Namaku Sienna. Aku adalah seorang Novelis yang agak terkenal di Massachusetts, Amerika Serikat. Aku baru saja Lulus dari MIT dan mendapat gelar MBA. Aku termasuk beruntung sebab aku termasuk dalam keluarga yang cukup mapan dan terpandang.
Aku tinggal di sebuah apartemen yang cukup luas yang aku beli sendiri dari hasil usaha yang sedang aku geluti dalam beberapa tahun. Usaha ini adalah pemberian dari Kakekku dan aku membantu mengelolanya.
Di sini aku sedang bersama adik tersayangku, Jonathan. Dia sedang liburan jadi bisa menginap di apartemen. Tidak lama lagi dia pun akan lulus dari Hakley school setelah dia menyelesaikan ujian tentunya.
Drttt!
Drtt!
Drttt!
Ponsel ku bergetar, aku sengaja tidak memakai nada dering karena bagiku itu sangat berisik, aku segera mengangkatnya.
"Halo, Nona Sienna saya Steve Sekretaris Tuan Besar." Suara di seberang sana nampak sedikit bergetar, aku mendapat sedikit firasat buruk, aku pun segera berlari ke kamar. Mata Jonathan memicing, aku berbisik pada orang di telepon, "Sebentar," aku mengunci pintu dan mendapat ledekan dari Jonathan.
"Pacarmu ya, awas saja aku akan lapor pada ibu!" Teriaknya dari ruang tengah. Masih sempat-sempatnya dia memperhatikanku walau dia sedang menonton Televisi.
"Ada apa Steve, kau terlihat agak khawatir," tanyaku pada pria di seberang sana. "Nona, Tuan Besar kritis. Beliau berada di ICU, sekarang. Beliau mendapat tekanan akibat perusahaan akan bangkrut."
Jedar!!!!
Petir benar-benar menyambar di langit malam Kota Cambridge, Massachusetts. Sedikit gerimis menandakan datangnya musim dingin di sini.
Aku sangat cemas, sangat takut jika kakekku tiba-tiba meninggalkanku, air mataku turun dengan derasnya. "La-lu bagaimana dengan keadaan Kakek?," aku tak bisa menutupi suaraku yang mulai parau.
"Tuan Besar masih dalam keadaan kritis, kami sangat membutuhkan bantuan nona untuk menangani Perusahaan."
"Aku akan segera kesana dengan penerbangan secepat mungkin, lalu bagaimana dengan ibu?" tanyaku lagi.
"Nyonya baik-baik saja, dia sedang beristirahat di sebuah kamar di rumah sakit setelah menangis seharian, untungnya ada Bik Minah yang membantu menenangkannya," jawab Steve.
"Syukurlah," aku kemudian menutup telepon, segera mencari tiket penerbangan secara online. Sayangnya jadwal penerbangan tersedia untuk besok pagi. Seandainya ada jadwal penerbangan malam ini maka aku segera pulang.
Aku membereskan pakaianku memasukkannya kedalam koper, beberapa foto-foto dan berkas. Aku membuka kunci kamar dan berjalan ke ruang tengah. Adikku tertidur pulas di kursi dengan televisi yang masih menyala.
Aku mengambilkan sebuah selimut dan menutupi tubuhnya agar tidak kedinginan. Aku menatapi wajah adikku dan menggosok kepalanya lembut kemudian mencium keningnya. Aku merasa dia sudah besar sekarang, sudah semakin dewasa.
Aku melihat layar ponsel, banyak pesan dari teman-temanku. Aku pun memberitahu mereka akan kembali ke Jakarta, besok pagi. Mereka semua kaget akan kepulanganku yang mendadak. Aku pun memberitahu mereka bahwa aku memiliki urusan keluarga yang harus di selesaikan.
Keesokan paginya aku dan Jonathan sarapan pagi. "Kakak, aku ingin ikut pulang! Kenapa kepulangan kakak mendadak sekali, aku kan baru saja datang ke sini, kemarin?" Jonathan mengomel sembari mengoleskan mentega di atas Roti.
"Hanya urusan bisnis, tapi ini sangat penting untukku, kau tidak akan marahkan, ?" Jonathan hanya membuang muka dan berdehem. Ekspresi wajahku pun terlihat memelas membuatnya mungkin tak enak hati. "Please," kataku sekali lagi.
"Lalu kapan kakak akan kembali?" matanya menatapku tajam, aku harus menjawab dengan tepat agar dia tidak ngambek. "Mungkin dalam 2 minggu kedepan." Wajah Jonathan kembali cemberut.
