Chereads / Good or Bad Ending / Chapter 4 - Kesedihan Mendalam

Chapter 4 - Kesedihan Mendalam

Aku mengikuti Steve masuk ke kamar Kakek. Disana Steve mengeluarkan sebuah remote dan menekannya. Tiba-tiba jalan masuk kebawah tanah terbuka.

Aku mengikuti Steve kebawah tanah, tidak ada waktuku untuk mengagumi betapa hebatnya tempat persembunyian yang ada di kamar kakek ini.

Samar-samar aku mendengar suara tangisan. "Ibu… Ibu jangan tinggalkan Jonathan Ibu."

"Den, pelankan suara Aden atau penjahat itu akan tahu kita bersembunyi di sini."

Aku segera berlari ke arah mereka. Jonathan menatapku ketakutan dengan ibu di pelukannya.

Aku terpaku melihat mereka, aku Syok dan hampir muntah. Jika aku terkena serangan panik dan stress secara tiba-tiba, perutku akan sakit dan mual, aku bisa muntah di tempat.

Aku menelan muntahan ku dengan paksa. "Ibu…" Jonathan keningnya berdarah, bibirnya bengkak, matanya biru, lengannya bengkok, tapi dia masih berusaha memeluk ibu. Bik Inah dan Kepala Pelayan juga menahan luka di perutnya ada tusukan pisau dan wajahnya pucat.

Dan ibu ada luka tembakan di dada kirinya di jantungnya. Banyak darah keluar dari sana. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana porak-porandanya hatiku.

Kakiku gemetar saat perlahan aku mendekati mereka. Mata ibu hampir memejam, dia ingin bicara tapi tidak bisa.

Tanganku meraih mereka. Sekejap saja baju kemeja putihku penuh darah. Steve sibuk memanggil bantuan di atas sana. Suara sirene ambulance mulai terdengar. "Ibu… Jonathan maafkan kakak datang terlambat."

Jonathan yang awalnya menangis dengan pelan akhirnya berteriak, "Kakak aku mohon selamatkan ibu kak, selamatkan ibu kak."

"Than... na… hiduplah berbahagia." suara lirih ibu terdengar di telingaku. "Tidak ibu, ibu jangan pergi, aku butuh ibu." Jonathan histeris.

"Ibu kita sudah lama tidak bertemu, ibu bilang akan memasakkan makanan kesukaanku, kita akan menunggu Kakak pulang, sekarang kakak sudah datang ibu harus bertahan." Jonathan pun panik tatkala melihat ibu memejamkan matanya.

Tangan ibu yang ku genggam pun terkulai lemah. Aku meraihnya lagi dan merasa nadinya tidak berdetak lagi. Aku melihat dia tidak menghembuskan nafas lagi. Air mata meluncur deras di pipiku.

"Tidak! Ibu! Tidak! Steve!! Steve!!" Aku memanggil Steve dan dia datang dengan beberapa tenaga medis dan mengangkat ibuku, Jonathan, Bik Inah dan Kepala Pelayan. Tidak kuat menahan tekanan, Jonathan pingsan di tempat dan aku di gendong oleh steve karena tidak mampu untuk berjalan bahkan selangkah pun.

Aku pingsan di pelukan Steve, dan saat aku membuka mata, aku berada di ruangan serba putih. Ada infus terpasang di tangan kiriku. Aku dengan paksa mencabutnya dan turun dari ranjang.

Entah kenapa tiba-tiba kaki ku lemas dan aku terjatuh. Mungkin aku masih syok. Aku keluar dan ada seorang Bodyguard yang menjagaku. Dia kemudian membawakan kursi roda dan aku pun duduk di sana.

Seolah tau apa yang aku inginkan dia mendorongku hingga keruang ICU. Tapi sayang pintu masih tertutup rapat. Ada Steve di sana. Saat dia melihatku dia langsung menghampiri dan memelukku.

"Tidak apa, semua akan baik-baik saja." Steve memberikan pelukan seperti seorang ayah yang menghibur putrinya. Aku melepaskan pelukannya dan menanyakan kabar ibu. "Nyonya sedang berada di ICU, dalam penanganan dokter," jawabnya.

"Sudah berapa lama aku pingsan, bagaimana keadaan Jonathan dan Bik Inah?"

"Nona pingsan selama 3 jam. Tuan Muda sudah di tangani dokter dan di berikan obat penenang, awalnya dia sadar dan histeris. Sedangkan Bik Inah sedang di operasi."

"Ini semua salahku, Steve." Aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang sudah terjadi. "Seandainya aku tidak membiarkan Jonathan datang, ibu tidak akan kembali ke mansion, ibu pasti masih akan berada di rumah sakit dan ini semua tidak akan terjadi."

