Hujan deras di sore hari. Batu Nisan berwarna hitam pekat bertuliskan nama, tanggal lahir dan kematian dari Ibu Senna.
Nama : Keira Bratt
Tempat/tanggal lahir : Swiss, 5 agustus 1974
Wafat : Jakarta, 17 Juli 2017
Keira Bratt meninggal pada usianya yang ke 43.
Bunga-bunga bertumpuk indah di Nisannya. Bertambah 1 buket bunga lagi dengan warna-warna cerah. Pria yang berpakaian serba hitam itu berjongkok di sana melihat nisan yang tertulis nama Keira di atasnya.
Dia membiarkan tubuhnya basah oleh guyuran air hujan. Lama dia menatap nisan. Seorang Pria berjaket tebal warna coklat gelap menumpuk 1 buket bunga lagi.
Pria itu terlihat elegan dan memakai payung. Sepatunya juga terlihat mahal. Dia tidak mengijinkan air hujan menyentuhnya. Itulah alasan Payung yang di gunakannya begitu besar.
Mereka berdua menatap nisan cukup lama, hingga pria yang terlihat elegan pergi meninggalkan nisan. Pria berpakaian serba hitam pun segera pergi ke arah yang berlawanan.
Keesokan paginya Senna terbangun. Dia segera melihat adiknya. Tapi alangkah terkejutnya Senna kamar Jonathan kosong.
"Jonathan, kamu dimana?" Aku sibuk mencarinya bahkan seisi Mansion juga sibuk.
"Mungkinkah Tuan Muda pergi ke Kuburan Keluarga Bratt?" pertanyaan Jossef menjadi jawabanku. Segera aku memakai mobil dan menyusuri jalan di sekitar Pemakaman.
Dari Kejauhan aku melihat Jonathan berbaring memeluk nisan Ibu. Wajahnya sembab tapi dia tidak menangis. Sepertinya air mata Jonathan sudah kering.
"Jo, ayo kita sarapan bersama!" Jo menegakkan kepalanya sebentar tapi dia kembali memeluk Nisan ibu. Aku tak kuasa menahan air mata. Jonathan memang sangat menyayangi ibu.
Dia sebagai anak bungsu tidak pernah membentak ibu sekalipun, memarahinya, bahkan berkata ahh pun tidak pernah. Dia selalu lembut dan ceria saat bersama Ibu.
Aku memeluk Jonathan sangat lama. Dengan segala macam bujuk rayu dariku, Jonathan pun mau sarapan. Tapi dia tidak ingin bertemu banyak orang. Dia hanya ingin makan bersamaku saja.
Di balkon kamarnya, kami berdua sarapan bersama. "Jonathan, bagaimana jika kamu ikut kakak ke kantor? Di sana ada Steve dan Paman Mario juga, kami akan mengajakmu pergi jalan-jalan."
"Panggil aku Jo." Jo adalah panggilan kesayangan dariku untuknya jika dia sedang emosi atau marah. Panggilan itu sangat ampuh untuk mengatasi emosinya.
"Aku tidak mau kemana-mana kak, aku mau di rumah saja, jika kakak ingin pergi bekerja, pergilah tinggalkan aku sendirian!" Meski dia bicara seperti itu, aku tau Jonathan tidak mau aku pergi.
"Ahh untuk apa pergi ke kantor, ada Steve di sana yang akan menangani segalanya. Lebih baik aku tidur bersama adikku saja seharian. Kita sudah lama tidak memiliki waktu santai berdua." Jonathan hanya mengangguk pasrah.
Hari demi hari ku lewati di rumah. Urusan kantor aku serahkan sepenuhnya pada Steve. Uang dari Pembelian saham kembali pun sudah di transfer pada pihak yang terkait.
Jonathan semakin terlihat kurus, aku jadi semakin khawatir. Dia juga semakin tidak mau bicara. Jika terus seperti ini, ada kemungkinan dia akan cuti sekolah.
"Jonathan, bagaimana jika kita pergi ke rumah sakit? Kakak ingin mengenalkanmu pada seorang Psikiater."
"Untuk apa kak?" tanya Jo singkat. "Tentu saja untuk membantu kesembuhanmu, Jo akan baik-baik saja. Kakak akan menemanimu." Jonathan hanya mengangguk tanda setuju. Setelah itu dia melamun lagi, melihat suasana hutan di depan balkon kamarnya.
"Maya, bagaimana?" tanyaku pada salah seorang psikiater di Rumah Sakit Bratt Family.