"Kak, itu berarti kita hanya punya waktu 1 minggu untuk bersama." Jonathan tampak sedih, dia makan roti dengan perlahan. Aku menghembuskan nafas, dilema antara meninggalkannya atau membawanya ke Jakarta.
"Begini saja, jika dalam waktu 1 minggu kakak belum kembali, bagaimana jika kakak memesankan tiket untukmu pulang Ke Jakarta?"
"Benarkah, kak? kakak harus janji ya!" wajah Jonathan kembali ceria, dia memakan roti dengan lahap. "Kakak Janji." Aku menggosok kepalanya, tapi dia merasa risih dan menghindar. Dia berkata bahwa dirinya bukan anak kecil lagi. Wajahnya terlihat menahan malu.
Aku mengemaskan koper, Taxi telah menunggu di depan apartemen. Aku dan Jonathan menuju ke bandara. Jonathan melambaikan tangannya tanda perpisahan. Aku awalnya ingin memeluknya tapi sepertinya dia akan malu jadi aku urungkan niatku.
Setelah Check-in dan mendapatkan Boarding Pass, aku pun menunggu dan duduk di area Gate Keberangkatan. Setelah 30 menit terdengar panggilan untuk naik ke pesawat.
Aku menempuh perjalanan selama 22 jam. Tiba di bandara Steve dan beberapa Bodyguard menjemputku.
"Kita akan langsung ke rumah sakit!" perintah Steve pada supir di depannya. Sebelumnya memang aku memberitahunya untuk langsung ke rumah sakit untuk melihat Kakek.
Rumah Sakit Bratt Family adalah Rumah Sakit milik Kakek sehingga tidak ada batas waktu untuk Aku bisa menjenguk kakek. Kami menaiki Lift dan kemudian tiba di depan pintu kamar ICU VIP. Aku melihat dari balik kaca pada pintu, Kakek terlihat lemas dan tak berdaya.
Aku memasuki ruangan yang di penuhi alat-alat medis. Mata Kakek terpejam, dan di tangan kanannya terpasang infus, dada kakek banyak terpasang kabel-kabel yang aku sendiri tak tau itu berfungsi untuk apa.
Ada juga selang yang terpasang di mulut Kakek untuk membantu pernafasannya. Layar monitor di sebelah kiri menunjukkan detak jantung kakek yang mulai stabil.
Aku duduk di samping ranjang kakek, aku memegang tangan kirinya yang terasa dingin, sama dinginnya dengan besi di pinggiran ranjang yang tak sengaja ku sentuh.
Air mataku jatuh melihat kakekku tak berdaya di tempat tidur, aku merasa baru saja kemarin kakek mengajariku banyak hal soal berbisnis. Kakek juga mengajariku banyak hal tentang hidup. Dalam bayanganku, Kakek adalah orang yang kuat. Mata sipit dan senyumannya selalu terbayang di benakku.
Walau tubuhnya agak bungkuk tapi dia masih terlihat segar. Tak jarang dia masih bermain golf ataupun senam di alam terbuka bersama teman-teman seusianya.
Kakekku sangat berbeda dengan pria tua yang kurus dan pucat yang ada di depanku ini. Seluruh rambut Kakek pun telah memutih.
"Kakek, aku sudah datang, apa kakek tidak mau menyambutku? aku pulang." Air mata lolos lebih deras, aku meraih tangan kanannya dan kucium. Dinginnya menyentuh bibir dan hidungku. Yang aku inginkan hanyalah kakek segera sadar dari Koma.
Cukup lama aku dalam posisi itu, aku kemudian keluar ruangan dan mencari ibuku di kamar tak jauh dari ICU. Di sana aku melihat Bik Minah tengah menyiapkan makanan untuk Ibu, tapi ibu terlihat murung dan tidak mau makan.
Ibu juga terlihat pucat dan tidak sehat.
"Ibu," panggilanku membuat ibu melihat ke arah pintu. Dia menangis dan akan berdiri untuk memelukku, tapi aku segera membantunya untuk duduk kembali di tempat tidur.
"Kapan kau pulang, nak? Kakekmu, dia…." Ibu tidak melanjutkan pembicaraannya tapi malah menangis di pelukanku. "Iya ibu, aku tau, semuanya akan baik-baik saja." Aku memeluk ibu dan menggosok punggungnya berusaha untuk menenangkan.