"Ini semua benar-benar salahku." Aku menangis dengan cukup kencang. "Tidak, Nona ini semua sudah takdir dari Tuhan. Nona tidak boleh menyalahkan diri sendiri," hibur Steve. Dia memberikan sapu tangannya untuk aku menyeka air mata.

Klek!!!

Pintu operasi terbuka. Dokter dengan pakaian operasinya pun keluar bersama dengan beberapa suster. Dia membuka maskernya dan berkata, "kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi kami tidak bisa menolong."

"Tidak ibu, ibu tidak boleh meninggalkan aku." Aku sama sekali tidak bisa membendung air mataku, aku hanya bisa menutup wajahku dan menangis dengan kencang. Tangisanku terdengar pilu, dokter perawat bahkan bodyguard semua ikut menangis.

"Kakak, ibu sudah pergi kak ibu sudah tiada." Bahkan Jonathan dalam ketidaksadarannya masih mendengar tangisanku.

17 juli 2017

Aku berdiri di depan nisan Ibu yang di bangun dengan megah di pekuburan milik keluarga Bratt. Aku memeluk adikku yang tangan kirinya terbalut perban dan penyangga. Bik Inah di sebelah kanan duduk di kursi roda. Kepala pelayan di sampingnya dengan tongkat penyangga.

Jonathan tak henti-hentinya menangis. Matanya sangat bengkak.Untungnya dia memakai kacamata sehingga orang-orang tidak melihat betapa hancurnya dia.

Beberapa kerabat pun mulai pergi. Sekarang hanya ada Aku, Jonathan, Steve, dan Jossef. Dari kejauhan seorang pria berusia 40 tahunan sedang berlari kemari.

Dia adalah pamanku, adik dari Mark Bratt yaitu Mario Bratt.

Kakekku memiliki 2 istri. Yang pertama melahirkan ibu, dan Yang kedua melahirkan Paman Mark dan Mario. Beberapa tahun lalu Kakek bermasalah dengan Paman Mark sehingga Paman Mark meninggalkan Mansion.

Meskipun Paman Mario terkenal mata duitan tapi kesedihannya sekarang bukanlah kepalsuan. Paman Mario meletakkan bunga di atas pemakaman Ibu. Cukup lama lalu dia menatap kami dan memberikan pelukan duka.

"Ibumu adalah wanita yang sangat baik, dia melahirkan putra dan putri yang berbakti. Kalian harus merelaknnya agar dia bisa hidup tenang." Kami tidak mengucapkan apapun untuk menjawab pernyataan Paman Mario.

Steve pun pergi bersama Paman Mario dan Joseff berdiri cukup jauh dari kami. Hujan mulai turun perlahan. Gerimis lalu lama kelamaan menjadi semakin deras.

Kami berdua kehujanan dan saling berpelukan. Hujan selalu menghampiri tatkala kami berada dalam kesedihan. Saat itu hujan turun waktu aku mendapat kabar Kakek terkena serangan jantung dan Koma.

Hujan yang sekarang pun lebih deras seolah menandakan kepergian yang begitu dalam. Jonathan tersungkur memegangi Nama Ibu yang terdapat pada Nisan. "Ibu… Ibu… Ibu…." berulang kali dia memanggil ibu.

Sebuah Payung meliputi kami dan melindungi kami dari hujan. Joseff memayungi kami. Seolah mengerti keadaan. Diapun hanya memandangi kami tanpa bicara sepatah kata pun.

Waktu terus bergulir. Aku meraih pinggang Jonathan perlahan untuk mengangkatnya. Aku tidak bisa menarik pundaknya yang sedang terluka.

"Jonathan, ayo kita kembali ke mansion. Kau belum makan apapun sejak kemarin." Jonathan tidak bergeming sedikitpun.

"Jonathan, apa kau ingin ibu sedih? Sejak dulu dia selalu memberimu yang terbaik, jika kau jatuh sakit dia yang paling sibuk.

"Jika kau jatuh sakit, kau akan menyakiti hatinya. Ibu di surga akan menyalahkan dirinya jika kau jatuh sakit, kau tidak mau menyakiti ibu kan?" Pertanyaanku membuat Jonathan menatapku.

"Jonathan tidak mau menyakiti ibu." Dia pun bangkit dan memelukku mengajakku kembali ke Mansion. Semua peristiwa ini begitu berat untuk kami. Terutama Jonathan yang usianya baru menginjak 17 tahun. Dia masih Remaja dan banyak menghabiskan waktunya di Asrama Sekolah.