingga kita bisa bersantai disini," celetuk Helen yang terus mengeluh.
"Sepertinya apa yang dikatakan oleh Helen memang benar. kita semua sudah terlalu lama berjalan dan beristirahat sejenak disini akan menjadi solusi yang terbaik," sahut salah seorang rekan yang lainnya.
Sophia menatap ke arah Bianca dan Rosie yang memilih untuk menutup mulut. Mereka bertiga telah menyaksikan kedatangan kaum vampir namun tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. Mereka sama-sama ketakutan jika vampire berhasil menyusul mereka hingga ke tempat ini.
"Mereka semua nampak lelah," tanggap Bianca dengan penuh pengertian. Dia memang merasa kasihan dengan beberapa siswa yang nampak kelelahan.
"Kalau vampirnya datang gimana?" tanya Rosie dengan ngeri.
Sophia menatap kedua temannya dengan cemas. Dia tidak dapat menentukan keputusan yang terbaik mengenai masalah ini.
"Sebenarnya apa yang membuat kalian begitu cemas?" tanya Erick yang sudah bergabung dengan tiga gadis itu. Pemuda itu merasa heran dengan sikap kikuk yang ditunjukkan oleh Sophia.
"Apakah ada yang kalian sembunyikan?" imbuh Erick. Dia sudah berusaha mengungkapkan tabir yang menutupi kebenaran.
Beberapa teman akhirnya turut memperhatikan Sophia dan sahabatnya yang sedang berkumpul. Mereka semua menginginkan kebenaran mengenai sosok yang telah menimbulkan asap yang pekat di sekolah.
"Aku minta maaf namun aku pun tidak mengetahui apapun mengenai masalah kabut asap di sekolah. Sebenarnya ketika kabut asap terjadi, kami tengah bersembunyi di ruang perpustakaan. Disana nampak jelas adanya beberapa orang yang berkulit putih dengan gigi taring panjang. Tentunya kalian bisa menebak siapa mereka yang sebenarnya?" ungkap Sophia.
"Vampir?" tanya teman-teman nyaris bersamaan.
"Tunggu! Bagaimana mungkin ada vampir di sekolah. The Werewolf Academy merupakan sekolah khusus yang didirikan untuk calon werewolf muda yang kelak memegang kekuasaan diantara anggota. Sekolah kita terkenal sebagai tempat yang begitu ketat dan mustahil vampir bisa menembusnya," bantah Helen.
Semua langsung terdiam setelah mengetahui penjelasan dari Helen. Mereka jelas merasa ragu pada keterangan yang dikatakan oleh Sophia.
"Kalian tidak boleh meremehkan semua pemberitaan yang kami sampaikan. Kami semua tidak berbohong, memang benar kok kalau ada vampir di sekolah.
"Kalau memang ada, dimana Guru dan yang lainnya? Apakah semuanya terlalu sibuk hingga meninggalkan gerbang sekolah begitu saja," bantah Helen dengan seringai penuh kemenangan. Dia senang berada di kubu yang selalu mencari kesalahan Sophia.
"Entahlah tetapi kami memang tidak melihat satu guru pun yang berada disana," jelas Bianca. Dia mau membantu Sophia supaya tidak terus menjadi bahan candaan dari Helen.
"Mungkinkah guru-guru sedang berburu dan meninggalkan perkampungan?" sahut Andrew yang sejak tadi diam. Pemuda itu mencoba bersikap netral dan tidak memihak pada salah satunya.
"Jawaban dari Andrew cukup masuk akal. Ketika para guru sedang berburu bukankah sekolah memang kosong dan kaum penghisap darah bisa memanfaatkannya," kata Erick.
"Kalau begitu bagaimana nasib teman-teman yang ada disana? Apakah mereka menjadi korban dari penghisap darah itu?" tanya salah satu teman yang penasaran.
Sophia menoleh ke arah sekolah yang masih diselimuti oleh kabut pekat. Semua tidak terjadi karena kebetulan, namun dirinya tidak mengetahui penyebabnya.
Ditengah pembahasan mereka yang belum menemukan solusi terbaik, mereka dikejutkan dengan suara teriakan yang terdengar menghampiri.
Erick dan para remaja lelaki langsung bersiaga dengan berdiri mengitari para perempuan. Mereka membentuk formasi melingkar dan masing-masing bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Aku takut! Bagaimana kalau itu seorang vampir," keluh Rosie yang sudah menempel ke bahu Bianca. Gadis itu memang penakut dibandingkan yang lainnya.
Sophia berkonsentrasi untuk mengendus aroma seseorang yang tengah berlari ke arah mereka.
"Astaga! Dia merupakan salah seorang murid di werewolf academy. Dia sedang berlari dan ketakutan karena telah melihat sesuatu yang mengerikan terjadi di sekolah," ungkap Sophia seraya menunjuk ke arah selatan. Disanalah pemuda yang berteriak itu berasal.
"Apakah kamu yakin?" ulang Bianca. Dia tidak mau prediksi yang dilakukan oleh Sophia keliru sehingga membuat gadis itu kembali menerima cacian.
"Iya, aku sangat yakin. Aroma werewolfnya memang pekat," ujar Sophia.
Ketika Sophia sudah menyebut kata aroma, mereka akan langsung mempercayainya. Mereka tentunya masih mengingat dengan jelas bagaimana Sophia bisa melakukan perubawan wujud menjadi werewolf meski usianya kurang dari tujuh belas tahun.
"Lantas, apalah kamu bisa mengendus aroma penghisap darah di belakangnya?" tanya teman yang lain. Sophia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Mereka langsung tersenyum penuh kelegaan karena tidak ada vampir yang bersembunyi di hutan terlarang.
"Remaja itu telah datang maka bersiap-siaplah!" gumam Sophia.
Semua langsung memasang kuda-kuda dan bersiap untuk bertarung jika berada di dalam pihak yang berseberangan.
Seorang anak lelaki tengah berlari dengan kencang. Remaja itu kaget melihat segerombolan temannya ada di kawasan hutan terlarang.
"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya remaja itu kepada semuanya. Dia menatap satu persatu wajah yang kerap dilihatnya berada di lingkungan sekolah.
"Kami sedang bersembunyi," sahut Erick. Pemuda itu bersikap penuh kewaspadaan kepada remaja yang baru bergabung. Dia nampak masih belum bisa menerima kehadirannya.
"Ooh benarkah? syukurlah bila kalian sudah bersembunyi karena di sekolah banyak yang menjadi korban keganasan para vampir," ungkap remaja tersebut.
"APA????" tanya seluruh siswa yang ada disana dengan heran. Mereka tidak menduga teman-teman lainnya telah tewas. Keterangan yang diberikan oleh remaja itu tak ayal membuat gelombang kepanikan diantara siswa yang tengah berkumpul di hutan terlarang. Tadinya mereka meragukan keterangan Sophia dan sekarang mereka harus mempercayainya.
Erick selaku ketua asrama bertindak sebagai seorang pemimpin yang tegas. Dia langsung meminta seluruh siswa untuk diam dan tidak menimbulkan kegaduhan. Dia mengingatkan bahwa vampir bisa saja datang ke sana jika mereka terus berteriak. Ancaman itu nampaknya berhasil dan semuanya langsung terdiam.
Rosie yang sudah ketakutan sejak tadi terlihat tidak tenang. Gadis itu berkali-kali menatapa ke segala penjuru karena terlalu waspada jika ada vampir disana. Sophia dan Bianca terus memeluk dan meyakinkan bahwa mereka pasti baik-baik saja.