"Beruntung ini cepat di tangani, jika kau mengulur waktu lebih lama sebulan atau 2 bulan lagi saja, dia bisa melakukan tindakan bunuh diri." ucapannya membuatku semakin cemas.
"Lalu bagaimana solusi yang tepat untuk sekarang?" aku menggenggam kedua tanganku yang telah berkeringat. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan lagi.
"Inikan rumah sakit keluargamu, sebaiknya dia di rawat di rumah sakit ini, dengan begitu akan memudahkan kami untuk menyembuhkannya."
"Aku akan segera mengurusnya, aku juga akan tinggal di rumah sakit, tolong pastikan adikku sembuh dengan baik!" Aku memegang tangan Maya dia pun menghembuskan nafas. "Sebaiknya aku memeriksamu juga," aku pun mengikuti sarannya.
"Ini obat minumlah 3x sehari. Habiskan ya!" ujar Maya mengingatkanku. Maya adalah temanku dari kecil meski setelah agak dewasa kami renggang karena sekolah yang berbeda. Tapi kami masih menjadi teman.
Saat Maya membutuhkan pekerjaan, aku langsung menempatkannya di rumah sakit keluarga.
Aku dan lainnya mengurus kepindahan kami kerumah sakit. Sekarang di Mansion hanya ada beberapa Bodyguard dan Polisi untuk mengawasi.
Setelah mengatur kamar untuk Jonathan aku bicara pada Steve. "Bagaimana dengan keluarga yang di tinggalkan oleh Bodyguard dan Pelayan yang lain, apa sudah di beri kompensasi?"
"Sudah Nona, kita menghabiskan anggaran hingga 1 Triliyun," Steve memberikan berkas berisi data Bodyguard dan Pelayan yang sudah meninggal serta keluarga mereka.
"Tidak peduli seberapa besar kita memberikan uang, tidak akan pernah kita bisa membayar nyawa yang hilang. Kita hanya berusaha untuk membantu mereka menghadapi kesulitan finansial."
"Jika keadaan sudah kondusif, undang lah keluarga mereka semua, aku akan meminta maaf secara pribadi." Aku menyerahkan berkas itu kembali pada Steve.
Minggir!
Minggir!
Dari lantai 4 aku melihat di lantai dasar perawat sedang sibuk membawa banyak orang yang terluka. Anehnya mereka semua memakai jas mahal. Terutama seorang pria tampan yang menyeret kakinya.
Pria itu dengan keras kepala menolak untuk duduk di kursi roda. Tangan kirinya pun sepertinya terkena luka tembak, karena dia memegangi lengannya dengan ekspresi menahan sakit.
Aku kembali ke kamar Jonathan. Tidak jauh dari tempat tidurnya ada meja kerjaku. Di sana lah aku bekerja, memeriksa laporan, dan menelpon orang-orang di kantor.
1 bulan terlewati sejak aku tiba di Jakarta. Kerugian masih belum sepenuhnya tertutupi. "Aku minta maaf Kakek, aku menjual beberapa aset Kakek untuk menutupi kerugian." Bolak-balik aku ke ICU dan ke kamar rawat Jonathan, terkadang aku juga ke kamar rawat Bik Inah dan Mr. Robert.
Penjagaan Bodyguard pun semakin ketat. Aku melihat di rumah sakit Bodyguard semakin banyak. Aku memutuskan untuk berkeliling rumah sakit sebentar, mengunjungi beberapa pasien Anak-anak dan Lansia.
Aku kembali ke kamar dan melihat Jonathan tidak ada. Dengan cepat aku mengambil smarthphone di saku celanaku dan menelepon steve. Ternyata Jo sedang di taman duduk sendirian. Aku mendesah lega mendengar bahwa Jonathan baik-baik saja.
Aku tau aku semakin Posesif. Benar, karena aku sudah kehilangan ibu, aku tidak ingin kehilangan anggota keluargaku yang lain.
Penasaran, aku pun turun ke lantai dasar dan melihat Jonathan dari kejauhan.
Aku maju kedepan tapi seseorang tiba-tiba menabrakku dari belakang. Brak!!!
"Ahh, sial ini sakit sekali." Aku melihat luka di lengan kanannya yang sudah di perban mengeluarkan darah lagi.
Apa pembunuhan dengan pistol sedang jadi tren, sekarang?
Aku jadi ingat beberapa hari lalu banyak sekali orang yang terluka dan masuk kerumah sakit.
Aku memandang ke atas dan melihat wajah yang tidak asing. "Mr.Felix!"
"Nona Sienna!" kata kami bersamaan.